Bocah kecil itu diam. Ia tatapi lantai keramik persegi berwarna putih yang mengilap terkena cahaya lampu. Pikirannya tak fokus pada satu bayang-bayang. Sejatinya, hatinya pun tak keruan.
“Huuuggff. . . .” Ia hembuskan nafas yang menurutnya begitu menyesakkan dada.
Menurut Dhika, bocah berumur empat belas tahun bertubuh kurus kerontang itu, ada masa dalam hidup manusia yang begitu menakutkan. Suatu masa yang siap tidak siap akan dilalui oleh setiap insan, oleh setiap makhluk bernyawa tak terkecuali dirinya. Suatu masa yg dalam benaknya merupakan batas antara fana dan kekal. Ia tak siap, lebih tepatnya jika masa itu datang tiba-tiba tanpa kompromi.
Kematian.
♥♥♥
Suasana ruang tunggu Stasiun Tawang begitu riuh. Hari memang sudah mendekati pertengahan malam, namun sedikit pun tidak menyurutkan antusias para calon penumpang kereta atau segenap keluarga pengantar.
Dhika mengalihkan pandangan. Kali ini ia tatapi seorang kuli angkut barang yang mengenakan seragam merah. Kulitnya sudah mengeriput, kedua pipinya pun tampak cekung. Dhika tertegun. Bayang-bayang dalam otaknya pun teralihkan oleh sosok porter itu.
Sudah tua tapi masih bekerja. Tega sekali anak-anaknya membiarkan bapak tua itu berpeluh sampai otot-otonya muncul ke permukaan. Harusnya sekarang ia tinggal menikmati masa tua. Huuuggff kasian.
Namun apa daya. Dhika hanya bisa membatin tanpa kuasa memberikan solusi terlebih perihal persoalan orang dewasa, ia jelas tak tahu menahu sebab yang ia tahu dan pahami betul barulah persoalan matematika sin, cos, tan atau rumus-rumus elektro dan fisika.
Dhika kembali menumpukan pandangan di lantai keramik. Saking asyiknya menekuri lamunan sampai-sampai ia tak menyadari kehadiran seorang bule berambut pirang yang mengambil duduk persis di samping kanannya.
“Alone?”
Dhika terkesiap. Secepat halilintar ia dongakkan kepala begitu merasakan pundaknya ditepuk beberapa kali.
“Yes Sir.” Jawabnya singkat tanpa balik bertanya. Sebab baru beberapa kosa kata Bahasa Inggris yang ia kuasai. Itu mengapa ia memutuskan untuk pergi menimba ilmu di sebuah perkampungan Inggris di Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Tetapi belum juga langkahnya menjejak, ia sudah bimbang. Bukan karena ia ingin menunda atau mengurungkan niat. Ia hanya tak punya nyali untuk menghadapi sesuatu yang belum pasti terjadi, atau mungkin saja akan terjadi, kematian.
Smoothie jambu biji yang ia bawa dari rumah masih utuh dan kini ia pandangi. Pelan-pelan ia mengocoknya sekadar mencari pengalihan atas gundah gulananya. Beberapa saat kemudian ia buku tutup botol lantas menempelkan mulut botol ke bibir tipisnya. Ia seruput perlahan seolah smoothie buatan ummi-nya itu benar-benar panas.
“Where is your mom or dad, so you go just alone?”
Dhika mengernyitkan kening. Ia berusaha menangkap maksud si penanya. Maka ia pun menjawab dengan berlandaskan beberapa kata yang ia pahami, where, mom, alone.
“Mom sick.”
“Oh, I’m sorry to hear that.” Ucap sang bule penuh empati.
Dhika menunduk dengan tujuan agar bule yang berperawakan tinggi itu tidak menanyainya lagi. Diam-diam ia menggumam merapalkan doa demi kesembuhan ummi. Ia mulai terisak.
“Ya Rahmaan, tolong sembuhkan ummi. Kasian ummi ya Allah.”
Tepat setelah Dhika berdoa, KA. Brantas dari arah Barat terdengar menderum dan jalan melambat. Dhika bergegas menuju konter pemeriksaan tiket bersama ratusan orang penumpang lainnya. Gerbong 5 yang berada di tengah, tak membuatnya kepayahan untuk berjalan terlalu jauh. Seorang petugas berseragam yang mengangkat tangga bantu, menyapanya dengan ramah.
“Silakan Dek.”
Dhika mengangguk kemudian naik dan mencari-cari tempat duduk 13E.
♥♥♥