Ramai warga Jakarta mengkritik dan mempermasalahkan kebijakan gubernur Anies yang menghidupkan lagi moda transportasi becak di Jakarta terasa sia-sia dan hanya seperti usaha menjaring angin. Anies tegar tengkuk dan justru seperti ingin melawan dengan halus kritikan-kritikan yang dialamatkan kepadanya.
Bahkan kritikan Prasetyo Edi Marsudi ketua DPRD DKI Jakarta pun dianggapnya angin lalu. Masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri kalau kata orang…
Kewenangan gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta memang sangatlah besar. Sehingga wajar kalau gubernur Anies menganggap kritikan-kritikan yang ditujukan kepadanya hanya dianggapnya buih-buih dilautan yang akan hilang dengan sendirinya diterjang ombak…
Agak sulit menerima penjelasan gubernur Anies alasan diperbolehkannya becak beroperasi kembali. Gubernur Anies menganggap becak masih sangat dibutuhan ibu-ibu yang membawa barang bawaan dari pasar. Berarti hanya dibutuhkan saat pulang dari pasar tetapi tidak dibutuhkan dari rumah ke pasar? Entah studi banding kemana sehingga gubernur Anies mengambil kesimpulan seperti itu.
Jika kita amati dengan seksama, sebenarnya ibu-ibu tidak butuh-butuh amat becak jika hanya membawa barang-barang belanjaan dari pasar. Masih ada bajaj, ojek pangkalan dan ojek online yang lebih efektif dan bisa mengantarkan mereka pulang sampai ke rumah dalam sekejap mata…
Lalu mengapa mereka memakai becak ya karena masih ada becak yang mangkal disekitar pasar. Itung-itung kasih upah untuk pak tua driver becak daripada jalan kaki ke rumah yang mungkin jaraknya sangat dekat. Jadi bukan karena kebutuhan, pak!! tetapi karena kebetulan dan karena kasihan saja.
Gubernur Anies berkilah bahwa jika becak masih ada berarti becak masih dibutuhkan. Ini adalah kesimpulan dini yang mengada-ada menurut saya.
Kalau menurut analisa abal-abal saya mengapa becak masih ada adalah karena becak merupakan kendaraan yang simpel dan tidak ribet untuk digunakan.
Becak tidak mensyaratkan pengujian kendaraan bermotor atau uji kir untuk beroperasi. Tidak perlu menguji dan atau memeriksa bagian-bagian becak dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan laik jalan. Cukup jungkit sedikit untuk memudahkan penumpang naik, pancal, becak siap berlari…
Becak tidak perlu bahan bakar karena tangki bensin ada pada betis pengemudinya dan pom bensinnya ada di warteg (warung Tegal)…
Tidak perlu uji emisi, tidak perlu perawatan service di bengkel, tidak ada pajak tiap tahun apalagi ganti plat STNK. Dan bahkan sopirnya pun tak perlu menggunakan SIM untuk dapat mengendarainya.
Peraturan lalu lintas pun tidak mengikat terhadap kendaraan becak. Bebas dan hanya asas kepatutan saja. Ibaratnya ada lampu merah tetapi jalan pas kosong, becak bisa jalan terusss. Tak bakalan ditilang pak polisi. Lha bagaimana mau ditilang jika melihat pak tua pengemudi becak ngos-ngosan saja sudah iba…
Itulah alasan sederhana mengapa becak masih ada…
Belum lagi jika kita menghitung sisi manfaat dan mudharatnya…
Sepengetahuan saya, pasar-pasar di Jakarta ini tidak ada yang memiliki fasilitas parkir yang memadai. Jika nanti becak diijinkan beroperasi, maka becak-becak akan memenuhi jalan-jalan disekitar pasar yang akan mengakibatkan macet luar biasa. Meskipun gubernur Anies mengatakan becak tidak akan beroperasi di jalan raya, lha bagaimana mengawasinya? Siapa yang bisa menjamin??
Satu-satunya alasan yang bisa diterima akal sehat becak kembali beroperasi adalah alasan sejarah dan kebudayaan. Di daerah seperti Jogja misalnya becak adalah ikon budaya dan bagian dari sejarah kota itu. Ketika wisatawan menginjakkan kaki di Jogja, mereka akan mencari becak, kendaraan yang mungkin tak pernah mereka jumpai di kota lain.
Tetapi itupun jumlah pengemudi becak di Jogja saat ini sudah jauh berkurang. Hal ini dikarenakan becak dianggap sudah tidak efektif lagi digunakan sebagai alat transportasi untuk menjangkau mobilitas turis antar tempat wisata yang ada disana. Artinya becak lama-kelamaan akan hilang tergerus zaman. Jika sudah begini, pemerintah daerahlah yang harus berperan menghidupkan lagi becak sebagai bagian dari upaya menjaga warisan sejarah dan budaya.
Tetapi tentu berbeda dengan kota Jakarta. Becak bukanlah bagian dari sejarah kota Jakarta. Becak adalah moda transportasi konvensional yang sudah selayaknya ditinggalkan dan hilang dari kota metropolitan yang sudah penuh sesak seperti Jakarta ini.
Sehingga kesimpulan saya adalah sangat terlihat jelas dan gamblang bahwa kebijakan gubernur Anies menghidupkan lagi becak hanya sekedar ingin menggenapi kontrak politik dan merealisasikan janji-janji kampanyenya. Jika ada alasan-alasan lain, saya anggap hanyalah pembenaran yang mengada-ada…
Huh…kebijakan sekedar dong!!!
Terakhir, saya mau berbagi sedikit cerita tentang tukang becak yang berdialog dengan seorang bule atau turis asing…
Bule : “Do you speak English”?
Tukang becak : “Ya mister saya tahu jalan batu tulis”!
Bule : “What”??
Tukang becak : “Wah..kuat mister kalo cuma sampe sana mah”.
Bule : “Ok, How much”?
Tukang becak : “Hehe..nama saya Jupri, mister, bukan Ahmad!”.
Bule : “You are crazy”!!
Tukang becak : ” loh..kok tahu saya dari Bekasi, mister”?
Bule : “Arghhh, Ok let’s go”!
Tukang becak : “Aduh..murah amat mister, masak kesana cuma ceng go??
Haha…ha..£¥√©÷`¢[€°£{#&#-(
Selamat naik becak di Jakarta!!
Sumber cerita : khotbah Pdt Dr Jacob Nahuway MA yang saya ceritakan kembali.