Kritik atas pidato Anies yang memuat kata Pribumi, bukanlah ujian atas kepemimpinan Anies. Penutupan atau lebih tepatnya tidak memproses perizinan usaha pariwisata Alexis pun bukan hal besar dalam tantangan memimpin DKI Jakarta, sebab tanpa Alexis pun maksiat akan tetap marak. Bahkan menjaga persatuan, yang tanpa diusahakan pun sejatinya tidak perlu dipertanyakan, bukan hal urgen untuk diselesaikan.
Yang menjadi tantangan terbesar pemimpin Jakarta selama ini adalah banjir dan kemacetan yang berimplikasi ke seluruh bidang kehidupan masyarakat. Persoalan banjir tidak bisa diselesaikan dengan hanya mengandalkan pompa air, pun juga tidak hanya dengan pengerukan sungai, melainkan harus mengandalkan normalisasi. Normalisasi berarti harus menata pinggiran sungai – sebagaimana dikatakan Anies – atau lebih tepatnya menggusur hunian sepanjang daerah yang termasuk normalisasi.
Pertanyaannya, apakah Anies akan melakukan itu? Apakah Anies bersedia menjilat ludahnya sendiri? Apakah Anies lebih memilih mempertahankan sebutan ‘menata’ untuk menunjuk menggusur? Atau beranikah Anies – demi kebaikan DKI Jakarta dan warganya – melanjutkan cara kerja Ahok dengan menggusur hunian di jalur normalisasi? Tentu saja ini bukan pilihan mudah.
Ahok ketika di Jakarta
Karya Ahok di DKI Jakarta tidak akan dilupakan begitu saja, bahkan oleh orang yang membencinya. Ahok menjadi contoh seorang pemimpin yang tidak mengandalkan kesantunan, retorika, dan kata-kata manis. Ahok tahu bahwa yang dibutuhkan DKI Jakarta adalah pemimpin tegas, yang tidak peduli dengan popularitas, tidak mau tahu soal celotehan tetangga, yang tidak ambil pusing dengan hati mereka yang penuh tipu muslihat, makanya dia punya kata-kata andalan, “pemahaman nenek lu!” Konsern Ahok adalah yang terbaik untuk DKI Jakarta. Ahok peduli dengan terselesaikannya persoalan Jakarta tanpa harus menimbulkan masalah baru.
Ahok adalah pemimpin yang terkenal jujur dan apa adanya, yang melaksanakan tugasnya sebagaimana adanya, yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di DKI Jakarta, yang paham dan menguasai apa yang sedang dia lakukan, yang melakukan tugasnya bukan untuk dirinya sendiri melainkan semata-mata demi kebaikan Jakarta.
Ketika warga harus digusur karena normalisasi demi mengatasi banjir, Ahok mengatakan digusur. Ketika Ahok mengadakan sidak ke pintu air dan kedapatan ada pompa yang rusak dan tidak ada laporan serta perbaikan, dia langsung marah-marah. Siapa yang tidak marah kalau melihat anak buahnya tidak tanggap sementara banyak warga yang akan terkena dampaknya. Dan masih banyak hal dilakukan Ahok di Jakarta yang menjadikannya lekat di hati warga.
Anies akan terus dibayang-bayangi Ahok
Maka apa pun yang akan dilakukan Anies akan dibandingkan dengan apa yang dilakukan Ahok. Ini bukan soal memilih atau tidak memilih Anies. Pemilih Anies saja akan membandingkan Anies dengan Ahok, apalagi pemilih Ahok. Pemilih Anies akan membandingkan dengan Ahok karena berharap pilihan mereka adalah yang terbaik dan memastikan janji kampanye terpenuhi. Sementara pemilih Ahok, selain belum move on dari Ahok dan tidak mau legasi Ahok dirusak Anies, juga memastikan janji kampanye terpenuhi. Semuanya itu akan menyatu membayangi Anies selama ia memimpin Jakarta.
Tidak percaya? Lihat saja baru-baru ini, ketika musim penghujan tiba dan banjir melanda, langsung dibandingkan dengan kinerja Ahok. Masih tidak percaya, baca komentar warga yang terkena banjir seperti diwartakan kompas.com:
Menurut Sugiyanto,
“Maaf-maaf ya, waktu zaman Pak Ahok enggak pernah banjir, baru kali ini aja setelah gubernur baru.”
“Dulu kebanjiran hampir setiap hari waktu musim hujan, alhamdulillah begitu zaman Pak Jokowi sudah berkurang banget, terasa enggak pernah banjir lagi,”
Menurut warga IKPN Bintaro, Pal. Warga RW 004, Bintaro, Pesanggrahan,
“Iya baru semalam saja banjir, sudah empat tahun ini enggak banjir, kan.”
“Ya gara-gara gubernurnya ganti mungkin.”
“Pak Ahok waktu itu sudah menyuruh agar diusulkan ganti pompa karena rusak. Tapi, warga sini enggak tahu tuh kenapa merasa enggak perlu ganti pompa.”
Sumber lain tentang banjir Jakarta
Lain lagi komentar soal cara penanganan banjir seperti diberitakan cnnindonesia.com, menurut mereka ada perbedaan cara penanganan banjir ketika Ahok menjabat sebagai gubernur jika dibandingkan dengan Anies yang masih baru bekerja.
“Ahok waktu itu sudah ada upaya pengerukan, tapi hasil pengerukannya itu malah ditaruh di pinggir-pinggir kali, dan tiap tahunnya tetap kena banjir.”
“Saya sudah rasakan dari zaman Fauzi Bowo, Jokowi, Ahok sampai sekarang, tetap saja banjir terus. Tanggul jebol itu kan bukan masalah utama, tapi soal normalisasi kali, kali di sini sudah kelebihan muatan, kalau di Depok hujan ya di sini bisa banjir, kita sudah upayakan ini tapi belum ada respon.”
“Ahok waktu itu kerjanya bersihin Kali Krukut, periksa gorong-gorong langsung, kalau ditemukan masalah langsung suruh bawahannya gerak cepat membenahi.”
“Iya dulu bisa hampir kelelep, jalanan di depan saja nggak bisa dilewati. Pas Ahok jadi gubernur berkurang, di rumah juga berkurang banget, cuma becek-becek saja. Sayang dia (Ahok) nggak lanjut (jadi gubernur) lagi.”
“Dia kan masih baru, saya belum lihat kinerjanya, kita tunggu saja nanti. Jalanan saja sekarang banjir lagi. Jadi belum lihat kerjanya saya.”
Dari sumber di atas menunjukkan bahwa warga Jakarta akan tetap dan akan selalu membandingkan hasil kinerja dan bagaimana cara pengerjaan setiap gubernur yang menjabat di DKI Jakarta. Sebenarnya hal ini sangat lumrah dalam setiap perubahan kepemimpinan. Tetapi bedanya, pilkada sebelum-sebelumnya tidak sepanas Pilkada DKI 2017, sehingga perbandingannya pun sangat jauh lebih intensif. Belum lagi bila dibandingkan dengan pencapaian gubernur sebelumnya.
Tentang UMK misalnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI Said Iqbal menyatakan – seperti dilansir bangka.tribunnews.com – bahwa:
“Ternyata Ahok jauh lebih berani dan ksatria dalam memutuskan UMP pada waktu itu ketimbang Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang lebih mengumbar janji.”
Kalau tentang buruh ini tentu kita tidak mau berspekulasi terlalu liar, sebab mereka mendemo Ahok sebelumnya. Jadi bisa saja komentar mereka adalah bentuk kekecewaan terhadap gubernur yang mereka dukung. Kalau saya sih, ya rasakan saja termakan janji manis.
Kesimpulan
Perbandingan kepemimpinan sekarang dengan kepemimpinan sebelumnya, sekali lagi, adalah hal biasa dan lumrah. Bila kepemimpinan terdahulu dinilai lebih baik, maka akan dijadikan patokan oleh warga, tetapi jika kepemimpinan terdahulu lebih buruk, juga akan dijadikan tumpuan untuk mendorong kepemimpinan sekarang berbuat jauh lebih baik dari yang terdahulu.
Catatan saya untuk Anies. Anda sudah menjadi gubernur. Andaikan pun 100% memilih Anda, pasti juga akan ada pro-kontra. Tetapi Anda harus tahu dan sadar bahwa Jakarta butuh sesuatu yang sangat konkret, cepat, tanggap, dan sesuai aturan. Mereka tidak lagi butuh retorika ciamik. Mereka sekarang butuh keputusan tepat seorang pemimpin dan kepastian keputusan itu terlaksana dengan baik.
Satu lagi yang sangat penting. Tidak ada salahnya melanjutkan sesuatu yang baik dari pemimpin sebelumnya. Jika ada sesuatu yang baik dari program Jokowi-Ahok-Djarot, seperti solusi banjir, solusi macet, solusi ekonomi kreatif, dan lain sebagainya, akan sangat bijaksana bila dilanjutkan dan dikembangkan. Adalah sesuatu yang sangat terpuji melanjutkan yang baik dan memperbaiki apa yang belum baik.
Salam Indovoices