Sebutan untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara poros maritim dunia, sebenarnya sudah berkumandang sejak tahun 2014 silam. Gagasan ini merupakan salah satu corak pembeda antara calon Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto kala itu.
Semua ini berangkat dari keprihatinan Jokowi terhadap laut Indonesia. Dengan luas lautan 3,25 juta km2, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Indonesia memiliki potensi kelautan yang luar biasa, yang sayangnya malah dibiarkan tak tergali secara maksimal selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka.
Sebelum era pemerintahan Jokowi, para mafia perikanan berpesta pora bersama-sama dengan kapal pencuri ikan dari negara asing mencuri kekayaan laut Indonesia di depan hidung penguasa ketika itu. Negara pun terkesan menutup mata, sangat jarang atau mungkin tidak pernah terdengar ada kapal pencuri ikan yang ditangkap bahkan ditenggelamkan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menyebutkan kerugian negara akibat aktivitas penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing mencapai Rp 3.000 triliun.
“Ya kalau Anda tidak percaya sama saya. Bu Sri Mulyani sudah bilang 20 miliar dollar AS. (Kalau menurut ) saya bicara Rp 3.000 triliun paling tidak. Ya sudah. Mirip-mirip,” kata Susi, Jakarta, Senin 22 Juni 2015.
Padahal sebagai negara kepulauan terbesar dan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia. Di masa lalu, Nusantara pernah berjaya menjadi negara maritim yang disegani di dunia melalui kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Dan kini, Jokowi ingin mengulang kejayaan itu sekali lagi dengan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Konsep Jokowi tentang Poros Maritim sendiri merupakan sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, perbaikan transportasi laut dan fokus pada keamanan maritim serta penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI.
Upaya ini pernah disampaikan oleh Jokowi dalam sambutannya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur.
“Saya memilih forum ini untuk menyampaikan gagasan saya tentang Indonesia sebagai poros maritim dunia, dan harapan saya tentang peran KTT Asia Timur kedepan,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT Asia Timur, di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis 13 November 2015.
“Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudera, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa,” kata Presiden Jokowi menegaskan.
Jokowi menyadari bahwa dalam sebuah trasformasi besar yang sedang terjadi di abad ke-21 ini. Dimana pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit. Momentum ini merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan dan harus dimanfaatkan dengan baik untuk menunjang cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Oleh sebab itu, Jokowi memaparkan lima pilar utama yang akan menjadikan Indonesia mewujudkan cita-citanya.
Pilar pertama adalah pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.
“Sebagai negara yang terdiri atas 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudera,” katanya.
Pilar kedua adalah komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. “Kekayaan maritim kami akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat kami”.
Pilar ketiga adalah komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan adalah pilar keempat agenda pembangunan itu.
“Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut,” ujarnya.
Pilar kelima atau terakhir adalah sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim.
“Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim kami, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim,” katanya.
Memang tidak mudah untuk mewujudkannya, salah satu contohnya adalah ketika Jokowi melalui menteri KKP Susi Pudjiastuti berupaya mengamankan kekayaan laut Indonesia. Beberapa orang mengingatkan jika pemilik kapal-kapal tersebut banyak backingannya. Namun hal ini tidak membuat Jokowi bergeming.
Perintah untuk menenggelamkan kapal pencuri ikan pun harus dikeluarkan sampai tiga kali oleh Jokowi.
“Saat itu saya tegaskan selama tiga kali. Kerjakan, kerjakan, dan kerjakan. Tanya saja Bu Susi kalau tidak percaya,” imbuhnya ketika berbicara dalam Temu Silaturahmi di MG Setos Semarang, 2 Februari 2019.
Dan terbukti, dalam empat tahun terakhir setidaknya kapal pencuri ikan yang berhasil ditenggelamkan oleh menteri Susi mencapai hampir 500 kapal. Rekor ini bahkan mendapat pengakuan dari US Navy (Angkatan Laut Amerika Serikat) melampaui rekor yang pernah mereka buat.
Saat ini, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, potensi lestari ikan di laut Indonesia mencapai 12,5 juta ton. Padahal sebelumnya, berpuluh-puluh tahun potensi ikan Indonesia hanya satu digit: sekitar 5, 6, atau 7 juta ton saja.
Dari sisi konektivitas, setidaknya hampir 40 pelabuhan baru sudah dan sedang dibangun. Termasuk yang direvitalisasi dari pelabuhan kecil menjadi pelabuhan sedang dan sedang menjadi pelabuhan besar. Tujuannya adalah untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah dan menekan ketimpangan harga di berbagai wilayah Indonesia.
Itu belum termasuk trayek kapal perintis yang terus bertambah: dari 84 di 2015 naik menjadi 113 trayek di 2018. Sama halnya dengan tol laut: dari sebelumnya hanya tiga trayek, sekarang sudah menjadi 18 trayek. Lalu, volume pengangkutan barang melalui laut juga berangsur meningkat. Kapasitas kargo yang di 2014 hanya 16,7 juta TEUs per tahun, telah membesar menjadi 19,7 juta TEUs per tahun di 2017.
Terakhir, tersedianya skema pembiayaan non bank “Bank Mikro Nelayan” guna memacu tumbuh kembangnya usaha kelautan dan perikanan rakyat yang selama berpuluh-puluh tahun terhambat akses permodalan.
Apakah semua itu sudah cukup? Belum, meningkatnya potensi ikan di laut Indonesia sebanyak 12,5 juta ton pertahun ternyata belum secara maksimal dimanfaatkan.
Buktinya, hasil laut Indonesia baru memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap Gross Domestic Product (GDP).
Angka tersebut masih dikatagorikan rendah jika dibandingkan negara lain yang memiliki laut lebih kecil dibandingkan Indonesia seperti, Jepang, Korea Selatan maupun Vietnam yang memiliki kontribuasi sektor kelautan antara 48% sd 57% terhadap GDP.
Setidaknya masih ada tiga agenda prioritas bagi Jokowi dalam visi maritimnya di periode keduanya nanti untuk memanen hasil dan membuat Indonesia benar-benar diakui menjadi Poros Maritim Dunia.
Pertama, memperkuat manusia Indonesia dengan kultur inovasi. Yakni menumbuhkan kreativitas yang dapat diaplikasikan guna meningkatkan nilai tambah produk kelautan dan kualitas hidup orang Indonesia.
Kedua, memperkuat perikanan budidaya. Faktanya, dari total 17,9 juta hektare potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di darat maupun laut, baru 1,3 juta hektare yang termanfaatkan. Itu pun dengan produktivitas yang masih rendah bila dibandingkan dengan tiga eksportir ikan papan atas dunia.
Ambil contoh Vietnam, selain ikan patin, komoditas udanglah yang mengantarkan Vietnam masuk tiga besar eksportir ikan di dunia. Inilah peluang yang harus diambil Indonesia.
Terakhir, memastikan diplomasi maritim Indonesia semakin strategis. Utamanya, untuk terlibat menjaga perdamaian di kawasan, menyelesaikan perjanjian batas wilayah dengan para tetangga, serta memperluas dan menekan bea masuk produk-produk perikanan dan kelautan Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor.
Dengan demikian berbekal kerja empat tahun terakhir, ditambah optimisme dan sederet inovasi yang tengah tumbuh kembang di kampung-kampung nelayan, Indonesia siap melaju menjadi Poros Maritim Dunia.