Di satu siang yang mendung pada April tahun lalu, Andrey Dolgov, sebuah kapal ikan dengan haluan penuh karat, menerjang ombak.
Air bercampur minyak terlihat menyembur dari lambung kapal itu setiap kali menghantam permukaan laut dalam upayanya menyelamatkan diri.
Melarikan diri? Ya, di belakang kapal ini sebuah kapal ramping bersenjata lengkap milik Angkatan Laut Indonesia dengan cepat membuntuti.
Harapan kapal ini untuk lolos dari kejaran amat kecil. Kemudian sebuah drone dan pesawat pengintai berputar di atas kapal tersebut.
Kapal Angkatan Laut itu dengan cepat mendekat, mengakhiri perangkap yang sudah dirancang selama berbulan-bulan.
Kru kapal berkarat itu menyerah. Andrey Dolgov menyerah di tangan AL Indonesia.
Andrey Dolgov mungkin memang hanya sebuah kapal ikan berkarat. Namun, kapal dengan nomor lambung FN STS-50 ini dikejar sejumlah negara di dunia.
Penangkapan ini mengakhiri pengejaran selama tiga pekan di seluruh Samudra Indonesia dalam sebuah operasi gabungan Interpol dan Fish-i Africa.
Kapal yang juga dikenal dengan memiliki beberapa nama, yaitu Ayda dan Sea Breeze 1, itu pernah ditangkap di Mozambik.
Kapal ini ditahan karena menggunakan sertifikat palsu yang menyatakan kapal itu berasal dari Republik Togo, juga di Afrika.
Saat diperiksa, petugas menemukan 600 jala yang bisa disebar sepanjang hampir 30 kilometer. Peralatan ini merupakan perangkat yang dilarang Komisi Konservasi Sumber Daya Laut Antartika (CCAMLR).
Faktanya, kapal ini sudah lama “mengobrak-abrik” sumber daya paling berharga di lautan, yaitu ikan.
Kapal ini merupakan bagian dari jaringan organisasi kriminal yang beroperasi mencari celah di antara undang-undang kelautan dan banyaknya pejabat penegak hukum yang korup.
CCAMLR sudah memasukkan kapal ini dalam daftar hitam pada 2016 dan masuk daftar Interpol dalam ksus penangkapan ikan ilegal.
Sebelum ditangkap di Mozambik, kapal ini pernah ditahan di China sebelum lolos. Celakanya, kapal ini lolos juga dari jerat hukum di Mozambik.
Alhasil, pemerintah Mozambik meminta bantuan dari negara Afrika anggota Fish-i Afrika untuk mengejar kapal ini.
Fish-i Africa adalah kerja sama delapan negara Afrika Timur, yaitu Kepulauan Komoro, Kenya, Madagaskar, Mauritius, Mozambik, Seychelles, Tanzania, dan Somalia.
Kedelapan negara itu bekerja sama dalam hal berbagi informasi dan bekerja sama memerangi illegal fishing.
“Kapten dan kru kapal ini amat terkejut karena tertangkap,” kata Andrea Aditya Salim, anggota gugus tugas kepresidenan Indonesia untuk mengejar Andrey Dolgov.
“Awak kapal berusaha mengatakan mereka tidak mencuri ikan karena mesin pendingan dan peralatan lain kapal itu sudah rusak,” kata Salim.
Saat personel AL Indonesia menaiki kapal yang ditangkap di mulut Selat Malaka itu, mereka menemukan 600 jaring yang memiliki panjang hampir 30 kilometer jika disebarkan.
Dalam satu kali operasi, jaring ini bisa menangkap ikan bernilai hingga 6 juta dollar AS atau sekitar Rp 84 miliar.
Secara ilegal kapal ini akan membawa tangkapan ke pesisir dan menjualnya ke pasar gelap atau mencampurnya dengan ikan tangkapan yang legal.
Apa pun jenis penjualannya, ikan-ikan tangkapan Andrey Dolgov ini berakhir di rak-rak pusat perbelanjaan atau meja restoran.
“Sekitar 20 persen dari seluruh tangkapan ikan global adalah ilegal,” kata Kate St John Glew, seorang pakar biologi kelautan di Pusat Oseanografi Nasional di Universitas Southampton, Inggris.
Dampak dari penangkapan ilegal ini amat luas dan menghancurkan persediaan alami ikan, industri perikanan, dan kepercayaan konsumen.
“Jika penangkapan ilegal ikan bisa membuat persediaan ikan hancur, ini akan memengaruhi mata pencarian para nelayan di seluruh dunia,” ujar Katie.
Selama sekitar 10 tahun, Andrey Dolgov beroperasi secara ilegal dan diperkirakan sudah mencuri ikan bernilai setidaknya 50 juta dollar AS atau sekitar Rp 702 miliar.
Dengan uang sebesar itu yang dapat dihasilkan, amat wajar mengapa penangkapan ikan ilegal sangat menggiurkan bagi organisasi kriminal.
“Kapal-kapal semacam ini beroperasi di perairan internasional di luar wilayah hukum banyak negara,” kata Alistair McDonnel, anggota tim anti-illegal fising di Interpol.
“Celah inilah yang dieksploitasi berbagai organisasi kriminal,” ujarnya.
Namun, efek eksploitasi ini jauh lebih dalam dibandingkan sekadar para kriminal mencoba menghasilkan uang.
Operasi semacam ini kerap kali melibatkan para pejabat publik yang korup, pencucian uang, dan perbudakan.
“Penangkapan ilegal ikan adalah salah satu ancaman bagi perikanan berkelanjutan,” papar Matthew Camilleri, kepala bagian perikanan di Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
“Peralatan penangkap ikan yang mereka gunakan amat merusak ekosistem yang rapuh seperti terumbu karang. Inilah mengapa komunitas internasional berusaha keras memerangi masalah ini,” kata Camilleri.
Andrey Dolgov awalnya bukan kapal penangkap ilegal ikan.
Pada 1985, kapal sepanjang 54 meter itu dibangun di galangan kapal Kananashi Zosen di Jepang sebagai kapal penangkap tuna.
Seusai dibangun, kapal ini berlayar dengan nama Shinsei Maru No 2. Kapal berbobot 570 ton itu selama bertahun-tahun beroperasi secara legal di bawah bendera Jepang di Samudra Hindia dan Pasifik.
Kapal itu dulunya bekerja untuk perusahaan makanan laut Jepang, Maruha Nichiro Corporation.
Setelah 1995, kapal ini beberapa kali berpindah kepemilikan sebelum akhirnya berlayar dengan bendera Filipina dengan nama Sun Tai 2 hingga 2008 sebelum bergabung dengan armada pencari ikan Korea Selatan.
Selanjutanya selama satu tahun kapal ini beralih kepemilikan empat kali, termasuk di tangan Park Boo-in dan STD Fisheries Corporation.
Antara 2008 dan 2015, kapal ini dibangun ulang menjadi penangkap ikan di Antartika yang mampu beroperasi di lautan wilayah selatan yang ganas dan mampu menyimpan ikan dalam waktu lama.
Salah satu ikan yang menjadi incaran adalah toothfish yang kerap disebut emas putih karena harganya yang amat mahal.
Namun, untuk menangkap ikan ini sebuah perusahaan atau kapal nelayan membutuhkan izin khusus.
Kapal ini pertama kali menarik perhatian internasional pada Oktober 2016 ketika pemerintah China memergoki kapal ini mencoba menurunkan toothfish tangkapan secara ilegal.
Saat itu, kapal tersebut sudah menggunakan nama Andrey Dolgov dan mengibarkan bendera Kamboja, dioperasikan sebuah perusahaan di Belize, Amerika Tengah.
Setahun sebelumnya, Andrey Dolgov pernah terekam kamera di lepas pantai Punta Arena, kawasan Patagonia, Chile, ketika tengah mencari ikan di sana.
Namun, sebelum pemerintah China bisa melakukan tindakan lebih lanjut, kapal ini bersama kru kabur menuju Samudra Hindia.
Saat itu, Andrey Dolgov sudah dimasukkan ke dalam daftar IUU, pelaku penangkapan ikan secara ilegal.
Artinya, jika kapal ini berusaha memasuki pelabuhan lain di Mauritius, negeri itu akan menolaknya untuk merapat.
Saat tiba di pelabuhan tertentu, kru kapal menyerahkan dokumen palsu yang menjelaskan identitasnya. Di dalam dokumen itu dijelaskan kapal ini pernah menjadi “milik” setidaknya delapan negara, termasuk Togo, Nigeria, dan Bolivia.
“Ini adalah taktik biasa,” kata McDonnell dari Interpol.
“Mereka biasanya melakukan pemalsuan identitas dengan berulang kali mengakali registrasi mereka,” ujarnya.
“Hanya negara yang benderanya dipakai memiliki kuasa hukum atas kapal yang berlayar lebih dari 200 mil dari pantai, tetapi kapal-kapal semacam ini biasanya mengklaim bendera negara yang tak memiliki legislasi perikanan dan tidak meneken perjanjian perikanan internasional,” tambah dia.
Kapal-kapal pencuri ikan ini juga sering kali mengganti benderanya, mengklaim berada di bawah yurisdiksi negara yang sebenarnya sudah menolak mereka.
“Negara-negara pesisir menganggap kapal-kapal ini membawa potensi risiko. Tanpa perlindungan negara tertentu, kapal-kapal ini sebenarnya tak memiliki negara,” lanjut McDonnell.
Akhirnya, pada Februari 2018, Andrey Dolgov kembali terlihat di sebuah pelabuhan di Madagaskar.
Saat itu, kapten kapal tersebut mengaku kapal itu bernama STS-50 dan memberikan nomor Organisasi Maritim Internasional palsu, sebuah nomor yang harus dimiliki kapal dengan ukuran tertentu, dan sejumlah dokumen aspal lainnya.
Melihat ini pemerintah Madagaskar langsung memperingatkan CCAMLR, yang mengatur penangkapan ikan di lautan wilayah selatan sekitar Antartika.
Sekali lagi kapal ini dan kru dapat lolos. Namun, kali ini mereka meninggalkan jejak.
Kapal itu dilengkapi dengan sebuah sistem transponder otomatis, yang digunakan untuk mencegah tabrakan antarkapal di lautan.
Sistem identifikasi otomatis atau AIS ini memunculkan sinyal lokasi kapal yang bisa ditangkap peralatan radio atau satelit.
Masalahnya, saat nomor identifikasi AIS untuk kapal ini dimasukkan ke sistem, hasilnya adalah jejak acak di seluruh dunia.
Secara berbarengan Andrey Dolgov bisa terlihat berada di lepas pantai Kepulauan Falkland, Fiji, atau Norwegia.
“Mereka mengacaukan identitas dengan cara menipu sistem AIS,” kata Charles Kilgour, analis OceanMind, organisasi nirlaba yang menganalisis data kapal di lautan.
Teknik itu membuat Andrey Dolgov bisa terlihat di 100 lokasi secara bersamaan.
Mozambik secara resmi menahan kapal itu, menyita dokumennya, dan paspor seluruh krunya.
Namun, sebelum investigasi berlanjut, Andrey Dolgov sekali lagi dapat meloloskan diri di bawah hidung pemerintah.
Meski kapal itu lolos, Kilgour dan timnya memiliki identifikasi positif serta waktu dan lokasi tepat Andrey Dolgov.
Dengan menggunakan satelit yang sedang melintas, tim ini mampu menangkap citra radar yang menunjukkan kapal tersebut berada di lepas pantai Maputo.
Teknik ini membuat mereka memahami cara melacak jejak AIS untuk menemukan lokasi tepat kapal tersebut.
“Kami menggunakan algoritma untuk mengidentifikasi kapal-kapal potensial menggunakan celah sintetis citra radar,” kata Kilgour yang kini bekerja untuk Global Fishing Watch.
Global Fishing Watch adalah sebauah proyek yang didukung Google untuk memantau kapal-kapal penangkap ikan di seluruh dunia.
Tim Kilgour di OceanMind saat itu mengunakan citra inframerah dari satelit yang memungkinkan mereka melacak lampu-lampu kapal di malam hari.
Dengan berbagai informasi baru yang mereka peroleh, mereka bisa memastikan jejak AIS milik Andrey Dolgov.
Mereka mengirim foto-foto yang diambil droneuntuk memastikan identitas buruannya.
“Kapal itu meninggalkan perairan Mozambik untuk bersembunyi di laut lepas,” kata Peter Hammarstedt, direktur kampanye Sea Shepherd.
“Hal yang luar biasa adalah pemerintah Tanzania memutuskan untuk meninggalkan perairannya untuk mengejar kapal ini meski tidak melakukan kejahatan di perairan Tanzania,” kata Peter.
Sayangnya, tanpa otoritas bisa menaiki kapal itu di luar perairan Tanzania, pengejaran terpaksa dihentikan.
Kilgour dan tim kemudian memberikan semua data ini ke Interpol setiap empat jam menggunakan kecepatan dan arah kapal itu untuk memperkirakan ke mana kapal itu akan mengarah.
Bagi banyak negara, muncul masalah jika mereka ingin mengejar dan menangkap kapal semacam ini.
Masalah yurisdiksi memunculkan kesulitan, selain itu juga biaya besar yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengejaran semacam ini.
Kapal-kapal pencuri ikan ini biasanya tak terawat dengan baik sehingga menimbulkan risiko polusi.
Kapal-kapal ini juga butuh perbaikan dan jika kapal ini tertangkap, keselamatan serta proses repatriasi kru kapal juga harus dipikirkan.
“Negara maju pun biasanya enggan melakukan hal semacam ini. Jadi agak mengejutkan justru negara berkembang yang malah giat melakukan pengejaran,” kat Bradley Soule, ketua bidang analis perikanan di OceanMind.
Beruntung, Andrey Dolgov mengarah ke satu dari sedikit negara di dunia yang sangat agresif memerangi pencurian ikan.
Indonesia, di bawah pimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, telah menangkap dan menghancurkan 488 kapal pencuri ikan sejak 2014.
Di antaranya adalah kapal pencuri ikan di lautan Antartika, F/V Viking, yang dikenal di dunia kelautan sebagai Bandit Six yang beroperasi ribuan kilometer dari Indonesia.
Untuk menunjukkan Indonesia tidak main-main soal pencurian ikan, Menteri Susi menghancurkan kapal F/V Viking ini di pesisir Pangandaran, Jawa Barat.
Nah, dengan kabar adanya kapal pencuri ikan menuju perairan Indonesia, Susi memberi lampu hijau kepada AL Indonesia untuk mengejar dan menangkap kapal tersebut.
Namun, saat kapal itu memasuki Selat Malaka yang sibuk, sinyal AIS Andrey Dolgov menghilang, tercampur aduk dengan sinyal lain di kawasan itu.
Maka, AL Indonesia hanya mengandalkan kalkulasi berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kilgour dan timnya untuk memperkirakan lokasi kapal itu.
Saat Andrey Dolgov akhirnya masuk ke jangkauannya, KRI Simeulue 2 dan markas penjaga pantai berhasil mencegat sinyal AIS kapal pencuri itu.
Setelah berhasil memastikan identitasnya, KRI Simeulue 2 langsung mengejar hingga jarak 60 mil dari Sabang, sebelah tenggara Pulau We.
Di sana KRI Simeulue 2 memerintahkan kapten Andrey Dolgov untuk berhenti agar personel AL Indonesia bisa naik ke kapal itu.
Di atas kapal, personel AL Indonesia menemukan kapten dan lima awak lain berasal dari Rusia dan Ukraina.
Sisa awak terdiri dari 20 orang Indonesia yang mengklaim mereka tak tahu jika kapal tempat mereka bekerja adalah pencuri ikan.
Para awak ini kemudian diperlakukan sebagai korban penyelundupan manusia dan perbudakan.
Kapten kapal, pria Rusia bernama Aleksandr Matveev, kemudian dijatuhi hukuman penjara empat bulan dan denda Rp 200 juta setelah dinyatakan bersalah melakukan pencurian ikan.
Kru lain asal Rusia dan Ukraina dideportasi ke kampung halaman mereka.
“Setelah pemeriksaan, kami menemukan bahwa F/V STS-50 melanggar undang-undang perikanan Indonesia,” kata Menteri Susi.
“Pencurian ikan adalah musuh bersama dan semua negara harus membantu untuk memerangi dan menghapuskannya,” kata Susi.
Namun, investigasi tak berhenti di situ. Tim digital forensik memeriksa sistem komputer di anjungan, peralatan navigaasi, dan telepon genggam milik kapten Andrey Dolgov.
Semua informasi yang diperoleh membantu pemerintah untuk mengungkap jaringan kriminal yang lebih luas yang mengoperasikan kapal itu.
Andrey Dolgov terdaftar sebagai milik Red Star Company LTD di Belize, Amerika Tengah.
Pemilik perusahaan ini diduga seorang warga Rusia yang memiliki kantor di Korea Selatan dan telah melakukan sejumlah transaksi bank di New York.
Interpol kini membantu penegak hukum di sejumlah negara untuk melacak para kriminal yang terkait Andrey Dolgov, memalsukan dokumen, mencuci uang hasil penangkapan ikan, serta hal lainnya.
“Kerja kami tidak selesai setelah kapal ini ditangkap,” kata Mc Donnell.
“Masih banyak pertanyaan belum terjawab. Organisasi di belakangnya amat rapi, sering kali dikelola keluarga atau sebagai bisnis ‘gelap’ yang ditutupi perusahaan sah,” ujarnya.
“Kami sedang mencari bagaimana mereka merancang bisnis ini, bagaimana mereka menghasilkan uang dari ikan. Hingga saat ini mereka bisa beroperasi nyaris tak tersentuh. Kini semua berubah,” McDonnell menegaskan.
OceanMind kini juga mengembangkan teknologi untuk melacak kapal-kapal pencuri yang berusaha mengaburkan identitas mereka.
Sementara Katie St Glew dari Universitas Southampton mengembangkan penggunaan isotop kimia pada ikan untuk melacak dari mana mereka ditangkap.
Sementara Andrey Dolgov, dalam waktu dekat, akan memainkan peran dalam menangkap para kriminal yang mengoperasikannya.
Menteri Susi memutuskan tidak akan meledakkan kapal ini. Kapal akan diubah dan direnovasi agar kapal ini bisa menjadi bagian armada penegakan hukum di laut.
Kapal ini akan menjadi simbol perang Indonesia melawan pencurian ikan dan sekaligus mengirim pesan kepada para pencuri ikan bahwa mereka tak punya tempat untuk bersembunyi.
Dilansir Dari: Kompas