♥ ♥ ♥
Bawahan yang ia kenakan masih sama dengan beberapa jam yang lalu pada pertunjukan kuda lumping, selembar kain batik yang didominasi warna putih. Wanita itu menghampiri Jumadi, duduk menjejeri pria pecandu rokok itu.
“Panjenengan ini yang namanya Rio? Teman sekuliahan Mas Jum ya?”
Rio mengangguk perlahan. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapa gerakan wanita ini? Apa kepentingannya hingga membaur duduk dengan kami?
“Dik Sumi, Rio ini sepertinya naksir sama salah satu lengger dukuh.” Begitu celetuk Jumadi dengan sengaja yang akhirnya membuat malu pemuda di seberang meja.
“Iyakah?” Tanya Suminah dengan wajah sumringah.
Rio bingung, lidahnya kelu. Ia tak tahu harus menjawab apa. “Emm. . .em. . .”
“Siapa namanya? Mungkin aku kenal, bisa jadi mak comblang nanti. Apa belum tahu namanya?”
Diberondong pertanyaan begitu, Rio semakin bingung. Ia tak enak hati dengan kawannya, Jumadi. Sebab lengger yang ia taksir tak lain adalah Mbak Sumi, istri Jumadi.
“Itu ada fotonya Dik. Tadi Rio sempat ke pelataran Mbah Sam, liat kuda lumping.”
“Mana Mas Rio, coba saya lihat.” Sembari menjulurkan tangan di atas meja.
Rio berkilah, buru-buru ia masukkan DSLR-nya. “Maaf Mbak, baterai sudah low.”
“Yaah….”
“Sorry ya.”
Rio menunduk, pura-pura membenahi peralatan fotografinya.
♥ ♥ ♥
Tepat pukul 21:00 ketika Rio tiba di pelataran rumah Mbah Sam, tempat di mana pertunjukan kuda lumping berlangsung. Ia ragu, namun tak ada pilihan untuk sampai ke ujung dukuh kecuali dengan melewati jalan itu. Kendang mulai ditabuh, pertanda sebentar lagi pertunjukan akan dimulai. Pria itu merapatkan retsleting jaketnya, mendekap kedua tangan di dada lantas berjalan pelan, menyusup melewati kerumunan para penonton yang sudah berjejer membentuk setengah lingkaran. Ia menoleh ke kiri, mencari-cari sosok wanita bersanggul rambut palsu, siapa lagi kalau bukan lengger tersohor Dukuh Royo, Suminah.
Hatinya sakit menerima kenyataan yang sama sekali tidak ia harapkan. Maka ketika ia melihat Suminah keluar dari dalam rumah Mbah Sam dengan ujung selendang merah diapit diantara jari, bibir perjaka itu bak berperekat. Ia sama sekali tak bisa mengucapkan sepatah kata pun ketika Suminah tersenyum padanya.
Rio cepat-cepat berjalan menuju ke depan sebuah warung kelontong di ujung dukuh, tanpa pamit dengan istri kawan lawasnya. Di sanalah ia memarkir mobil.
Saat suara lengger terdengar mendayu-dayu, Rio tengah sibuk dengan perasaannya. Entah dengan cara apa ia dapat mengobati luka hati yang terlalu cepat menghampiri. Ia gagal, tak hanya satu atau dua kali. Perihal asmara, ia memang bukan ahlinya.
Rio tak lekas menyalakan mesin mobil meski sudah sampai satu jam ia duduk di belakang kemudi. Pikirannya buncah. Ia sengaja menurunkan kaca mobil, ia biarkan wajah tampannya diterpa angin malam yang turun dari perbukitan. Ia pun tak peduli dengan suara bising knalpot sepeda motor milik seorang pemuda yang kebetulan lewat di depan mobilnya.
“Entahlah….” Gumamnya.
♥ ♥ ♥
Malam semakin larut, binatang-binatang malam pun mulai konser. Suaranya bersahutan, beradu dengan alunan musik tradisional yang lambat laun bertempo cepat pertanda para penari laki-laki, penunggang kuda lumping, tengah mendem alias kesurupan. Begitulah, pertunjukan kuda lumping tak akan lengkap jika tak ada penari yang kesurupan.
Mungkin hanya dengan malakoni rutinitasnya di kantor, Rio bisa mengalihakan sekaligus mengobati luka hatinya.
“Semoga, semoga saja….” Ucapnya lirih nyaris tak terdengar.
TAMAT