Saya harus dengan jujur mengapresiasi usaha Anies-Sandi mempersatukan apa yang sudah mereka cerai-beraikan pada waktu Pilkada 2017 yang lalu. Mereka dengan membabi-buta melaksanakan pantauan pelaksanaan perayaan Natal 2017. Mereka mengunjungi gereja-gereja yang sedang merayakan Natal. Sebelumnya mereka juga berusaha melaksanakan Natal bersama di Monas, yang pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena PGI, KWI dan wakil Gereja lainnya menghendaki perayaan Natal dipusatkan di indoor. Usaha itu harus dihargai.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Anies-Sandi atas usaha itu. Yah meskipun ada yang harus dikoreksi. Misalnya, menyela Misa Kudus. Itu artinya Anies tidak punya informasi tentang tata acara peribatan Katolik. Mengandaikan juga bahwa pak gubernur tidak memperluas wawasan tentang agama orang lain.
Mempersatukan yang kalian cerai-beraikan
Apa yang terjadi di Pilkada Jakarta tidak bisa kita nafikan dan diamkan seolah tidak ada yang terjadi. Menolak tidak menyalatkan jenazah karena memilih Ahok yang dianggap sebagai kafir – meskipun penulis bukan seorang Islam – adalah peristiwa paling menyakitkan di NKRI ini. Meskipun mungkin perah terjadi atau tidak tersebar ke penjuru Indonesia, tetapi peristiwa itu sudah mengandaikan keretakan persatuan dan kesatuan di NKRI.
Anda bisa membantah. Anda bisa menolak. Tetapi fakta menyatakan demikian. Fakta tidak mungkin berbohong. Fakta menunjukkan kepada kita bahwa politisasi agama itu terjadi secara terstruktur dan masif. Korban politisasi agama itu pun tidak mungkin dinafikan.
Jika perbedaan pilihan politik biasanya tidak menimbulkan gesekan-gesekan agama, maka pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sangat kental dengan gesekan berdasarkan agama dan keyakinan. Jelasnya siapa yang memilih Ahok, maka dia adalah kafir. Siapa yang memilih Ahok, maka mayatnya tidak akan disalatkan. Siapa yang memilih kafir tidak akan masuk surga.
Kalau sudah seperti ini, apakah masih bisa dibantah kenyataan bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah pilkada terparah sepanjang sejarah politik bangsa ini. Di era demokrasi yang semakin menginjak usia dewasa, ternyata para elite politiknya belum juga beranjak dewasa, bahkan semakin bobrok.
Demokrasi dinodai dengan tercerai-berainya anak-anak negeri ini dan terancamnya kebinekaan NKRI. Parahnya, agama, yang semestinya menjadi panduan hidup, dijadikan alat politik, dijadikan alasan untuk membenci dan mencaci orang lain. Apakah keadaan seperti ini akan terus seperti ini?
Untung saja Anies-Sandi – kelihatannya – sadar akan keadaan itu, sehingga akhir-akhir ini mereka mencoba merajut kembali persaudaraan yang retak dan merapikan kembali benang kusut di DKI. Itu tidak mudah. Sebab warga Jakarta bukan sapi yang dicocok hidungnya lalu diarahkan tanpa ada perlawanan. Dibutuhkan usaha yang ekstra. Dan ingat, tidak cukup hanya meresmikan gereja, memantau perayaan Hari Raya Natal 2017, dan seremoni-seremoni lainnya, melainkan keberpihakan yang nyata kepada warga dalam memimpin DKI.
Belajarlah dari Pilkada DKI Jakarta 2017
Lihatlah Anies-Sandi. Tidak mudah memperbaiki gading yang sudah retak. Bahkan tidak mungkin lagi diperbaiki. Usaha Anies-Sandi – yang (mungkin) tulus ikhlas mempersatukan dan mengeratkan kembali tali persaudaraan – bisa dipastikan tidak akan berbuah banyak demi persatuan dan kesatuan warga DKI. Luka itu terlalu parah untuk disembuhkan.
Andaikan pun luka itu sembuh, bekas luka itu tak mungkin sembuh seperti sediakala. Pilkada DKI Jakarta 2017 akan dikenang sebagai pilkada buruk karena mengandung isu SARA. Juga akan menjadi rujukan agar memetik pelajaran dari sana bahwa pilkada dengan isu SARA itu membahayakan.
Kiranya elite politik di daerah lain pada Pilkada serentak 2018 harus melihat dengan jelas bahwa Jakarta meninggalkan bekas luka politik yang cukup dalam, yang harus diobati Anies-Sandi dengan susah payah. Harapannya adalah bahwa elite politik menghindari agar kejadian yang terjadi di Jakarta tidak terulang lagi di daerah lain. Cukuplah bangsa ini menelan kepedihan itu hanya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, jangan di pilkada lain.
Pak Anies dan Pak Sandi, jika ke depan Anda tidak menunjukkan ketulusan dan keseriusan membangun/menata Jakarta, maka percayalah Anda berdua akan dikuliti sampai pada kulit terakhir oleh orang-orang seperti saya, yang mencoba melihat segala sesuatu secara kritis.