Sebuah kenangan manis, yang tidak mungkin akan terlupakan bagi saya, adalah ketika 9 karya tulis saya dibukukan oleh PT Elex Media Komputindo. Dan puncaknya adalah ketika judul buku tersebut pernah dikorankan di Kompas, dalam ukuran yang cukup besar, sebagai “National Best Seller”
Sungguh saya sama sekali tidak menyangka, bahwa tulisan saya akan termasuk dalam ketegori National Best Seller. Karena kalau saya menilai, tulisan saya jauh dari rapi dan apik apalagi mau disebut tulisan bagus.
Pertama kali, untuk naskah pertama, saya harus bolak balik 6 (enam) kali ke kantor Gramedia , untuk menemui Bapak Ir.Ari Subagijo, yang pada waktu itu menjadi Chief Editor di PT.Elex Media Komputindo. Pesan Pak Ari kepada saya adalah “kalau Pak Effendi, memang serius mau menulis buku, maka jangan tunggu hingga buku selesai diterbitkan baru mau menulis. Tapi begitu naskah buku sudah ok, maka mulailah menulis naskah buku selanjutnya. Sehingga selang waktu antara diterbitkannya buku perdana dan selanjutnya, tidak terlalu jauh. Karena bila sudah senang dan asyik karena satu buku sudah diterbitkan, maka semangat untuk menulis menjadi meluntur. Pesan ini, masih terngiang-ngiang hingga kini, walaupun sudah berlalu bertahun-tahun.
Kemudian, Editor beralih kepada Bu Chandra, karena Pak Aloysius Ari Subagijo, dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi. Berturut-turut, tulisan saya naik cetak. Tentu saja bagi saya sebuah hal yang sangat menyenangkan hati. Apalagi ketika suatu waktu, nomor rekening saya diminta oleh bagian keuangan dari PT.Elex Media, kalau tidak salah ingat, namanya Sandra.
Untuk pertama kalinya, saya merasakan nikmatnya, uang hasil dari karya tulis. Kemudian saya berunding dengan istri saya, bahwa uang hasil royalty dari buku, tidak akan saya gunakan dan kelak kalau sudah terkumpul, akan kami gunakan untuk jalan-jalan ke luar negeri. Kalau waktu itu ada orang lain, yang ikut mendengarkan, mungkin saya akan jadi bahan tertawaan
National Best Seller
Suatu waktu, Bu Chandra menelpon “Pak Effendi, silakan dibaca di Kompas. Buku-buku Pak Effendi, termasuk dalam kategori National Best Seller… Selamat ya, teruslah menulis” Pesan bu Chandra.. Serasa bermimpi, saya cari koran Kompas dan buru-buru menelusuri halamannya, ternyata benar ada tulisan yang dicetak dengan huruf besar “Buku-Buku Tjiptadinata Effendi -National Best Seller”
Rasa syukur saya melambung tinggi dan ketika saya sampaikan kepada istri, saya langsung dipeluk kuat-kuat.
Menulis Bukan Untuk Mengejar Uang
Tidak semua orang menulis untuk mengejar uang. Berbagai alasan orang menulis, antara lain:
- Hobbi
- Mencegah pikun
- Menjaring pertemanan
Tapi, bilamana tulisan kita ada nilai rupiahnya, tidak ada salahnya. Karena kita menerima sesuatu dari hasil karya sendiri. Sesungguhnya untuk menulis buku, tidak harus menjadi sarjana bahasa atau sarjana sastra. Bila kita mau belajar, maka dengan kemampuan menulis seadanya, selalu terbuka jalan untuk meraih cita cita kita sebagai penulis.
Kita tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga dengan melakukan searching di google dan membukukan semua catatan, yang membahas bagaimana cara menulis buku, agar berpeluang untuk menjadi best seller. Karena sebenarnya sangat sederhana. Tapi karena sudah terbiasa terperangkap oleh cara berpikir, bahwa yang rumit dan berbelit-belit itu adalah yang benar, maka dengan mudah, pemikiran sederhana dianggap tidak berharga. Padahal justru dalam kesederhanaan itu terbungkus sebuah keajaiban.
Perlu dipahami, bahwa buku yang dicari orang dan laris di toko buku, belum tentu secara secara serta merta merupakan karya tulis terbaik. Bahkan bila ditinjau dari sudut tata bahasa, maupun kemasan tulisannnya, bisa jadi masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dalam kata lain ”best seller tidak serta merta best writing” dan sebaliknya: ”best writing belum tentu otomatis “best seller”.
Beda Jalur Dan Alur
Kendati keduanya adalah membahas tentang buku, namun ada dua hal yang berbeda jalur dan pemahamannya. Walaupun buku karya saya, pernah terpajang di Harian Kompas, sebagai National Best Seller pada tahun 2004 namun bukan berarti saya adalah best writer.
Bahkan secara jujur, saya katakan bahwa gaya menulis saya termasuk gaya kampungan. Bahasa yang digunakan, hanya bahasa sehari-harian. Hampir setiap tulisan saya, tidak tersentuh oleh nilai sastra, maupun gaya penulisan yang akademik. Dalam kata lain, sangat sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi kenapa koq tulisan yang “kayak gituan” bisa jadi nasional best seller? Karena content tulisan saya mememiliki selling point atau nilai jual.
Penerbit Adalah Juga Pengusaha
Dan penerbit adalah juga sekaligus pengusaha, yang jelas menengok sebuah naskah tulisan, bukan dari keindahan tata bahasanya, melainkan dari sudut selling pointnya. Kesederhanaan bahasa adalah kekuatan. Kekuatan sebuah buku adalah dari kesederhanaan bahasa yang disajikan. Mengingat para pembaca sebagian besar adalah dari komunitas non akademis.
Kalangan akademis lebih tertarik membaca buku buku science, technology dan perkembangan perkembangan baru. Sedangkan yang dibutuhkan masyarakat umum, adalah bacaaan yang dapat dijadikan sumber referensi bagi mereka untuk keluar dari kemelut hidup yang dijalaninya
Bagaimana bangkit dari keterpurukan dan langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk menata hidup, guna meraih kehidupan yang lebih layak. Bila memang berniat dan bertekad untuk menulis buku, maka jadilah yang pertama.
Maksudnya tulislah sesuatu yang belum pernah ditulis orang lain. Karena kalau menjadi follower dalam menulis, maka sudah dapat dibayangkan bahwa bila kelak buku kita dicetak, hanya akan menjadi pajangan estalage toko buku dan tidak akan disentuh pembeli.
Buku yang bermuatan nilai-nilai psikologis, lebih diminati masyarakat luas, walaupun dari sudut tata bahasa dan kualitas tulisan, bisa jadi masih banyak kekurangannya di sana-sini. Jenis buku seperti ini, kalah dari sudut kualitas bahasa bila dibandingkan dengan karya tulis yang sarat dengan bahasa akademis dan tehnologi, tapi mampu memenangkan hati banyak orang.
Penulis yang bercita-cita meraih best seller, tentu tidak dapat mengabaikan “psikologi pasar” Karena ibarat orang berjualan di pasar, kalau tidak menguasai psikologi pasar, maka dipastikan ia tidak akan sukses dibidang bisnisnya.
Selling Point
Di samping menulis untuk hobi dan menerapkan hidup berbagi melalui kisah-kisah yang inspiratif atau bermuatan motivasi, tidak ada salahnya kita mencermati mana tulisan yang memiliki ”selling point“, sehingga dapat “dijual“ untuk menghasilkan uang.
Bagi Penulis yang bercita-cita menjadi Best Writer, tentu akan lebih fokus pada keindahan tata bahasa baik dalam konten, maupun dalam penggunaan tata bahasa dalam bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan. Bahkan tanda-tanda baca, penempatan titik koma dan panjangnya sebuah kalimat termasuk menjadi perhatiannya.
Sebaliknya, seorang penulis Best Seller, cenderung memikirkan konten naskah yang memiliki selling point yang dibutuhkan oleh orang banyak. Karena tulisan yang disukai orang belum tentu dibutuhkannya.
Penulis Best Seller, belum tentu tulisannya mendapatkan tempat terbaik di Blog, karena dari sudut tata bahasa dan kecermatan penggunaan tanda-tanda baca, mungkin kurang cermat. Sebaliknya penulis terbaik di blog, belum tentu tulisannya laku dijual. Karena masing-masing memiliki alam yang berbeda, kendati sama-sama dalam ruang lingkup tulis menulis.
Seorang penulis yang lebih fokus untuk menjadi Best Writer, tentu akan selalu berusaha untuk menulis sesempurna mungkin. Mulai dari penggunaan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan (E.Y.D.), menempatkan titik koma dan tanda tanda bacaan, menurut semestinya. Tetapi bagi seorang Penulis Best Seller, lebih fokus kepada konten yang memiliki selling point, sehingga seringkali tanda-tanda baca, menjadi terabaikan.
Hasil Royalty ke 9 Karya Tulis Bisa Bawa Istri Keliling Dunia
Mungkin banyak orang yang tidak percaya, bahwa dari hasil royalty ke 9 judul buku saya, yang rata-rata dicetak ulang belasan kali, telah terkumpul di tabungan saya lebih dari 200 juta rupiah. Uang tersebut, sama sekali tidak pernah saya sentuh. Karena niat awal, kalau sudah cukup banyak terkumpul, saya akan ajak istri saya jalan-jalan ke Singapore. Tetapi ternyata secara menakjubkan total hasil royalty, bukan hanya ke Singapore, melainkan keliling dunia selama hampir 2 bulan dan masih cukup banyak sisanya,
Tulisan ini, bukan untuk pamer diri, melainkan untuk memberikan inspirasi dan motivasi, agar orang berani untuk bermimpi, kemudian kerja keras dan cermat,untuk menjadikan impian tersebut sebuah kenyataan. Bukan ijazah yang menentukan orang sukses atau tidak, melainkan sikap mental dan kerja keras tanpa pernah putus asa
Tjiptadinata Effendi