Sinar itu kubenci, seakan mengejekku dengan mudahnya dan berhasil membuatku kecewa. Mau mati rasanya!! Harus berapa banyak lagi yang harus kuterima? Apakah ini karma. Sakit yang terlihat biasa yang perlahan membutakan. Apakah aku harus melihat mereka di puncak tertinggi sementara aku di dasar bawah, aku tak sanggup menerima semua buah bibir yang terus kudengar di depanku ketika aku berjalan pulang dari menatap senja.
Untuk kesekian kalinya ibu mengedor pintu kamarku hanya untuk membawakanku makanan karena aku tidak mau makan bersama setelah kejadian itu. Ibu terus berusaha mengajakku untuk berbicara. Mencoba menolongku keluar dari situasi yang kubenci ini. Lagi-lagi aku tidak peduli dan terus mengindar. Aku lebih menyukai keheningan dan meluapakan kekecewaan yang kurasakan dengan menyendiri di bilik ruangan ini. Berharap semua hanya sementara. Aku muak, aku benci, jika ada kalimat yang melebih dari makna kata benci itulah perasaan yang kini kurasakan. Kekecewaanku ini membunuh semua prestasi yang dulu pernah aku dapatkan.
Dua minggu aku hidup seperti ini, banyak jawaban yang kini kupikirkan yang semula kuyakini bahwa semua ini tidak adil, mengapa hidupku seperti ini. Hal ini seharusnya tidak menimpa diriku. Seharusnya sekarang aku sudah seperti mereka. Dengan apa yang sudah kuraih seharusnya aku dengan mudah mendapatkan universitas yang ku impikan. Tapi mengapa nasibku begini, aku gagal, yang semula ku yakini bahwa aku akan lolos seleksi karena aku menjawabnya dengan mudah. Semua soal-soal ujian terlalu mudah untuk kuselesaikan. Tapi kenapa aku gagal? Aku kembali menangis. Rasanya mata ini berteriak “saya tidak sanggup mengeluarkan air bening lagi”.
Malam itu aku mendengar ibu mengedor pintu kamarku lagi, tidak pernah terjadi sebelumnya. Aku membuka pintu dan membiarkan ibu masuk. Hatiku berubah saat aku merasa aku harus membiarkan ibu masuk.
“Ibu tidak tau apa yang dapat ibu katakan padamu. Sudah dua minggu ini kamu mengurung diri, ibu khawatir padamu.”
“Terlepas dari semua perkataan mereka, ibu tetap bangga padamu. Ibu mendukung keputusanmu selanjutnya. Jangan seperti ini, kelakuanmu ini hanya akan merugikanmu bukan mereka.” Ibu menyemangatiku.
Aku kembali merasa kecewa dan berkata dengan keras ”ibu, aku tidak bisa menerima bahwa aku tidak lulus seleksi, dan mengapa mereka bisa lulus. Apa yang kurang dariku, selama ini aku menjadi murid berprestasi, aku juara umum, aku yang mengajari teman-temanku untuk pelajaran yang sulit bagi mereka tapi mengapa aku tidak lulus. Ini tidak adil!”
Kali ini aku membiarkan ibu memelukku yang sebelumnya aku mengusirnya ketika ia mencoba mendekatiku. Aku menangis lagi. Ibu mengelus rambutku dengan lembut dan berkata “ ibu percaya kamu bisa lebih baik dari semua prestasi yang sudah kamu terima”. Aku hanya menangis
Tidak mudah bagiku. Setelah kejadian dengan ibu dimalam itu. Aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi .
Aku menghabiskan waktu memulihkan keadaanku dengan waktu lima bulan. Sampai akhirnya Aku mencoba tidak memikirkan kegagalan itu menghancurkan mimpiku, yang walaupun itu tidak pernah hilang dalam hidupku. Aku kembali berpikir, apakah aku harus membuat keputusan baru bahwa aku akan mencoba lagi di tahun depan? Aku tidak tau.
Ibu terimakasih.
Aku hanya dapat mengatakan ini dengan tulus untuk setiap kasih dan dukungannya.
Note:
Hidup tanpa titik, meskipun membenci waktu dan menyangkalinya..