Sudah bukan rahasia lagi dan fakta yang tak terbantahkan Warga DKI Jakarta khususnya dan bahkan dunia pun mengakui bahwa kemenangan Gubernur Anies mengoyak-ngoyak kebhinekaan. Saracen penebar SARA, hoax, fitnah dan kebencian yang saat ini telah memasuki tahap persidangan mengkonfirmasi bahwa Pilkada DKI kemarin penuh dengan cara-cara yang kotor keji, dan menjijikkan.
Apa tidak menjijikkan, Djarot Saiful Hidayat diusir di masjid yang adalah rumah Tuhan-nya. Ahok dihadang dimana-mana dilarang berkampanye dan dipenjarakan secara brutal akibat desakan massa yang kalap karena termakan postingan provokativ Buni Yani.
Maka saya begitu mahfum ketika pak Djarot tidak menghadiri acara pelantikan Gubernur baru dan memilih liburan di Labuhan Bajo. Beliau jelaslah sakit hati. Sayapun jika mengalami hal yang sama juga akan melakukan tindakan seperti pak Djarot. Seperti Almarhum Gusdur yang ditanya Andy F Noya apakah dia sudah melupakan dan memaafkan Amien Rais, Gusdur menjawab ” Memaafkan sudah, lupa sih enggak”, Djarot pun saya yakin tidak akan melupakan kepicikan Pilkada DKI lalu. ( jadi rindu Gusdur…tears).
Bahkan di acara wawancara dengan Najwa Shihab sepulang dari liburan, masih sangat tergambar jelas di wajah Pak Djarot yang begitu pedih dan sakit hati dengan Anies. Tidak perlu psikolog atau ahli raut wajah untuk membaca mimik muka kekecewaan seorang Djarot, sayapun melihat ada luka yang begitu dalam saat beliau menceritakan kepada Najwa Shihab apa respon pak Ahok soal pidato “pribumi” nya Anies.
Silahkan simak disini : https://www.youtube.com/watch?v=kH_OhawwD3E
Dan sangat berbeda dengan program-program Anies yang semuanya masih dalah tahap dikaji, dikaji dan dikaji, kali ini bahkan tanpa kajian dan perhitungan, dalam tempo yang sangat singkat tepat satu bulan menjabat, Gubernur Anies mengubah Pergub dengan mengijinkan Monas dipakai untuk kegiatan keagamaan. Apa ini berlaku kepada semua agama? urgensinya apa? apa ada motif titik titik dibalik itu semua?
Bayangkan belum sembuh luka pilkada akibat gesekan SARA, pidato polemik pribumi muslim, Anies kembali bermain-main dengan api yang telah membumi hanguskan toleransi di Jakarta. Harus diakui bahwa sejujurnya Jakarta belum siap menerima sebuah perbedaan bahkan dalam hal memilih pemimpin. Saya malah menduga ini adalah Pergub “titipan” dari kelompok atau elit politik tertentu.
Adalah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj yang mencium aroma tidak sedap diberlakukannya Pergub baru oleh Anies. Sudah jauh-jauh hari beliau mewanti-wanti Gubernur Anies agar hati-hati mengambil kebijakan itu. Jika murni niatnya untuk mengakomodir umat beragama, tentu itu bukan masalah, tetapi jika ada agenda politik yang tersembunyi maka sebaiknya jangan. Bukan apa-apa, saat ini acara keagamaan sering dan mudah ditunggangi elit-elit politik yang ingin mengambil momentum untuk kepetingan mereka.
Apakah Gubernur Anies tidak memikirkan aspek keamanan? Ada potensi makar mengingat Monas hanya hitungan langkah dari Istana negara? Apa Anies juga tidak tau sejarah bahwa pernah terjadi tragedi Monas disebabkan acara keagamaan?? Kalau itu saya maklum, karena memang Anies berulang kali lupa sejarah, dari mulai sumpah pemuda tahun 1934 oleh orang Arab dan terakhir katanya penjajahan hanya ada di kota Jakarta.
Kita tentu masih ingat Pada 1 juni 2008 terjadi insiden berdarah yang menjerat habib Rizieq menjadi tersangka. ini bermula ketika AKKBB ( Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ) akan menggelar aksi hari Pancasila di Monas, Jakarta. Namun belum lama aksi dimulai, kumpulan masa AKKBB diserang oleh masa beratribut FPI. Massa FPI memukuli anggota Aliansi Kebangsaan dengan berbagai cara, anggota FPI tak berhenti menyerang mereka juga menghancurkan peralatan pengeras suara, merusak dan membakar spanduk. Saat itu Munarman sebagai ketua Laskar Islam menyatakan bahwa penyerangan itu dilakukan karena menduga aksi itu bukanlah dalam rangka memperingati hari Pancasila melainkan aksi dari kelompok pendukung Ahmadiyah.
Apakah ini bisa terulang? Mungkin saja. Karena sudah banyak bukti bahwa Jakarta belum siap menerima perbedaan. Perlu digarisbawahi juga bahwa DKI Jakarta menempati urutan teratas kota paling tidak toleran versi Setara institute.
Saya membayangkan jika nanti Monas dipakai untuk KKR ( Kebaktian Kebangunan Rohani ) atau Natal bersama oleh Pendeta Stephen Tong misalnya atau bahkan pendeta kelas dunia macam Benny hinn dan Reinhard Bonnke. Para Pendeta yang sangat terkenal dengan “pertobatan massal” . Apa FPI siap?? Bagaimana jika orang-orang nanti bertobat dan beramai-ramai memeluk agama kristen di Monas??
Atau bayangkan Monas digunakan Tablig Akbar dengan pembicara yang selama ini dianggap bertentangan dengan Pancasila, penceramahnya ditolak oleh kelompok tertentu karena mendukung khilafah atau HTI, ormas yang sudah dibubarkan pemerintah melalui Perpu Ormas. Bukankan akan memicu konflik dan benturan di masyarakat?
Belum lagi ritual agama-agama lain, yang sering dikafir-kafirkan oleh kelompok tertentu mengingat Jakarta adalah ibukota yang terdapat hampir semua suku dan agama ada di Indonesia. Hal-hal inilah yang harus menjadi bahan renungan untuk Gubernur Anies.
Terlepas dari kekhawatiran-kekhawatiran itu, mulai pekan depan Gubernur Anies sudah memberlakukan aturan baru. Mau tidak mau suka tidak suka semua pihak harus menerima karena bagaimanapun ini adalah kewenangan daripada Anies, Gubernur yang dipilih 58% warga Jakarta.
Bulan depan bulan Desember. Saatnya umat Kristiani menyambut Natal, saya berharap Gubernur Anies akan mempermudah ijin acara Natal bersama di Monas semudah ijin tauziah. Jika nanti ada sinterklas yang membagikan kado untuk anak-anak jangan ada asumsi bahwa itu adalah pemurtadan atau gerakan kristenisasi. Jangan ada diskriminasi, jangan ada lagi kita dengar pengusiran-pengusiran atas nama agama mayoritas, apalagi pengusiran disertai ancaman kepada anak-anak dengan membawa gergaji pula…hmm…
Jika mengucapkan Selamat Natal saja sudah dianggap haram, bagaimana mungkin mempersilahkan merayakan Natal dimuka umum. Nah, disinilah ketegasan Anies yang dipuji-puji Fahira Idris dkk akan betul-betul diuji. Apakah Pergub tersebut untuk mengakomodir seluruh kegiatan agama atau “abuse of power” Anies untuk kepentingan politik dirinya untuk meratakan jalan menuju RI 1 2019.
Inilah yang akan saya kawal bersama teman-teman IndoVoices. 100 hari kepemimpinan Anies Sandi yang tetap baik dan semakin baik.
Selamat merayakan Natal di Monas!