Indikasi ini nampak jelas dan kemudian dibuktikan dengan diterbitkannya buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung koleksi Presiden Soekarno pada tahun 1956 sebanyak dua jilid, tahun 1961 terbit dua buku selanjutnya yang semuanya disusun olah Dullah dan pada tahun 1964 muncul lima jilid lain yang disusun Lee Man-fong sebagai pelengkap seiring dengan bertambahnya koleksi Bung Karno. Buku terbitan terakhir tersebut dicetak di Jepang dengan mediator Ratna sari Dewi. Buku yang berbentuk album tersebut berimbas pada semakin maraknya lukisan nude.
Jenis lukisan wanita telanjang (dada atau keseluruhan) pada akhirnya banyak diproduksi dan para kolektor Indonesia kelas tinggi tidak sungkansungkan lagi untuk menggantungkan lukisan sejenis ini. Tidak ketinggalan para penyuka tema lukisan ini di level menengah dan di level bawah, tidak lagi “risih” untuk memajangnya di artshop, di trotoar jalanan dan di bawah pohon. Kesenangan publik atas lukisan nude ini masih berlangsung hingga sekarang.
Tema seputar Wilayah “wanita cantik” yang berpose nude ini sempat memunculkan cerita menarik dan menonjol dalam berbagai perbincangan karena memang sangat menyenangkan untuk digunjingkan. Bung Karno menentang keras bila gagasan itu dianggap pornografis. la berharap agar tidak selalu melihat keindahan tubuh wanita semata-mata dari pandangan moralistik, tetapi seharusnya memandangnya dari aspek estetis.
Terkait dengan hal tersebut, Bung Karno sering mengutip kata-kata Kahlil Gibran, seorang pujangga dan mistikus Lebanon: “Orang yang mengenakan moralitasnya melulu sebagai pakaian paling baik bagi dirinya justru adalah telanjang”. Selain itu Bung Karno juga sering mengurai kata-kata Palladas, seorang pemikir Yunani tahun 400; “Semua orang diangkat atau dilahirkan ke bumi dengan keadaan telanjang dan semua orang diturunkan ke bumi juga dalam keadaan telanjang. Tuhan memberikan yang terbaik bagi orang yang diangkat dan diturunkan”.
Ihwal tentang lukisan pahlawan juga memiliki cerita tersendiri. Suatu hari di tahun 1961 Bung Karno merasa kehilangan koleksi lukisannya yang berjudul Jenderal Sudirman karya Joes Supadyo. Bung Karno kemudian memanggil Kepala Rumah Tangga Kepresidenan yang waktu itu dijabat oleh Hardjo Wardojo dan semua staf Istana Kepresidenan untuk berkumpul dan pada akhirnya Bung Karno menudingnya sebagai “pencuri lukisan dimaksud”.
Bung Karno kemudian mengambil langkah dan menginstruksikan kepada Lim Wasim, seorang pelukis Istana yang baru saja menggantikan Dullah untuk mencari lukisan itu sampai ditemukan. Lim wasim kemudian menelusuri lukisan Jenderal Sudirman ke seluruh Istana di empat kota (Istana Kepresidenan Bogor, Istana Kepresidenan Cipanas, Istana Kepresidenan Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali). Pada akhirnya lukisan itu kemudian ditemukan di Gedung Sekretariat Negara Jakarta dan terpasang di sebuah dinding yang tinggi. Ketika melihat kembali lukisan yang dicarinya ditemukan, Bung Karno sangat terperangah, pancaran wajahnya menyiratkan perasaan lega, dan senyumnya pun kemudian mengembang.
Ketertarikan dan kepedulian Bung Karno pada lukisan-lukisan yang bertema pahlawan ini tidak lepas dari keterkaitan jiwanya yang berperangai pejuang. Seluruh hidupnya, segenap tetesan darah dan keringatnya semua didedikasikan dan dipersembahkannya untuk tanah air dan bangsanya. Karena itu Bung Karno sangat menaruh rasa hormat yang begitu tinggi kepada para pelukis yang menggambarkan pejuang, walaupun tema ini tidak dominan, dan tidak menjadi paradigma dalam jagat koleksinya. Lukisan-lukisan perihal pahlawan bangsa kemudian masuk juga dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung koleksi Presiden Soekarno.
Dari sinilah pada akhirnya masyarakat seni rupa Indonesia menyadari bahwa lukisan pahlawan adalah sebuah seni lukis yang pantas dijadikan sebagai alternatif fokus lain dari sebuah karya seni lukis. Pada masa berikutnya lukisan-lukisan tentang pahlawan kemudian banyak dikoleksi. Karya-karya tersebut sebagian merupakan tiruan (jiplakan) dari lukisan koleksi Bung Karno, seperti misalnya lukisan Pangeran Diponegoro karya Basoeki Abdullah, dan lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung.
Bung Karno berhasil menanamkan aspirasi kepahlawanan kepada masyarakat Indonesia melalui lukisan. la berhasil menegaskan kepada publik bahwa tema pahlawan juga merupakan sebuah aset dalam seni kreatif. Tema-tema tentang pahlawan ini juga diangkat oleh Bung Karno ke dalam presentasi patung-patung kota.
Kini kita semua dan seluruh masyarakat dunia mengetahui bahwa patung-patung monumental yang tersebar di pusat kota Jakarta seperti patung Selamat Datang, patung Pembebasan Irian Barat, dan patung Dirgantara, bisa berdiri dengan gagah berkat gagasan dan dorongan Bung Karno pula.
Sumber: Bung Karno Superpatronis, Agus Dermawan T, dalam Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai.
*)Dr. Kukuh Pamuji, S.Pd., M.Pd., M.Hum. adalah Widyaiswara Ahli Madya di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara