Bila di dalam negeri, kita mengenal istilah kampret untuk sekelompok orang yang selalu merongrong pemerintahan Indonesia dengan berbagai macam fitnah, berita hoax dan tidak senang Indonesia bisa maju di bawah kepemimpinan Jokowi. Maka di luar negeri, ada juga negara yang merasa tidak senang melihat kemajuan Indonesia.
Nama negara tersebut adalah Vanuatu, mungkin masih asing bagi telinga sebagian pembaca. Sebelum melanjutkan, akan saya ceritakan sedikit mengenai negara ini.
Republik Vanuatu adalah sebuah negara kepulauan di Samudra Pasifik bagian selatan. Terletak di sebelah timur Australia, timur laut Kaledonia Baru, barat Fiji dan selatan Kepulauan Solomon. Negara ini dahulu bernama Hebrides Baru semasa penjajahan. Vanuatu terdiri dari 83 pulau, dua di antaranya pulau Matthew dan Hunter yang juga diklaim oleh Kaledonia Baru.
Dengan jumlah penduduk kurang dari 300 ribu jiwa, luas keseluruhan Vanuatu adalah (perairan dan daratannya) sekitar 12,190 km2. Sedangkan untuk luas daratannya, bila digabung jadi satu hanya seluas sekitar 4.700 km2 lebih kecil sedikit dibandingkan dengan luas propinsi Bali. Dengan Port Villa sebagai Ibukotanya, Vanuatu tergolong sebagai salah satu negara miskin.
Memanasnya hubungan Indonesia dengan Vaniatu, terjadi karena Vanuatu selayaknya kampret, sering kali menyampaikan isu-isu yang tidak benar mengenai pelanggaran HAM. Bahkan mempertanyakan keabsahan penggabungan Papua ke Indonesia.
“Indonesia tidak akan tinggal diam bila negara kepulauan Vanuatu terus mengusik kedaulatan teritori Indonesia,” ujar Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla dalam sesi debat umum Sidang Majelis Umum Ke-73 PBB di Markas Besar PBB New York, Kamis 27 September 2018 waktu setempat.
Indonesia sangat menyesalkan upaya Vanuatu untuk mendukung atau bahkan yang terburuk menjadi bagian dari gerakan separatis di Papua. “Tindakan permusuhan ini tidak memiliki tempat di sistem PBB. Suatu tindakan yang jelas melanggar prinsip-prinsip PBB,” kata Wapres Jusuf Kalla.
Kalla menekankan, “Indonesia tidak akan membiarkan negara mana pun merusak integritas teritorial NKRI.” Seperti halnya negara berdaulat lainnya, Indonesia akan dengan teguh membela integritas teritorialnya.
“Saya ulangi akan dengan teguh membela integritas teritorialnya,” kata Wapres RI tersebut.
Sebelumnya, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai menyinggung tentang Papua dalam Sidang Majelis Umum ke-73 PBB di New York, Amerika Serikat. Salwai, yang merupakan pendukung lama penentuan nasib Papua Barat, mengatakan kepada Majelis Umum PBB di New York bahwa dekolonisasi harus tetap ada dalam agenda PBB.
Pernyataan Vanuatu didukung oleh dua negara pasifik lainnya, yakni Marshall Island dan Tuvalu. Ketiga negara itu menuduh RI melakukan pelanggaran hak asasi manusia (PBB) di Papua Barat dan menyuarakan dukungan untuk separatis kelompok Papua Merdeka.
Presiden Marshall Islands Hilda Heine mengatakan pada sidang ke-73 Majelis Umum PBB bahwa Forum Kepulauan Pasifik mendukung “keterlibatan konstruktif” dengan Indonesia mengenai masalah ini.
Sedangkan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga melanjutkan seruannya untuk pengakuan masyarakat adat.
“PBB juga harus melibatkan orang-orang Papua Barat untuk mencari solusi jangka panjang bagi perjuangan mereka,” katanya, seperti dikutip radionz.co.nz, Senin 1 Oktober 2018
Tindakan mengusik dari ketiga negara tersebut bukanlah pertama kalinya. Pada bulan Mei 2017, Indonesia juga sempat kesal dan menolak klaim tujuh negara Pasifik bahwa pertemuan Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP) yang digelar bulan tersebut di Brussels akan membahas Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri.
Bantahan Indonesia disampaikan pihak Kedutaan Besar Indonesia di Selandia Baru, Senin 15 Mei 2017. Ketujuh negara Pasifik itu adalah Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau dan Marshall Island.
Lantas apa yang membuat negara-negara Pasifik tersebut semakin gencar melakukan provokasi beberapa tahun terakhir ini, seperti gencarnya provokasi kampret menjelang pilpres?.
Salah satu faktor utama adalah terkait dengan pemanasan global. John D. Sutter dari CNN, pernah menuliskan laporan panjang tentang Kepulauan Marshal di laut Pasifik. Republik Kepulauan Marshall adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di Samudera Pasifik bagian barat.
Berbatasan dengan Nauru dan Kiribati di sebelah selatan, Mikronesia di barat, dan Pulau Wake di utara. Nauru, Kiribati dan Wake adalah negara-negara yang paling merasakan dan jelas tahu dampak dari naiknya permukaan laut. Jika suhu bumi naik 2 derajat lagi, dipastikan negara-negara itu akan tenggelam dan tidak lagi bersisa. Sementara itu, Vanuatu telah mengungsikan sebagian penduduknya dan desa-desa di pesisir direlokasikan ke tempat yang lebih tinggi.
Jadi satu-satunya cara agar dapat terus bertahan adalah mencari daratan baru, Papua dalam hal ini adalah target yang paling sesuai. Sejak bergabung dengan NKRI 1969, Papua bisa dibilang minim perhatian, bahkan pembangunan di Papua pun terkesan seadanya.
Tidak heran bila ketidakadilan tersebut menimbulkan gejolak separatisme di sana. Dengan memanfaatkan gejolak separatisme serta kekacauan di Tanah Papua ada harapan negara-negara Pasifik yang nyaris tenggelam tersebut ikut campur dalam urusan dalam negeri Papua dengan harapan dapat memetik keuntungan untuk kepentingan mereka sendiri, bila sampai Papua memisahkan diri.
Belum lagi kekayaan alam dan hasil tambang dari tanah Papua tentu sangat menggiurkan bagi negara-negara Pasifik yang miskin dan hanya mengharapkan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan negara mereka selama ini.
Untungnya sejak pemerintahan Jokowi, Papua mendapatkan perhatian lebih dan mengalami banyak kemajuan, pembangunan infrastruktur dilakukan di mana-mana. Gerakan separatisme walaupun masih ada namun semakin mengecil dari waktu ke waktu, karena alasan ketidakadilan dari pemerintahan pusat kepada mereka mulai terkikis oleh pembangunan yang digalakkan pemerintahan Jokowi.
Bahkan Gubernur Papua, Lukas Enembe pun berani mengklaim dukungan 3 juta suara untuk Jokowi dari Papua menjelang pilpres 2019 nanti. Hal ini menandakan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintahan yang sekarang. Saya membayangkan bila bukan Jokowi presidennya, bisa jadi dukungan 3 juta suara tersebut akan tetap ada, namun berupa dukungan untuk mengadakan referendum.
Beruntunglah Indonesia kini dipimpin oleh Jokowi yang banyak memberikan perhatian kepada daerah-daerah Indonesia yang puluhan tahun terabaikan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, yakni daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T).
Hal inilah yang membuat negara-negara Pasifik tersebut bertingkah seperti layaknya kampret dalam negeri, yang hobi melakukan fitnah dan provokasi kepada dunia internasional untuk memaksa Indonesia mengadakan referendum bagi Papua. Bahkan tidak ragu untuk terlibat dalam kegiatan separatisme di Papua seperti yang disampaikan oleh Wapres RI, Jusuf Kalla.
Trailer Negara Pasifik Terus Usik Indonesia
https://youtu.be/iaDHbbQw44U