Banyak orang bilang “aku ingin mengabdi, menjadi guru di pelosok desa” atau “aku ingin menjadi tenaga medis, membantu para pasien yang tak mampu menebus biaya pengobatan.” Yang lain berkata “aku ingin pulang ke kampung halaman, membangun desa”. Barangkali definisi “mengabdi” yang dipahami masyarakat pada umumnya barulah sebatas membantu orang lain, tentu saja tidak hanya terfokus pada satu cara. Bahkan mungkin ribuan atau jutaan cara yang bisa ditempuh untuk sebuah pengabdian.
Tak perlu jauh-jauh mencari kekurangan dan keterbatasan suatu daerah sehingga pada akhirnya kita bisa menjejakkan kaki untuk mengabdi. Namun lihatlah kanan kiri, tajamkan mata batin agar kita mampu melihat problematika hidup yang terjadi justru di sekeliling kita.
Perpustakaan Cemara contohnya. Jika mendengar dua kata tersebut, hampir bisa dipastikan semua orang pun tahu bahwa perpustakaan adalah sebuah bangunan yang menyimpan beragam koleksi bacaan mulai dari koran, majalah, kamus, karya fiksi dan non fiksi bahkan koleksi bacaan virtual yang hanya dapat diakses jika terkoneksi dengan jaringan internet. Tapi tidak dengan Perpustakaan Cemara yang berdiri di sebuah desa bersuhu dingin, di sebuah desa yang sejajar dengan pinggang gunung Sindoro.
Perpustakaan Cemara tidak memiliki fasilitas layaknya perpustakaan atau taman baca di daerah perkotaan. Sarana dan prasarana penunjang yang tersedia hanyalah sebuah rumah sewa dengan tiga buah lemari, satu meja dan dua bangku plastik, bermodalkan kata “SEMANGAT DAN PANTANG MENYERAH”. Mungkin terdengar klise, tapi begitulah nyatanya. Cukup beralas tikar anyaman rotan, sebuah spidol warna hitam dan whiteboard, anak-anak di desa kami sudah bisa belajar. Semangat mereka membara meskipun persis di tengah-tengah ruangan tetes demi tetes air jatuh ke lantai. Ya, atap Perpustakaan Cemara bocor ketika musim penghujan tiba.
Program belajar mengajar di Perpustakaan Cemara dilaksanakan setiap hari Jum’at dan Minggu yaitu English Lesson every Friday dan membuat karya dari barang-barang bekas seperti botol air mineral, sedotan, kain perca, kertas dan lain-lain setiap hari Minggu. Tidak masalah jika hasil karya mereka tak sebagus dan serapi layaknya buatan orang dewasa, tidak masalah jika kerajinan yang mereka buat tak bernilai jual. Tidak masalah.
Tujuan kami bukan pada hasil melainkan pada proses yang berkesinambungan. Kami, para tutor, mengajarkan semua yang kami bisa dengan harapan kreatifitas anak-anak Perpustakaan Cemara (kisaran umur empat sampai tiga belas tahun) itu terasah. Rapi tidaknya hanyalah persoalan waktu seperti halnya kata pepatah practice make perfect.
Ternyata untuk membangun sebuah peradaban, hal yang terpenting adalah memulai dari diri kita sendiri. Tak perlu mempersoalkan siapa kita, dari rahim siapa kita dilahirkan, di mana domisili kita atau apa jabatan kita. Tidak penting membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain, apalagi perihal pendidikan yang notabene berimbas pada kearifan cara pandang seseorang. Yang seharunya kita lakukan adalah terus berkontribusi membangun negeri dengan turut andil dalam kegiatan kemasyarakatan, tak peduli pada lingkup yang paling kecil sekali pun.
Pengabdian tak melulu soal berapa nominal yang kita gelontorkan, tak selalu soal seberapa prestisius barang yang kita berikan. Pengabdian adalah soal keikhlasan tanpa berharap imbal balasan.
Pengabdian bukan tentang seberapa sering kita tampil di atas panggung, ditonton ribuan orang. Pengabdian juga bukan tentang seberapa sering kita berkilah, berargumen di media sosial tentang tindak tanduk seseorang. Pengabdian lagi-lagi adalah tentang keikhlasan hati, tentang lapangnya dada menerima segala kritikan dan saran. Mungkin, keikhlasan juga tentang menerima segala tindak perlakuaan negatif ketika langkah kecil yang kita awali justru dicerca banyak orang. Tak masalah. Karena niat kita semula bukanlah unuk menarik sensasi atau mencari-cari pujian.
Tak perlu gengsi berkecimpung dengan mereka yang berprofesi sebagai penjaja lontong pecel keliling, tak perlu minder berbaur dengan mereka yang berpangkat kopral. Semua sama, kita satu bangsa, Bangsa Indonesia. Maju mundurnya negara ini salah satunya tergantung kita, para pemuda Indonesia. Pemuda yang sejatinya ujung tombak perjuangan bangsa, pemuda yang berada di garda paling depan. Karena kita adalah pemuda yang berani bersatu membela keberagaman demi Indonesia yang bermartabat.
MERDEKA….!!!
#BeraniBersatuMembelaKeberagaman