Sejak zaman penjajahan, negara barat sudah berbagi jatah untuk negara di Asia Tenggara dalam hal penguasaan. Dan sialnya Indonesia saat itu di tangan Belanda yang notabene lebih banyak mengekslorasi sumber daya alam ketimbang membangun. Bentuk perlawanan dipatahkan dengan jurus devided et impera. Berbeda dengan Inggris dan Portugis. Bekas jajahan mereka lebih makmur setelah negara jajahan mereka memerdekakan diri. Pola pikir yang ditanamkan para penjajah berpengaruh besar pada masyarakat negara tersebut dalam membangun.
72 tahun bukanlah waktu yang singkat. Bila berbanding usia manusia boleh dikatakan sudah senja. Pola pikir haruslah sudah lebih dari dewasa. Perilaku haruslah mencerminkan sikap orang tua yang sebenarnya. Berbagai gejolak yang dihadapi bangsa ini tidak menyurutkan rasa kapok hinga saat ini. Bila kita melihat ke belakang, pemikiran masyarakat zaman penjajahan lebih hebat.
Terbukti saat itu setelah 20 Mei 1908 dicetuskan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dalam 20 tahun setelah itu pemuda-pemudi Indonesia telah berhasil mencetuskan Sumpah Pemuda 20 tahun kemudian, tepatnya 28 Oktober 1928. Dan selanjutnya dalam waktu 17 tahun para pemuda-pemudi dengan gagasan luar buasa berhasil memerdekakan negeri ini pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui kepiawaian seorang Bung Karno dan Bung Hatta dengan berdarah-darah karena negeri ini sempat dikuasai Jepang setelah Belanda kalah.
Setelah merdeka, banyak agresi militer asing yang ingin merebut Indonesia kembali kegagalan. Persatuan dan Kesatuan dipertaruhkan dalam mempertahankan negeri ini dari penjajah dengan pengorbanan nyawa yang tidak sedikit. Kepiawaian pemimpin bangsa ini dalam memajukan dan membangun negeri ini sungguh melalui perasan keringat dan darah. Bagaimana tidak, sejak Indonesia merdeka dan serangan agresi militer yang gagal, para negara barat yang serakah berupaya keras merebut negeri ini dengan cara lain.
Berbagai pemberontakan hasil mengompor berhasil dipercikkan, mulai dari DI/TII, Permesta, PKI Madiun, dan lain lain. Kudeta Orba atas nama PKI telah berhasil disetir untuk menguasai sumber daya alam nan kaya. Devided et impera yang dilakukan adalah dengan cara halus dan busuk, karena melibatkan anak bangsa untuk dipecah belah, menciptakan situasi tidak kondusif, melumpuhkan ekonomi nasional. Dengan demikian para penjajah tinggal menawarkan bantuan palsu. Terlilit hutang budi, maka sebagai manusia tahu berbalas budi dengan mudah diminta bayaran timbal-baliknya, yaitu sumber daya alamnya.
Kita tidak menceritakan kebusukan Orba di sini. Tapi masalah upaya asing dalam mengeruk sumber daya alam dan perekonomian. Sejak zaman Orba, tanpa kita sadari berbagai sumber daya alam sudah diberikan kepada asing sebagai ucapan terima kasih atas bantuan keberhasilan kudetanya. Mulai dari hasil bumi, tambang minyak hingga tambang emas. Pengolahan yang seharusnya dilakukan anak negeri malah diberikan wewenang kepada negara asing, padahal sumber daya manusia kita berlimpah. Ironisnya sumber daya manusianya malah dikirim keluar negeri sebagai pekerja rendahan. Ini semua berkesinambungan hingga saat ini.
Penguasa 32 tahun itu dilengserkan dengan banyaknya pengorbanan harta dan nyawa, bahkan martabat dan kesucian para wanita dilecehkan habis-habisan. Karena apa? Lagi-lagi karena pihak asing yang merasa penguasa Orba tidak bermanfaat lagi. Sejak peristiwa Mei 1998 hingga saat ini. Masyarakat negeri ini masih saja tolol dan bodoh. Hafalan yang didalam kepala masalah SARA, namun untuk menghafal lagu kebangsaan, lagu wajib nasional, bahkam isi Proklamasi, Pancasila dan Sumpah Pemuda tidak sedikit yang tidak hafal.
Ironis bukan? Pembakaran gereja, pembakaran vihara, penolakan patung, penolakan arca rupang agama, ungkapan dan ujaran kebencian nuansa SARA hingga hinaan kepada kepala negara dan berita hoax yang dihembuskan secara terorganisir membuktikan adanya pendanaan kuat dari pihak tertentu. Apa motifnya? Bila pendanaan dari asing sudah pasti ingin memporakporandakan negeri ini. Bila pendanaan dari dalam, sudah pasti karena kekuasaan dengan disetir pihak asing.
Hembusan SARA dengan mengkafirkan orang lain yang sebangsa,menghujat Aseng yang bekerja memeras keringat dan darah untuk menikmati hari tua sebagai sumber ekonomi.
Sementara yang menghujat tidak memiliki uang untuk beli cermin dan bertanya, apa kekurangannya?! Mari dibantu jawab : banyak.. kurang cerdas memilah baik dan buruk (terbukti dengan hujatan SARA), kurang berinisiatif dan budaya hari ini gajian besok tidak masuk. Terbukti dengan adanya pola pikir Aseng yang demikian juga mengesot dalam mengais rezeki.
Sejak adanya niat presiden saat ini yang mengurangi persentase untung dari Freeport di Papua, hembusan SARA, menghina presiden, memfitnah hingga berbagai hoax dengan demo berjilid muncul bergaya membela Tuhan (memangnya Tuhan nan esa perlu dibela semua ciptaannya?) agar menurunkan kreditabilitas dan popularitas Presiden bila mencalonkan kembali 2019. Bahkan bila berhasil dilengserkan, tidak terbayangkan NKRI akan menjadi apa.
Sumpah Pemuda sudah 89 tahun dikumandangkan. Gemanya hingga saat ini semakin tidak terdengar. Hanya pada saat upacara bendera peringatan Sumpah Pemuda terdengar, bahwa kita bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, Indonesia. Namun pada kenyataan yang ada apakah kita menjiwai semua isi Sumpah Pemuda? Pelantikan Gubernur DKI pada pidato pertama bahkan telah memberi contoh buruk dengan mempribumikan kembali kepemimpinan.
Tolak ukur apa yang dipakai sementara kata pribumi dan non pribumi sudah dihapuskan sejak tahun 1998. Panutan yang layak adalah seorang yang dengan berani menguandangkan NKRI tanpa ada SARA, ataupun mengkotak-kotakkan golongan tertentu. Gubernur baru itu telah melanggar Inpres No.26 tahun 1998, UU No.40 tahun 2008, dan mungkin Keppres No.12 tahun 2014 bila yang dimaksud adalah etnis Tionghoa.
Berbicara soal minoritas, sudah pasti banyak duka yang terpendam. Seolah sapi perahan, minoritas yang seharusnya dilindungi seperti yang lain justru sering diperlakukan semena-mena di berbagai sektor. Mulai dari pemerintahan, dunia usaha , karyawan hingga rumah tangga. Sumbangsih minoritas kepada negeri ini ditutupi paska Orde Lama. Bahkan hingga sekarang walaupun sudah terkuak sejarah perjuangan dari minoritas, tetap saja oleh pihak tertentu mengkucilkan hak minoritas.
Yel yel hebat hanya terdengar saat pebulu tangkis sekelas Susy Susanty menjuarai turnamen, untuk hal lain, minoritas tetap minoritas yang wajib diperas dan dipersulit. Lalu sampai kapankah Indonesia bisa belajar secerdas bangsa Asean lain yang memerdekakan diri belakangan namun pembangunan jauh di depan kita? Hanya pada rumput yang bergoyang kita bisa bertanya.
Pesan penulis : Saat bicara nasionalisme, jangan bawa SARA. Saat bicara pemerintahan, bekerja, membangun bangsa, jangan bawa SARA. Jari tangan tidak diciptakan sama karena fungsi yang berbeda. Selamat hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2017.