Dengan terburu-buru aku mengambil telepon genggamku dan langsung membuka pengumuman sayembara event Youth Camp di Kepulauan Seribu. Entah, rasaku bercampur aduk. Takut kecewa, takut tidak lolos dan takut kegagalanku kembali terulang. Rasa itu terus menghantuiku. Tapi segudang kesiapan untuk menerima kebahagiaan yang membuncah ketika aku keterima sangat mudah untuk aku persiapkan. Belum sempat aku suruh saraf bahagiaku untuk berbahagia, ia sudah dengan berlari-lari cepat untuk berbahagia sehingga membuat detak jantung berdenyut lebih cepat dari biasanya.
Jari tanganku menuju instagram lalu menuju akun panitia. Satu, dua, tiga…. hitungan detik itu tidak seberapa dibanding denyut jantungku yang berdetak cepat. Mataku terfokus dengan rentetan daftar nama peserta yang lolos. Mataku berkaca-kaca dan seketika….. Alhamdulillah, namaku tersisip di antara 20 peserta lainnya yang lolos. Izinkanlah aku untuk merayakan kebahagiaanku setelah bertubi-tubi aku selalu memberi ruang kemenangan bagi mereka yang lolos, alias aku selalu kalah.
Aku pun kembali mengulas materi-materi yang akan dikaji di acara Youth Camp nanti yang berjudul Blue Carbon Emission. Aku memang tidak mengambil jurusan ilmu alam, kelautan, pariwisata ataupun yang lainnya yang berhubungan dengan tema. Tapi aku yakin aku akan bisa menyinkronkan hal itu karena aku yakin bahwa setiap insan itu harus mencintai alam dan menjaga bumi, khususnya alam laut. Berbagai sumber referensi aku kumpulkan untuk bahan presentasiku nanti.
Persiapan untuk keberangkatan sudah aku rancang dimulai dari pembokingan tiket, melengkapi persyaratan yang dituntutkan panitia sekaligus membaca tata tertib acaranya hingga tanggal itu semakin mendekat dan mendekat. Aku pamit kepada orang tuaku memohon restu kepadanya untuk mengikuti acara tersebut selama empat hari tiga malam.
Angkutan taksi mengantarkanku dari stasiun Jatinegara menuju dermaga Marina, Ancol. Aku terlihat asing berada di tempat ini. Pasalnya bukan orang miskin yang seharusnya singgah di tempat ini. Tapi syukurlah, aku bisa merasakannya. Belum banyak terlihat orang berlalu-lalang di pagi itu. Hanya segelintir orang dengan kaon-kaos putih yang terduduk di kursi dengan mengalungkan name tag yang tertulis nama dan asal institusinya. Aku sebarkan seyum dan uluran tangan kepada mereka satu per satu. “Assalamu’alaikum. Saya Fadlan dari IAIN Salatiga.”
Aku masih mempertanyakan keaslian ceritaku di hari ini. Pasalnya aku dipertemukan dengan teman-teman baru dari institusi yang umurnya lebih tua dari institusiku yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi. Aku masih ingin membuktikan bahwa aku tidaklah ada di dunia mimpi. Kutepuk pipiku, dan sakit masih kurasakan. Alhamdulillah, ini bukan cerita fiksi. Takdir bahwa aku dapat dipertemukan dengan Kak Fiko dari STMKG, Kak Hassian dari UGM, Kak Satria dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Kak Priscilila dari Jakarta Smart City, Kak Margareth dari Universitas Indonesia dan teman baru lainnya adalah ketetapan yang sudah Tuhan tuliskan di kitab takdirnya.
Kak Adhit, panitia acara ini mengabsen seluruh peserta. Kapal pengangkut penumpang menuju Pulau Ayer sudah siap. Barisan peserta berduyun-duyun menaiki kapal diikuti panitianya. Deburan air laut yang dioyak-oyak mesin kapal menjadi instrumen musik satu-satunya yang mengantarkan para peserta menuju Pulau Ayer. Keindahan floating cottage khas Pualu Ayer semakin terlihat jelas dan jelas. Ketakjuban pun kian menjadi-jadi setelah mereka mendapati pulau kecil yang tak berpenduduk ini disulap menjadi suguhan memanjakan bagi para tamu yang datang dengan jamuan dan sambutan ramah dari para karyawan hingga fasilitas cottage yang kental akan budaya Papua.
Para peserta memenuhi aula untuk mengikuti serangkaian acara pembukaan oleh panitia. Setelah pembagian kamar, mereka mulai ckeck in menuju kamarnya masing-masing. Setelah cukup puas menyusuri setiap sudut-sudut Ayer ressort, mereka kembali ke aula untuk melangsungkan agendanya yaitu presentasi karya tulis masing-masing.
Acara ini sangat padat akan kegiatan. Setelah mereka presentasi, panitia membagi mereka menjadi 6 kelompok untuk penelitian singkat mengenai Pulau Ayer dimulai dari potensi wisatanya, infrastruktur, kondisi laut, mekanisme pembuangan limbah, dan hal lain yang dianggap perlu untuk diungkap. Mereka pun berpencar dan mencari sudut-sudut taman untuk mewawancarai salah satu karyawan lalu melontarinya berbagai pertanyaan.
Keesokan harinya mereka mengikuti kegiatan inti yaitu materi yang disampaikan oleh beberapa orang ahli terkemuka dalam bidang kelautan. Di antaranya adalah bapak Dr. Raldi Hendro Koestoer. Beliau adalah dosen lingkungan Universitas Indonesia. Kemudian ada bapak Dr. Hendra Yusran Siry. Beliau adalah Kasubdit Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim. Dan yang terakhir ada bapak Barakalla. Beliau adalah kepala Conservation International Indonesia.
Di hari kedua pada pukul 09.00, Pak Raldi membawakan materi tentang Potensi Ekosistem Blue Carbon menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Beliau memaparkan berbagai potensi kekayaan yang dimiliki alam laut untuk menggenjot ekonomi Indonesia, salah satunya adalah produksi karbon biru yang dihasilkan oleh pohon mangrove. Di hari kedua pada pukul 11.00, Pak Hendra menyampaikan materi tentang Blue Carbon dalam Persepektif Kelautan dan Perikanan. Beliau memaparkan pengertian tentang karbon biru berikut potensi dan kondisi yang terjadi di perairan Indonesia. Di hari ketiga pada pukul 10.00, Pak Barakalla memaparkan materi tentang Hasil Kajian Blue Carbon oleh CII di Kabupaten Kaimana Provinsi Papua Barat. Beliau menyampaikan hasil ekspedisi sekaligus penelitiannya di Kabupaten Kaimana meliputi segala hal tentang kelautan bahkan tentang kondisi sosial masyarakatnya.
Pemahaman mereka akan kelautan membuat kecintaan mereka pada laut kian bertambah. Rasanya laut seakan-akan memang rumah kita dimana kita tinggal bersamanya selama 24 jam. Laut harus senantiasa dijaga keasriannya karena di dalamnya menyimpan banyak potensi kekayaan yang dapat kita gali, khususnya negara kita tercinta Indonesia yang wilayah perairannya lebih luas daripada daratannya.
Para peserta Youth Camp sangat bersedih hati ketika hari terakhir itu semakin dekat. Itu artinya mereka harus kembali berpencar menuju aktivitasnya masing-masing. Acara itu ditutup dengan pergelaran malam budaya. Setiap peserta menampilkan kreasi seni khas daerahnya masing-masing. Kak Hassian, Kak Lili dan Kak Dinda membawakan tarian batak khas daerahnya, Medan. Kak Fiko menyanyikan lagu daerah melayu. Ia berasal dari Palembang. Kak Dini memainkan biola dengan berbagai lagu daerah dan nasional ditemani Kak Syifa dengan lantunan puisinya yang syahdu. Aku, Fadlan membawakan lagu khas Sunda yaitu panon hideung, pileuleuyan dan neng geulis. Kak Putri menampilkan tarian khas daerahnya, Gorontallo. Kak echa, Kak Riyadi, Kak Ayu, Kak Aflah dan Kak Diah menampilkan drama ngapak. Dan masih banyak lagi.
Di malam itu kami bersuka ria, bernyanyi dan berjoget. Kami bersenang-senang walaupun di atas perbedaan ras, suku, golongan dan agama. Rasanya tanpa menjunjung tinggi nilai humanis, agenda youth camp ini tidak akan terlaksana dengan baik. Bisa kita bayangkan jika propaganda untuk melestarikan alam laut ini dikotak-kotakan oleh perbedaan. Laut ini untuk golongan A dan laut itu untuk golongan B. Bisa terbayang susahnya mengikat persatuan negara yang terbentang luas ini. Untunglah negara kita punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan. Indahnya perbedaan ketika saling menghargai satu sama lain. Dan seluruh peserta ini adalah agen untuk berani bersatu membela keberagaman, agen pembela persatuan.
#BeraniBersatuMembelaKeberagaman