Pemuda di tahun 1928 melakukan kesalahan. Sewaktu mereka menyatakan sumpah persatuan sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, mereka lupa mencantumkan akibat yang ditimbulkan bila melanggar sumpah pemuda. Akibatnya pemuda masa kini tidak terlalu mempedulikan sumpah tersebut. Pelanggaran sumpah pemuda itu mengakibatkan suburnya radikalisme suku dan agama, kesejahteraan yang tidak merata, timbulnya separatis hingga korupsi yang menjangkiti segala sisi di Negara kita ini.
Sumpah dalam berbagai kebudayaan mempunyai makna sakral. Sumpah diyakini sebagai perjanjian antar manusia yang disaksikan dan disahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Beberapa suku di Indonesia mempunyai sumpah. Dalam suku batak, ada sumpah antar beberapa marga agar keturunannya bersaudara selama-lamanya dan tidak saling kawin. Dalam cerita suku Minangkabau, ada juga legenda Malin Kundang yang menjadi batu akibat sumpah ibunya. Melihat kebudayaan berbagai suku di Indonesia, seharusnya alam pikiran manusia Indonesia ialah menakuti dan menghargai sumpah yang sudah diucapkan oleh nenek moyang.
Namun, kenyataannya pemuda hari ini sangat sedikit yang mengetahui isi dan makna sumpah pemuda. Sangat sedikit pemuda yang lantang menyuarakan persatuan. Pemuda yang terlihat ialah pemuda yang urakan di jalanan, tawuran. Ada juga pemuda yang gencar menyuarakan perpecahan, radikalis agama. Sementara pemuda yang berpendidikan tinggi seperti mahasiswa terlihat tersandera oleh gadgetnya. Pemuda tipe ini hanya berisik di media sosial namun penakut di kehidupan nyata. Golongan yang terbanyak ialah pemuda yang apatis, hedonis, tidak peduli apapun selain kepentingannya sendiri.
Jika membandingkan pemuda di jaman millennial ini dengan pemuda Indonesia di jaman 1928, kita akan mendapatkan perbedaan yang sangat kontras. Pemuda 1928 mempunyai pengertian bahwa kesadaran dalam bernegara harus sejalan dengan kesadaran kebangsaan. Negara Indonesia tidak dapat berdiri dan tinggal kekal bila dalam jiwa warga Negara tidak tetap tinggal perasaan dan kesadaran kebangsaan Indonesia. Pemuda 1928 menyadari bahwa Indonesia mempunyai berbagai suku-suku bangsa yang berbeda adat istiadat dan bahasa, namun semua adalah satu bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Perbedaan-perbedaan bukanlah penghalang. Perbedaan diibaratkan berbagai organ-organ dalam satu tubuh. Perbedaan bagaikan semaraknya bunga-bunga di dalam satu taman yang menjadikan taman indah dan asri, Bhinneka Tunggal Ika.
Jika kemerdekaan dan persatuan adalah nilai dan prinsip yang diyakini oleh pemuda 1928, maka pemuda di jaman milenial ini dikutuk untuk tidak mempunyai nilai dan prinsip yang kokoh. Pemuda milenial begitu gandrung dengan keriuhan dunia barat baik itu musik, mode ataupun gaya hidup. Pemuda milenial Indonesia tidak dididik dengan baik oleh Negara untuk menghargai dan melestarikan nilai-nilai baik khas Indonesia seperti gotong royong, toleransi dan sopan santun. Pemuda Indonesia masa kini menyukai gaya hidup individualis dan hedonis dengan alasan bahwa itu merupakan nilai-nilai kebebasan yang dianut oleh dunia barat. Pemuda milenial tidak tahu bahwa sikap tersebut adalah distorsi dari prinsip kebebasan dunia barat. Prinsip kebebasan (liberty) lebih menekankan akan penghargaan akan hak-hak asasi individual manusia, bukan berarti seenaknya dalam bertindak. Kebebasan individual dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Pemuda di jaman milenial mungkin tertidur akibat kata-kata palsu yang memabukkan yang berseliweran di media sosial. Sudah saat pemuda Indonesia bangun dan menyingsingkan lengan. Mari kita belajar dan mencari teladan. Kita dapat belajar dari teladan Pemuda Hatta yang begitu rajin mengajak pemuda lainnya untuk bersatu dan menghilangkan sifat Provincialisme. Kita harus belajar pada Pemuda Johannes Leimena—seorang Kristen Ambon—yang begitu giat mempersatukan pemuda-pemuda Indonesia untuk memperjuangkan kesadaran Bhinneka Tunggal Ika dan menjadi warga Negara yang bertanggungjawab pada Tuhan dan masyarakat.
Pemuda yang bertanggungjawab adalah pemuda yang peduli akan keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh pejabat. Pemuda juga harus ikut ambil bagian dalam berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Pemuda dapat peduli untuk melaporkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan di lingkungan masing-masing mulai dari jalan berlubang, birokrasi yang berbelit hingga korupsi pejabat. Platon—Filsuf Yunani Kuno—pernah mengatakan bahwa jika orang-orang baik tidak mau ikut politik maka akan dikutuk untuk dipimpin oleh orang-orang yang jahat.
Pemuda Indonesia di jaman millennial ini harus punya nilai-nilai yang baik. Suatu nilai universal seperti keadilan, kemerdekaan dan kebebasan, persaudaraan atau persatuan. Dengan mempunyai nilai serta prinsip yang kokoh kita mampu menghadapi globalisasi tanpa harus menggerus indentitas asli kita, bangsa Indonesia. Pemuda Indonesia menurut Bung Hatta tidak boleh menganut perasaan kedaerahan, Provincialisme. Pemuda Indonesia sudah bersumpah untuk bersatu, maka pemuda Indonesia harus berani bersatu membela keberagaman. Karena Tuhan sudah mendengar sumpah kita untuk bersatu dan pada hakikatnya Tuhanlah pencipta keberagaman itu.
#BeraniBersatuMembelaKeberagaman