Indovoices.com – Langkah ini dimaksudkan untuk mendorong negara-negara pendonor agar menyediakan lebih banyak uang untuk mengatasi krisis Ebola di Kongo.
Wabah Ebola di Kongo telah menewaskan lebih dari 1.600 orang. Pekan ini, kasus pertama terdeteksi di Goma yang dihuni lebih dari satu juta orang.
Status darurat yang dikeluarkan WHO adalah status tertinggi dan baru empat kali digunakan, termasuk wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014-2016 yang menewaskan lebih dari 11.000 orang.
“Sudah waktunya bagi dunia untuk memperhatikan,” kata ketua WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada konferensi pers di Jenewa.
Orang Indonesia paling banyak jadi relawan, warga Myanmar paling banyak beramal
Dipercepat, pembuatan vaksin untuk tiga virus mematikan
Minum jamu gairah seks, tiga pria dilarikan ke pusat kolera
Ghebreyesus mengatakan pihaknya menerima rekomendasi tidak boleh ada pembatasan perjalanan atau perdagangan, dan tidak ada penyaringan bagi penumpang yang ingin masuk ke pelabuhan atau bandara di luar wilayah Kongo.
Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menyambut langkah ini.
“Meskipun itu tidak mengubah kenyataan di lapangan bagi para korban atau mitra yang terlibat, kami berharap status itu akan membawa perhatian internasional yang layak didapatkan krisis ini,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Seberapa parah situasi di Kongo?
Wabah yang terbesar kedua dalam sejarah, dimulai pada Agustus 2018 dan mempengaruhi dua provinsi di Kongo, Kivu Utara dan Ituri.
Lebih dari 2.500 orang telah terinfeksi dan dua pertiga dari mereka telah meninggal.
Wabah ini berkembang dengan sangat pesat. Dibutuhkan 224 hari bagi jumlah kasus untuk mencapai 1.000, namun selang 71 hari kemudian jumlah kasus bisa mencapai 2.000. Sekitar 12 kasus baru dilaporkan setiap hari.
Apa itu Ebola?
Ebola adalah virus yang pada awalnya menyebabkan demam mendadak, kelesuan, nyeri otot, dan radang tenggorokan.
Gejala tersebut berkembang menjadi muntah, diare, serta pendarahan internal dan eksternal.
Orang-orang akan terinfeksi ketika melakukan kontak langsung melalui luka di kulit, mulut, atau hidung. Virus tersebar melalui muntahan, kotoran, dan cairan tubuh penderita Ebola.
Pasien cenderung meninggal karena dehidrasi dan kegagalan banyak organ.
Apakah sudah ada vaksin untuk mengatasinya?
Ya.
Vaksin ini 99% efektif dan lebih dari 161.000 orang sudah mendapatkannya.
Kendati begitu, belum semua orang divaksinasi – hanya mereka yang melakukan kontak langsung dengan pasien Ebola, dan orang-orang yang melakukan kontak dengan mereka.
Vaksin ini dikembangkan ketika wabah itu terjadi di Afrika Barat dan telah tersedia selama wabah berlangsung di Kongo.
Mengapa wabah belum bisa dikendalikan?
Konflik yang terjadi di wilayah itu mempersulit penanganan penyakit ini.
Sejak Januari, terjadi 198 serangan terhadap petugas kesehatan atau fasilitas perawatan Ebola yang menyebabkan tujuh orang meninggal dan 58 cedera.
Masalah besar lain adalah ketidakpercayaan terhadap petugas layanan kesehatan yang menyebabkan sekitar sepertiga dari seluruh kematian terjadi di masyarakat umum tinggal, dan bukan di pusat perawatan Ebola.
Ini artinya orang-orang itu tidak mencari pengobatan dan berisiko menyebarkan penyakit ke tetangga dan kerabat. Selain itu, penyebaran virus sulit dilacak.
Sejumlah kasus pun mengejutkan karena terjadi pada mereka yang tidak melakukan kontak langsung dengan kasus-kasus Ebola yang sudah terdeteksi.
“Kami baru satu tahun menangani wabah dan situasinya tidak membaik,” ujar Trish Newport dari organisasi kemanusiaan medis internasional independen Médecins Sans Frontières (MSF). “Ini adalah lingkungan yang kompleks dengan sejarah panjang kekerasan, konflik, jadi banyak ketidakpercayaan terhadap orang asing di luar daerah. “Kami harus membangun ikatan dan koneksi dengan masyarakat sehingga mempercayai kami.”
Bisakah penyakit ini menyebar lebih lanjut?
WHO mengatakan risiko penyebaran Ebola ke negara-negara tetangga “sangat tinggi”.
Di Uganda terjadi beberapa kasus, termasuk dua orang yang meninggal karena penyakit tersebut – seorang anak laki-laki berusia lima tahun dan neneknya yang berusia 50 tahun.
Rwanda juga berisiko. Pekan ini seorang pendeta meninggal karena Ebola di kota Goma, yang dihuni lebih dari satu juta orang. Kota ini merupakan pusat transportasi utama dan terletak di perbatasan Kongo-Rwanda.
WHO menyebut kasus ini sebagai “game-changer”. Namun, belum ada kasus yang dilaporkan menyebar di Goma.
Apakah dunia cukup membantu?
WHO selama berbulan-bulan sudah jelas mengatakan tidak punya cukup dana untuk mengatasi masalah tersebut.
Diperlukan US$98 juta atau sekitar Rp1,3 triliun untuk mengatasi wabah selama Febuari hingga Juli. Namun WHO mengalami kekurangan US$54 juta, atau sekitar Rp753 miliar rupiah. (bbc)