Indovoices.com – Nenek moyangku seorang pelaut,… Gemar mengarung luas samudra,… Menerjang ombak tiada takut,… Menempuh badai sudah biasa. Angin bertiup layar berkembang,… Ombak berdebur di tepi pantai,… Pemuda b’rani bangkit sekarang,… Ke laut kita beramai ramai. (Ciptaan : Ibu Soed.)
Syair lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” ini, menginspirasi bangsa Indonesia untuk menjadikan negara Indonesia “Poros Maritim Dunia”, yang gaungnya sudah menggema dan membumi ke seantero jagat raya (Dunia).Mengacu pada teori “Out of Taiwan” (Bellwood, 2006) sejak kira kira 3000 SM, Nenek Moyang kita telah mengarungi laut Cina Selatan, Pasifik dan Samudera Indonesia. Antara 1000 SM – 500 SM, mereka mulai mengokupasi pulau-pulau Nusantara. Hingga masa-masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, bangsa Indonesia diakui sebagai bangsa maritim yang disegani oleh bangsa bangsa lain.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15, terdapat 5 (lima) jaringan perdagangan (Commercial Zones), yaitu:
Pertama, jaringan perdagangan teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Langka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera;
Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka;
Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi : Pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand dan Vietnam Selatan;
Keempat, jaringan perdagangan laut Sulu, yang meliputi : Pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam);
Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi : Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa dan bagian selatan Sumatera (Hall, 1985:20-25). Jaringan perdagangan ini berada dibawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Selain itu, menurut pendapat para sarjana terdahulu, antara lain Prof. Dr. H. Kern, menyatakan bahwa Nenek Moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia. Pendapat Kern ini, berdasarkan kajian linguistik yaitu adanya kesamaan antara bahasa yang digunakan di Indonesia, Melanesia, Polinesia dan Mikronesia, satu rumpun bahasa Austronesia yang berakar dari bahasa Austrik di Asia (Simanjuntak, 2011).
Pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Poros Maritim Dunia dan Pengaruhnya Dalam Politik Luar Negeri Indonesia” yang diadakan oleh Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono, dengan narasumber Dr. Maxensius Sambodo, M.A., peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Selasa, 26 Maret 2019 bertempat di Gedung Sekretariat Negara RI Sayap Timur, Jl. Veteran III No. 9-10 Jakarta, dijelaskan oleh narasumber bahwa Nawacita Presiden Jokowi untuk membuat Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia (PMD) adalah untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia dengan kepentingan nasional.
Disampaikan juga, bahwa kalau pemimpin Indonesia ingin membuat bangsa kita maju, maka yang harus dilakukan transformatif strategi. Ada 6 strategi, yaitu :
- Memperpanjang dan mempersatukan pasar domestik ke pasar dunia;
- Mengurangi harga logistik;
- Mengurangi harga transaksi;
- Stimulasi produksi;
- Meningkatkan produktivitas dari pekerja;
- Mengintegrasi daerah dan pusat.
Selain itu, tantangan yang harus kita hadapi dalam pembentukan “Poros Maritim Dunia” (PMD), adalah :
- Penguasaan teknologi untuk membangun kekuatan laut;
- Kelembagaan dan organisasi dapat mengatasi keterbatasan anggaran, infrastruktur kapal survei;
- Koordinasi kegiatan survei: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Informasi Geospasial, dan BPPT.
- Hidragrafi data management.
Komitmen Indonesia Menjadi Negara “Poros Maritim Dunia”.
Komitmen dari Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menempatkan lautan sebagai masa depan bangsa maritim ini, dibuktikan dengan dibentuknya kementerian baru dalam Kabinetnya, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Komitmen dan konsistensi pemerintahan Jokowi ini, terlihat hasilnya dengan adanya peningkatan jumlah tangkapan ikan laut oleh para nelayan Indonesia paska pemberantasan “illegal fishing” oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Adanya kebijakan pemberantasan “illegal fishing” melalui penenggelaman kapal, dan diikuti dengan pembangunan industri perikanan nasional, nelayan mulai diberikan modal kerja dan kapal baru. Kesejahteraan nelayan mulai diperhatikan, dengan pemberian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, kepemimpinan Presiden Jokowi memiliki Visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia. Visi ini, disampaikan dalam pidato di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) di Nay Pyi Taw, Myanmar (13/11/2015). Visi Presiden untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, ditindaklanjuti oleh Kementerian melalui beragram program kemaritiman.
Bagi Indonesia, KTT Asia Timur, berperan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan. “Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudera, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa,” kata Presiden Jokowi.
Untuk menjadi sebuah negara maritim, tentunya infrastruktur antara pulau dan sepanjang pantai harus dibangun dan dikembangkan. Jalan antar pulau ini pun harus dapat direalisasikan untuk mempercepat transportasi antar pulau di Indonesia.
Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia, mengingat Indonesia berada di daerah ekuator, antara dua Benua Asia dan Australia, antara dua Samudra Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Untuk dapat menjadi poros maritim dunia, sebaiknya sistem pelabuhan di Indonesia harus dimodernisasi sesuai dengan standar internasional, sehingga pelayanan dan akses di seluruh pelabuhan harus mengikuti prosedur internasional.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Presiden Jokowi memaparkan lima pilar utama yang akan menjadikan Indonesia mewujudkan cita-citanya sebagai poros maritim dunia.
Adapun kelima pilar tersebut, adalah :
Pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. “Sebagai negara yang terdiri atas 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudera,”.
Pilar kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. ”Kejayaan Maritim kami, akan digunakan sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat kami”.
Pilar ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Pilar keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan. ”Bersama sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti: Pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perampokan, dan pencemaran laut,” ujarnya.
Pilar kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. “Hal ini diperlukan, bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim kami, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.”
Menurut Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, “Jika pembangunan bangsa dapat dilakukan dengan maritime base development, maka cita cita Indonesia menjadi poros maritim dunia dapat diwujudkan. Sekarang saatnya kita kembali ke laut, kembali kepada kejayaan Nusantara,”.
Susi menyayangkan, banyak kapal yang melewati lautan Indonesia, kebanyakan hanya baru lewat atau transit saja, tetapi tidak menjadikan Indonesia sebagai pusat titik tolak kegiatan maritim di titik ekuator atau khatulistiwa. “Padahal negara Indonesia luar biasa, dengan jumlah pulau 17.504 dan 111 pulau terluar. Panjang pantainya itu nomor 2 di dunia dengan panjang 97 ribu kilometer persegi. Sudah seharusnya bangsa Indonesia kaya dan sejahtera dari lautan, akan tetapi fokus pembangunan yang tidak berorientasi ke laut selama 2 – 3 dekade terakhir, telah membuat potensi laut Indonesia sia-sia,” tutur Susi.
Jadi secara geo-politik, historis dan budaya, Indonesia bisa dijadikan sebagai negara maritim, mengingat wilayah daratan Indonesia dalam satu kesatuan yang dikelilingi oleh lautan, dengan 2/3 wilayahnya merupakan laut dan jumlah pulau terbanyak di dunia, serta salah satu garis terpanjang di dunia. Yang lebih menguatkan lagi, bahwa Indonesia berada di daerah ekuator, antara dua benua Asia dan Australia. Antara dua Samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Karena itu, sistem pelabuhan Indonesia harus dimodernisasi agar memenuhi standar Internasional.
Jika Pemerintah yang didukung oleh masyarakatnya, serius dan memiliki tekad yang tinggi untuk melaksanakan program pembangunan “Poros Maritim Dunia”, maka program yang besar ini bisa terealisasi. Dan jika pembangunan “Poros Maritim Dunia” ini bisa terealisasi, maka akan banyak manfaat dan keuntungan yang diperoleh oleh Pemerintah Indonesia, dan juga untuk pemerataan pembangunan antara daratan dan lautan.
Demi terwujudnya Indonesia menjadi negara Poros Maritim Dunia, diperlukan adanya kebijakan dan strategi pembangunan yang jelas, sesuai dengan visi dan misi yang telah dikemukakan pemerintah. Seperti sektor kelautan dan perikanan, yang mampu menghasilkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif secara berkelanjutan, serta berkontribusi secara signifikan bagi terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia, dalam waktu tidak terlalu lama. Mengingat, sudah adanya keinginan dari pemerintah untuk memusatkan pembangunan kearah maritim/kelautan dan tersedianya sumberdaya laut yang melimpah.
Semoga semua ini dapat terwujud…
Oleh : Alfurkon Setiawan
*) Penulis adalah : Asisten Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono