Jumat, 6 Juli 2018 merupakan tanggal dimulainya perang dagang yang dicetuskan Amerika melawan China. Tidak tanggung-tanggung, pemerintahan Amerika Serikat membidik 1300 produk China yang akan dikenakan kenaikan tarif sebesar 25 persen.
Sebagian besar tarif akan membidik industri teknologi, permesinan dan kedirgantaraan China. Selain itu peralatan medis, obat-obatan dan material pendidikan seperti peralatan penjilidan buku juga terkena imbasnya.
Sebelumnya pemerintah Trump telah memberlakukan tarif 25 persen bagi impor baja dan 10 persen untuk aluminium. Tarif itu berlaku terhadap sebagian besar negara di dunia, termasuk China, meski beberapa negara mendapat pengecualian.
Ketika itu China merespons tarif logam AS itu dengan memberlakukan pajak terhadap ekspor AS ke China. Termasuk buah-buahan, anggur, kacang-kacangan dan daging babi. Dan kini China membalas dengan memasang tarif tinggi terhadap 1.000 produk asal AS, seperti kedirgantaraan, robotik, manufaktur dan industri otomotif.
Diperkirakan perang dagang kemungkinan tidak hanya akan terjadi di sektor perdagangan, tapi juga bakal melebar ke sektor investasi.
Tindakan Trump bukannya tidak menuai protes didalam negerinya sendiri. Berbagai protes dilakukan oleh perusahaan besar terutama industri otomotif serta kelompok lobi para petani AS yang menghimbau pemerintah AS tidak meneruskan rencana pemberlakuan tarif karena mengkhawatirkan balasan dari China, yang merupakan salah satu pembeli terbesar produk pertanian AS. Walaupun sejauh ini kurang direspon pemerintahan Trump namun tekanan semakin meningkat melalui lobi-lobi di senat.
Selain dengan China, Amerika Serikat juga menerapkan tarif impor 25 persen untuk produk baja dan 10 persen untuk aluminium Uni Eropa, Kanada dan Meksiko. Walau Uni Eropa sempat membalas dengan memberlakukan tarif bea masuk sebesar 25 persen atas produk pertanian AS, seperti beras, jus jeruk. Selain itu, tarif juga diberlakukan untuk jenis minuman bourbon, sepeda motor dan produk baja. Namun Uni Eropa berusaha menghindari perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Hal tersebut disampaikan Kanselir Jerman Angela Merkel.
Bisa jadi karena melunaknya Uni Eropa, Trump pun memperluas ancamannya untuk melakukan perang dagang ke negara lainnya di dunia. Kali ini sasaran Trump adalah Indonesia, alasannya karena jumlah ekspor ke AS lebih tinggi dibanding jumlah ekspor AS ke Indonesia. Sepanjang 2017, Indonesia menikmati surplus US$ 9,59 miliar atau sekitar Rp 134 triliun (kurs Rp 14.000).
Setidaknya ada sekitar 124 produk produk asal Indonesia tengah dievaluasi apakah pantas mendapatkan fasilitas generalized system of preference (GSP) atau tidak.
GSP sendiri adalah semacam sistem seperti pembebasan bea masuk yang diberikan AS ke produk impor. Apabila GSP dihapus, produk Indonesia akan menjadi lebih mahal sehingga menurunkan permintaan akibat tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan, jika keputusan itu diberlakukan maka akan banyak pihak yang akan dirugikan. Oleh karenanya, Enggar berencana untuk melakukan komunikasi dengan AS.
Lebih lanjut Enggar mengatakan, jika tekanan tersebut terus berlanjut maka tak segan pihaknya akan melakukan retaliasi (tindakan balasan) terhadap AS.
Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Enggar, bahwa perang dagang pada dasarnya hanya akan merugikan semua pihak yang terlibat dalam perang tersebut dan sudah selayaknya dihindari sebisa mungkin.
Bila tidak terhindarkan, memang satu-satunya cara adalah melakukan balasan. Namun sayangnya nilai ekspor Amerika ke Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan nilai ekspor Indonesia ke Amerika. Jadi bila dipaksakan, untuk jangka pendek yang mengalami kerugian adalah Indonesia walaupun untuk jangka menengah dan panjang ada untungnya juga, yaitu memaksa Indonesia menjadi lebih mandiri melepaskan ketergantungan dari Amerika dengan meluaskan pangsa pasarnya ke berbagai negara lain.
Lagian ada yang perlu dikoreksi, yakni istilah perang dagang itu sendiri. Padahal aslinya adalah Amerika Serikat mereview GSP yang selama ini diberikan kepada Indonesia, artinya bila selama ini produk-produk Indonesia mendapat keringanan bea masuk. Maka kali ini sedang direview apakah keringanan bea masuk itu akan dicabut atau tidak. Bila dicabut, maka produk Indonesia akan dikenakan bea masuk normal sama dengan negala lain yang tidak mendapat fasilitas GSP.
Lantas apa yang dapat kita lakukan seandainya fasilitas GSP tersebut dicabut?. Jepang, Korea Selatan dan Uni Eropa merupakan pangsa pasar yang cukup potensial untuk dijajaki terutama untuk produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif, seperti produk-produk perikanan yang sangat berlimpah di Indonesia.
Sedangkan untuk produk-produk yang tidak memiliki keunggulan komparatif seperti tekstil dan sejenisnya, karena banyaknya saingan eksportir lainnya, mau tidak mau Indonesia harus bisa meningkatkan keunggulan kompetitif untuk sektor ini. Kualitas industri tekstil perlu dimaksimalkan lagi. Produk-produk seperti batik, kain songket dan sejenisnya punya peluang cukup besar untuk berkompetisi dengan produk tekstil dari negara lain.
Tentu saja kerjasama antara pengusaha dengan pemerintah untuk melakukan lobi-lobi perdagangan, baik untuk kerjasama baru maupun peningkatan volume ekspor ke negara tujuan sangat berperan sekali.
Sedangkan dari sisi impor, contohnya kacang kedelai yang memiliki nilai impor terbesar dari Amerika Serikat, sebagai alternatifnya dapat diimpor dari Brazil atau Argentina yang volume produksi kedelainya tidak jauh berbeda dibanding Amerika Serikat. Demikian halnya juga dengan gandum, jagung dan tembakau.
Jadi walaupun pemerintah Amerika Serikat belum mengumumkan secara resmi mengenai dicabut tidaknya status GPS untuk produk-produk Indonesia. Namun segala antisipasi sudah harus dilakukan sedini mungkin guna meminimalkan dampaknya, bila Amerika benar-benar melaksanakan ancamannya untuk mencabut pemberian GPS-nya kepada produk Indonesia.
Presiden Jokowi sendiri direncanakan baru akan memberikan pernyataannya terkait hal ini, hari senin mendatang, 9 Juli 2019.
Trailer Tentang Tanggapan Yang Akan Diberikan Jokowi Terkait Perang Dagang
https://youtu.be/J_LiyMypeao