Ketika kalimat itu saya sampaikan kepada para orlansia, mereka tertawa terbahak-bahak. Mengapa? Pertama, karena saya memang tidak pernah bersumpah. Saya lebih senang berjanji di hadapan Tuhan ketimbang bersumpah. Kedua, mereka merasa saya bergurau karena usia saya sudah melebihi setengah abad.
Di satu sisi, saya memang senang bergurau, karena hati yang gembira adalah obat yang mujarab, khususnya bagi ratusan opa dan oma yang ada di hadapan saya. Warga senior—saya lebih senang memakai istilah ini ketimbang orang lanjut usia—mau tidak mau, suka tidak suka, mulai mengalami penurunan fisik sehingga sering sakit. Dengan hati yang gembira maka di samping jarang sakit, kalaupun sakit jadi lebih cepat sembuh.
Di sisi lain, saya tidak sedang bergurau. Mengapa saya bisa mengatakan hal ini? Saya merujuk pada istilah ‘pemuda’ menurut versi World Health Organization. Menurut badan dunia Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 40, usia pemuda mulai usia 18-65 tahun. Artinya, usia saya dengan istri masih masuk dalam kategori yang sama dengan anak sulung saya yang berusia 23 tahun. Wkwkwk.
Ketika orang-orang mulai membicarakan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, saya mempunyai optimisme yang tinggi. Mengapa? Karena Indonesia memiliki bonus demografi. Sampai 2045, Indonesia Tuhan limpahi dengan warga yang berada di usia produktif, yaitu 14-65 tahun.
Antaranews.com mencatat: “Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030, kata Plh Deputi Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN Ida Bagus Permana.”
Bandingkan dengan Jepang yang semakin menua di mana jumlah penduduk tidak produktif—lebih dari 65 tahun—lebih banyak ketimbang pemudanya.
Meskipun begitu, seperti pedang bermata dunia, ledakan jumlah penduduk usia produktif ini bisa menjadi bencana jika pemerintah tidak tanggap dan menyediakan lahan yang cocok untuk mereka. Dengan energi yang melimpah ruah, jika tidak diarahkan dengan benar, justru akan destruktif. Jika di dalam negeri tidak tersedia lapangan pekerjaan yang cocok, mereka bisa berdiaspora. Memang diaspora tidak selamanya buruk karena bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia, tetapi sekaligus juga mencerminkan ketidakmampuan pemerintah untuk menampung mereka.
Dampak buruk lainnya—seperti dikuatirkan sebagian orang—nasionalisme mereka yang merantau ke luar negeri bisa tergerus. Namun, saya pribadi tidak terlalu percaya, karena kecintaan mereka terhadap Indonesia—di tengah karut marut tanah air—masih tinggi.
Ketika ada undangan bicara di Sydney, saat bertanya kepada seorang pemuda Batak apakah dia tidak rindu pulang ke tanah air, penjemput saya di bandara ini langsung berkata, “Jika saat ini Bapak sediakan tiket, saya akan balik ke Indonesia.”
“Tidak takut banjir dan macet?”
Pemuda ganteng itu ngakak dan berkata, “Itu bagian dari rasa kangen saya terhadap Indonesia.” Giliran saya yang ngakak.
“Enaknya lagi, kalau malam lapar, saya tinggal panggil pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan mereka di depan rumah. Di Sydney mana bisa kayak begitu?” tambahnya dengan senyum lebar.
Inilah generasi milenial! Mereka easy going tetapi asyik. Mereka senang bekerja di coworking office yang menawarkan tempat kerja yang cozy dan cara kerja yang sersan (serius tapi santai). Mirip dengan yang ditawarkan kantor google di seluruh dunia.
Meskipun usia saya sudah lebih dari setengah abad, cara kerja seperti itu yang saya dambakan. Sebagai online writer, saya bisa berproduksi di mana saja, bahkan saat ada di bus, kereta, kapal maupun pesawat terbang. Saya tinggal buka gadget saya dan menuliskannya kapan pun ide itu muncul.
Sebagai dosen saya terus-menerus berada di lingkungan anak muda. Waktu masih bertugas di Aussie, saya biasa hang out dengan anak muda zaman now. Itulah sebabnya saya bisa berkata: “Sumpah saya masih pemuda lho!”
Menyambut Hari Sumpah Pemuda, apa kerinduan saya yang paling dalam untuk anak-anak muda di Indonesia? Saya ingin anak-anak muda Indonesia yang tinggal dan menetap di Indonesia untuk terus berjuang memajukan Indonesia. Jangan lagi diributkan dan diribetkan dengan persaingan antar elit politik yang seringkali menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tesis master saya dulu membahas Niccolò di Bernardo dei Machiavelli yang punya motto yang sangat terkenal “The end justifies the means” yaitu memakai cara apa saja—termasuk adu domba sesama bangsa lewat ujaran kebencian dan berita hoax—untuk mencapai tujuan mereka yang—apalagi kalau bukan—kekuasaan.
Bagi anak muda yang diaspora ke berbagai penjuru negeri, selama kalian tetap mengharumkan nama Ibu Pertiwi—karena Sang Ayah Pertiwi ribut bertikai—tetaplah di sana. Junjunglah tinggi nama Indonesia di sana. Saya tidak setuju bahwa WNI yang diaspora dianggap tidak nasionalis. Apalagi dibandingkan mereka yang katanya cinta tanah air tetapi justru mengobok-obok dari dalam? Kapan air keruh menjadi bening jika setiap saat diaduk terus?
Jadi, sekali lagi, meski usia saya lebih dari setengah abad, dengan berani saya berkata, “Sumpah, saya masih pemuda lho!” Merdeka!
Xavier Quentin Pranata, yang pernah berdiaspora tetapi kembali ke tanah air tercinta!