Orang-orang berkumpul di pelataran sebuah rumah berdinding setengah tembok. Anak-anak, remaja, dewasa bahkan lansia berbaur menjadi satu. Fokus mereka pada seorang perempuan bergincu merah hati yang sedang menari di tengah-tengah kerumunan penonton. Penari pada pertunjukan kuda lumping yang disebut lengger itu begitu lincah melenggak-lenggokkan tubuh. Tak seperti lengger lain yang duduk bersimpuh di belakang gamelan sambil bernyanyi, lengger berperawakan kecil itu tak banyak memakai make up. Bedaknya tipis dengan blush on merah jambu di kedua pelipis. Ia pun tak menyambung bulu mata juga tak melukis alisnya dengan pensil alis warna hitam atau coklat. Namu begitu, rupanya sangat menawan.
“Cantik sekali Mas, apa mungkin ia titisan Dewi Citrawati?” Celetuk seorang pemuda berjaket kulit imitasi.
Orang di depannya menoleh. Ia mendongakkan kepala begitu mengetahui pemuda berhidung mancung, berdagu kempot dan beralis tebal yang lebih tinggi dari perawakan dirinya, terlalu hiperbola manyamakan rupa lengger Dukuh Royo dengan istri Raja Maespati yang konon sangat cantik.
“Banyak laki-laki mendambakan lengger itu. Panjenengan datang dari jauh?”
Rio mengangguk.
“Sepertinya panjenengan ini orang kota. Harum sekali parfumnya.” Sambil menghirup udara dalam-dalam persis di depan dada bidang pria itu.
Menyadari hal tersebut, Rio cepat-cepat menjauhkan badan condong ke belakang sebelum akhirnya berkata, “Tak hanya wanita yang harus pandai besolek, laki-laki pun wajib menjaga aroma badan.”
“Aih, parfum bagi kami hanyalah milik para juragan. Bukan orang-orang seperti saya ini yang setiap hari mandi keringat di bawah terik.”
“Sesekali boleh lah Mas pakai parfum.” Sambil menepuk-nepuk pundak lawan bicaranya lantas kemudian meninggalkan pria itu.
Rio menghampiri seorang penabuh kendang. Tanpa permisi, ia jejeri pria berbaju lurik itu lantas menjunjung DSLR-nya tepat sejajar dengan mata. Ia intip objek sasarannya malalui view finder sambil mengatur fokus lensa sebelum akhirnya ia pencet tombol shutter.
Cekreekk….
Cekreekk….
Cekreekk….
“Perfect.” Katanya kemudian seraya mengamati tangkapan foto pada layar LCD. Rio puas. Setidaknya ia sudah mengantongi foto lengger tersohor itu.
♥ ♥ ♥
Kepulan asap rokok memenuhi seisi ruangan, bau menyan pun begitu menusuk hidung. Jika tidak ada maksud terselubung, Rio enggan berlama-lama duduk di ruangan seukuran 3×4 m itu. Ruangan yang sama dengan beberapa hari lalu. Ruangan yang menjadi saksi atas perselisihannya dengan Jumadi.
“Ya, dia wanita cantik yang sangat menarik. Dulu, banyak sekali kaum adam yang mendambakan dirinya.” Ucap Jumadi datar. Ia bertanya-tanya dalam hati tanpa mau mengungkapkan keingintahuannya.
“Dulu?”
Jumadi mengangguk tanpa mengatakan yang sejujurnya. Ia tahu persis siapa lengger dalam layar LCD itu. Ia sudah kenal dengan wanita pemilik rambut panjang sepinggang, bahkan masa kecilnya ia habiskan untuk mengagumi wanita tersebut. Dengan lengger itulah ia haturkan cinta pertamanya, cinta monyet.
“Cantik sekali perempuan ini. Benar ya Jum jika gadis desa cantik-cantik. Wajahnya natural, tak seperti wanita kota kebanyakan yang kecantikannya sebab polesan bedak tebal.”
“Jangan menyamaratakan. Tak semua wanita mau didandani. Termasuk tak semua laki-laki nyaman memakai jaket tebal berbahan dasar kulit imitasi di dalam ruangan. Panas.” Celetuk Sijum sambil mengibas-ibaskan telapak tangan kanannya.
Merasa disindir, Rio buru-buru melepas jaketnya, meletakkannya di pegangan kursi. Ia mulai tak nyaman.
“Kau masih suka shopping barang-barang murah.”
“Yang penting tidak murahan Jum. Barang luar bagus-bagus.”
“Modelnya saja.”
“Karena kita harus modis.”
“Percuma.”
“Kenapa? Tak selamanya aku beli barang murah. Makanan contohnya, mana berani aku beli yang murahan, apalagi yang import tapi di bawah harga lokal, pasti banyak pengawetnya.”
“Masih suka makan makanan yang berkelas?”
“Ya sekali-kali tak apalah Jum. Hitung-hitung untuk upload di sosmed. Kekinian, jangan sampai kita ini ketinggalan jaman.”
“Zaman yang seperti apa Rio? Zamanmu yang sekarang memang berbeda dengan yang dulu. Kau tahu Rio? Usiamu menunjukkan bahwa kau sudah lebih matang, pun dalam hal pemikiran. Harusnya kau bisa lebih bijak menyikapi hidup, bisa memilah mana yang perlu mana yang tidak perlu, contohlah sikap padi.”
“Ya, hari ini pak petani sedang memberikan petuah-petuahnya.” Kata Rio asal ceplos.
“Kau pikir aku sedang memberimu kuliah?”
“Jum, sejatinya kau sedang bunuh diri.” Komentar Rio sambil terbatuk. Ia mengalihkan pembicaraan. Kali ini ia tak ingin berdebat sebab kedatangannya bukan untuk itu melainkan untuk menanyakan perihal lengger dukuh. “Rokok itu sama sekali tak ada manfaatnya Jum.”
“Heehh….” Tanpa menjawab, Sijum justru membulatkan bibirnya, mengembuskan asap rokok tinggi-tinggi hingga terbentuk kepulan menyerupai donat.
“Kau tak sadar Rio? Ada yang memanggil.” Sembari beranjak dari duduk, Jumadi mendekati Rio. Telunjuknya ia arahkan ke dada kawannya, matanya melotot setajam mata elang.
“Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, nasionalisme dalam jiwamu sudah kabur. Kabuuur dan kabuur!” Sijum meninggikan nada suaranya. Kini ia beringsut mundur dan tangannya mulai menyibak angin. Ia seperti orang yang sedang mengikuti perlombaan baca puisi, mimik wajahnya begitu ekspesif.
“Suguhan benda-benda penuh warna membuat matamu berkilauan.”
“Demi menghemat budget kau tinggalkan produk lokal.”
“Kau borong produk-produk luar negeri yang jauh di bawah standar.”
“Juga murah meriah.”
“Lagi-lagi faktor finansial kau jadikan kambing hitam.”
Jumadi menghentikan kicauannya lalu beberapa detik kemudian ia terbahak sambil memegangi perut.
“Ada juga barang branded yang dibandrol puluhan juta.”
Jumadi kembali mendekati Rio yang hanya diam memperhatikan tingkah kawannya. “Kau bilang, ini soal gengsi!”
Rio tersinggung. Nafasnya sesak tak hanya karena asap rokok yang semakin menyebar dan menebal. Namun juga karena sindiran penyair amatiran itu lah yang membuat nyalinya menciut.
“Kini, doktrin untuk cinta tanah air hanya sebatas slogan.”
Jumadi kembali terbahak. Keringatnya menetes dari dahinya yang bergelombang. “Sindiran beragam manisfestasi nasionalisme bermunculan.”
“Aku pun tersentak, seakan bangkit dari segala ketepurukan tak berdasar.”
“Tidak!”
“Bukan kita!”
“Kita hanya mahasiswa penegak semboyan cintailah produk-produk dalam negeri.”
“Bukan kita yang tak acuh dengan problematika bangsa.”
“Bukan, bukan kita….”
Jumadi kembali duduk. Ia ambil nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya seketika. Ia rebahkan punggung badannya yang mengilat karena keringat pada sandaran kursi kayu. Lalu katanya, “Kau masih ingat puisi itu?”
Rio tak menjawab. Matanya semakin jalang menatap ke arah Jumadi. Wajahnya memerah.
“Aku bacakan di depan mahasiswa klub pers dan jurnalistik. Ingat?” Jumadi mengulang tanyanya.
“Aku sengaja menyindirmu. Karena kau kelewatan Rio! Kau tuduh aku macam-macam, padahal kau tak tahu seluk beluk kenapa aku tak senecis penampilanmu.”
“Maksudmu?” Rio mulai tertarik dengan topik pembicaraan.
“Kau lihat di dukuhku, anak-anak di bawah umur sudah dibebankan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Beberapa diwajibkan mencari nafkah di kebun. Ada yang memungut cengkih, ada yang memetik cabai, ada yang menunggu jemuran padi, ada yang kerja di tempat penggilingan padi. Banyak, banyak profesi yang mereka jalani.”
“Aku tak paham.”
“Karena kau tak acuh dengan problematika masyarakat pedukuhan. Yang kau pahami hanya persoalan politik yang ditayangkan hampir dua puluh empat jam non stop di televisi, di media masa cetak maupun elektronik. Lalu dengan bahasa ala kaum intelek, kau komentari semua berita tanpa kau bubuhi solusi.”
Diam. Tak ada yang berkata-kata lagi selama lima menitan, hanya mata-mata mereka yg saling tatap.
“Jum, maafkan aku soal tuduhanku itu. Tapi aku benar-benar tak tahu profesimu saat ini.”
“Mas Jum itu aktivis desa. Bulan depan, ia hendak maju dalam pemilihan lurah.”
Suara seorang wanita berkaos jingga itu mengagetkan Rio, terlebih ketika ia melihat paras si pemilik suara merdu itu.
Bersambung. . . . .