Komitmen Investasi 6 Industri Korsel di RI Tembus USD 446 Juta
Sejumlah industri manufaktur Korea Selatan dari berbagai sektor, menyatakan minatnya untuk segera menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen investasi ini merupakan hasil dari Indonesia-Korea Business and Investment Forum 2018 sekaligus peringatan hubungan diplomatik kedua negara yang telah terjalin baik selama 45 tahun.
“Pertemuan ini mencerminkan antusiasme besar pengusaha Korea untuk lebih mendorong kolaborasi bisnis dengan Indonesia, baik dalam bentuk perluasan usaha maupun investasi baru di beberapa sektor industri yang prospektif,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Seoul, Senin (10/9).
Adapun enam perusahaan Negeri Ginseng yang telah komit berinvestasi, yakni LS Cable & System yang bermitra dengan PT Artha Metal Sinergi untuk pengembangan sektor industri kabel listrik senilai USD50 juta di Karawang, Jawa Barat, kemudian Parkland yang menggelontorkan dananya sebesar USD75 juta guna membangun industri alas kaki di Pati Jawa Tengah, dan Sae-A Trading menanamkan modalnya hingga USD36 juta untuk sektor tekstil dan garmen di Tegal, Jawa Tengah.
Selanjutnya, Taekwang Industrial akan membangun industri alas kaki senilai USD100 juta di Subang dan Bandung, Jawa Barat. Selain itu, World Power Tech dengan mitra lokalnya PT NW Industries yang berinvestasi sebesar USD85 juta untuk pengembangan industri manufaktur turbin dan boiler di Bekasi, Jawa Barat, serta InterVest dengan Kejora Ventures yang menamamkan modalnya USD100 juta untuk jasa pembiayaan startup (modal ventura) di DKI Jakarta. Jadi, total investasi mencapai USD446 juta.
Menperin meyakini, kerja sama yang terjalin itu dapat mendorong industri manufaktur nasional untuk lebih meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri sekaligus penambahan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal. “Ini yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara inklusif, terutama melalui program hilirisasi,” tegasnya.
Langkah sinergi yang dibangun pelaku industri kedua negara juga diharapkan mendukung implementasi Making Indonesia 4.0. Salah satunya adalah membangun ekosistem inovasi dengan transfer teknologi yang berkelanjutan guna mendukung revolusi industri 4.0.
“Kami optimistis, hubungan antara kedua negara ini sangat menjanjikan di tahun-tahun mendatang dan itu akan menjadi dasar yang kuat untuk hubungan lebih lanjut antara kedua negara, terutama dalam membangun perekonomian,” papar Airlangga.
Penandatanganan 15 MoU
Pada kesempatan itu, Menperin juga turut menyaksikan penandatanganan 15 nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang dilakukan oleh perusahaan dan institusi pemerintah kedua negara. Kerja sama ini meliputi sektor energi, properti, mesin, teknologi, dan kosmetika. Total komitmen investasi yang bersifat business to business dari hasil MoU tersebut mencapai USD5,76 miliar.
Kesepakatan yang terjadi di sektor industri, di antaranya Hyundai Engineering yang bermitra dengan PT Sulfindo Adiusaha untuk pengembangan pabrik kimia yang akan menghasilkan produk vinyl chloride monomer (VCM) dan poly vinyl chloride (PVC) di Merak, Banten dengan nilai investasi sebesar USD200 juta. Kemudian, pengembangan pabrik mesin diesel senilai USD185 juta yang dilakukan oleh Doosan Infracore dengan PT Boma Bisma Indra (Persero) dan PT Equiti Manajemen Teknologi.
Selanjutnya, SD Biotechnologies menjalin kerja sama dengan PT Orion Pratama Sentosa untuk membangun industri kosmetika di Karawang, Jawa Barat senilai USD20 juta, serta terjalin pula kemitraan strategis di bidang pengembangan pusat teknologi alat-alat permesinan di Bandung, Jawa Barat yang merupakan kolaborasi Korea Institute for Advancement of Technology dan Kementerian Perindustrian.
Turut pula hadir menyaksikan dari delegasi Indonesia, yakni Kepala BKPM Thomas Lembong, Ketua Kadin Indonesia Rosan P Roeslani, dan Kepala Bekraf Triawan Munaf. Rosan mengungkapkan, masih banyak potensi-potensi perdagangan dan investasi antara RI-Korsel yang perlu digali. “Kami sangat terbuka akan investasi yang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, kali ini merupakan rombongan terbesar yang diajak karena membawa 104 pengusaha ikut dalam Indonesia-Korea Business and Investment Forum 2018. “Ini sebagai tanda membaiknya hubungan dagang dan investasi Indonesia dengan Korea Selatan yang sangat baik,” imbuh Rosan.
Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri Korsel (KCCI) Park Yong-man berharap forum ini dapat memuluskan jalan bagi perusahaan-perusahaan Korsel untuk berinvestasi dalam proyek-proyek inovatif di Indonesia. Apalagi sudah ada arah yang jelas dalam pengembangan industri ke depan melalui peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Jadi, ada rencana yang komprehensif bagi pengembangan industri berteknologi tinggi, mencakup teknologi digital, serta bio and hardware automation. Sebagaimana perusahaan Korea sangat tertarik dan memiliki pengalaman terbaik di bidang ini, kami berharap kedua belah pihak dapat meningkatkan kolaborasi di masa depan,” paparnya.
Beberkan keunggulan Indonesia
Di forum tersebut, dalam sambutannya, Menteri Airlangga menyampaikan sejumlah perkembangan baik ekonomi Indonesia dan keunggulan sektor industri nasional kepada para investor Korsel. “Indonesia adalah negara denganperekonomian terbesar di Asia Tenggara, yang telah memetakan pertumbuhan ekonomi sejak berhasil mengatasi krisis keuangan Asia pada akhir tahun 90-an,” ungkapnya.
Pada triwulanII tahun 2018, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,27 persen, naik 4,21 persen dibanding triwulan I-2018. Di kuartal kedua tahun ini menjadi pertumbuhan tertinggi pada periode yang sama sejak tahun 2014. Sementara, triwulan II tahun lalu berada di angka 5,01 persen.
“Sektor industri manufaktur konsisten menjadi pendorong utama pada perekonomian Indonesia yang berkontribusi lebih dari 20 persen terhadap PDB nasional,” tutur Menperin. Adapun kinerja tertinggi dari sektor manufaktur pada kuartal II-2018, yakni industri plastik dan karet yang tumbuh 11,85 persen, diikuti industri makanan dan minuman (8,67%), industri kulit dan alas kaki (11,38%), sertaindustri tekstil dan pakaian (6,39%).
“Berdasarkan laporan tahunan Bank Dunia terbaru, peringkat Indonesia meningkat dari ke-91 tahun 2016 menjadi ke-72 pada 2017 di antara 190 negara dalam penilaian kemudahan melakukan bisnis,” kata Airlangga. Bahkan, Indonesia diakui sebagai salah satu Top Improvers dengan posisi berada di atas India, Brasil, dan Filipina.
Selain itu, Global Competitiveness Report menunjukkan, peringkat indeks daya saing Indonesia naik daritingkat ke-41 pada tahun 2016-2017 menjadi posisi ke-36 periode 2017-2018 di antara 137 negara.“Berbagai lembaga pemeringkat internasional juga telah meningkatkan status Indonesia ke tingkat layak investasi, seperti Moody’s, Fitch, JCR, R&I, serta Standard & Poor.“Ini capaian yang sangat positif,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia membuka kemudahan jalan bagi arus masuk investasi dengan terus menciptakan iklim usaha yang kondusif. “Sejak 2015, pemerintah saat ini aktif mempromosikan paket-paket kebijakan ekonomi. Intinya, agar proses birokrasi lebih sederhana dan penegakkan hokum yang lebih baik,” tegas Menperin.
Dalam upaya mendorong investor di Indonesia menambah penanaman modalnya, pemerintah juga telah memberikan sejumlah insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas bea masuk. “Bahkan, akan ada skema super deductible tax untuk industri yang melakukan kegiatan inovasi dan vokasi,” tuturnya.
Kemudian, pemerintah memperbaiki tata cara perizinan baik yang dilakukan di tingkat pusat maupun di daerah. “Saat ini, sudah disiapkan tata cara perizinan dengan menggunakan mekanisme Online Single Submission (OSS),” imbuhnya. Selain itu, Kemenperin mendukung akselerasi peningkatan kompetensi sumber daya manusia industri melalui program pelatihan dan pendidikan vokasi.
Kementerian Perindustrian mencatat, sepanjang semester I-2018, penanaman modal dalam negeri (PMDN) dari sektor industri berada di angka Rp46,2 triliun. Sedangkan, penanaman modal asing (PMA) dari sektor industri mampu menembus hingga USD5,6 miliar atau Rp75,8 triliun.
Adapun kontribusi PMDN tertinggi dari sektor manufaktur, di antaranya industri makanan sebesar 47,50 persen (senilai Rp21,9 triliun), industri kimia dan farmasi 14,04 persen (Rp6,4 triliun), serta industri logam, mesin, dan elektronika 12,70 persen (Rp5,8 triliun).
Selanjutnya, kontribusi PMA tertinggi dari sektor manufaktur, yakni antara lain industri logam, mesin, dan elektronika sebesar 39,69 persen (USD2,2 miliar), diikuti industri kimia dan farmasi 18,84 persen (USD1,1 miliar), serta industri makanan 10,41 persen (USD586 juta).