“Beberapa waktu yang lalu memang kita ada program itu, program jangka panjang, mulai dari kerjasama risetnya dulu, membuat prototype-nya, baru produksinya, ini berlanjut terus, program yang multiyear. Tetapi dengan kondisi ekonomi nasional maka Presiden telah memutuskan untuk renegosiasi, jadi kita menegosiasikan ulang bagaimana posisi Indonesia bisa lebih ringan untuk masalah-masalah yang menyangkut pembiayaan,” ujar Menko Polhukam Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (19/10).
Menko Polhukam mengakui bahwa keputusan ini tentunya akan berdampak pada bagaimana agreement beberapa waktu lalu yang sudah dibicarakan. Oleh karena itu, maka akan dibentuk satu tim khusus untuk membahas hal-hal yang akan dibicarakan dalam proses renegosiasi tersebut.
“Hari ini kita merapatkan karena Presiden memerintahkan untuk Menko Polhukam mengetuai untuk tim renegosiasi ini kepada pihak Korea Selatan. Tadi membicarakan hal ini, tentang banyak hal, tentunya belum final karena ini butuh waktu satu tahun tapi mudah-mudahan tidak sampai setahun bisa kita selesaikan,” kata Menko Polhukam Wiranto.
Hal-hal yang akan dibahas di antaranya seperti masalah kemampuan pembiayaan dari Indonesia, masalah kemungkinan persentase cost sharing, jumlah bentuk development cost sharing, cost produksi, alih teknologi kepada Indonesia, keuntungan hak intelektual bagi Indonesia, pemasaran, dan lain-lain.
“Dulu kan ada satu kerja sama, agreement-nya kan ada, poin-poinnya ada. Nah, poin-poin itu yang akan kita bahas dengan tim. Tim sekarang kita bentuk tapi sekarang sudah kita beri warning ‘ini loh nanti kemungkinan-kemungkin yang akan kita bahas ini, ini, ini’. Jadi kita tunggu saja,” ujar Menko Polhukam Wiranto.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan, restrukturisasi dan renegosiasi program kerja sama KF-X/IF-X ini juga bagian dari upaya pemerintah untuk menghemat devisa negara. Karena semua setoran-setoran pemerintah dari program kerja sama pesawat tempur ke Korea, lanjut Tom Lembong, semuanya harus dibayar dalam bentuk devisa, sementara sebagaimana diketahui bahwa mata uang dari negara berkembang termasuk Rupiah masih mengalami tekanan yang luar biasa.
“Jadi kami sangat mengapresiasi pemerintah Korea pengertiannya untuk menyetujui proses renegosiasi dalam kerjasama ini. Karena Korea itu investor nomor dua atau nomor tiga terbesar di Indonesia,” kata Thomas Lembong.
Dijelaskan oleh Kepala BKPM bahwa pemerintah tidak mau ada dampak negatif dari renegosiasi ini terhadap sentimen investasi Korea dengan Indonesia. Oleh karena itu, lanjut Tom Lembong, maka dibentuk tim negosiasi yang memiliki tujuan untuk bisa menghemat devisa sementara ini, serta menjaga iklim investasi untuk investor Korea.
“Waktu kunjungan kenegaraan Bapak Presiden ke Korea beberapa minggu yang lalu, Presiden Korea menyetujui untuk dilakukan renegosiasi dan restrukturisasi daripada kerja sama ini. Tentunya yang antara lain pokok-pokok renegosiasi itu misalnya termin pembayaran, cicilan-cicilan itu mungkin kita mau tunda, kita ringankan supaya mengurangi beban APBN dan mengurangi pengurasan cadangan devisa kita,” kata Thomas Lembong.
“Jadi pemerintah Korea sangat mengerti, sangat kondusif. Tapi kedua Kepala Negara sepakat ini harus tuntas dalam 12 bulan, jadi rakor pagi ini tindaklanjut daripada kesepakatan kedua negara mengenai 12 bulan proses renegosiasi ini,” sambungnya. (Humas Kemenko Polhukam/EN)