Namanya Jumadi, namun orang-orang di sekitar tempat tinggalnya memanggil pria berperawakan gempal, berkulit legam dan berambut keriting itu dengan panggilan Sijum. Hal yang lumrah dan seperti sudah mengakar jika seorang anak terlahir hidup, maka penambahan awalan si- wajib diberikan di depan nama panggilan sang anak. Dukuh Royo, sebuah dukuh yang letaknya berpuluh-puluh kilometer dari kota kabupaten, merupakan perkampungan penduduk yang hampir seratus persen berprofesi sebagai petani.
Sijum duduk di sebuah bangku panjang yang dudukannya dialasi tikar anyaman mendong. Kaki kanannya ia angkat, ia tekuk lalu ia tumpukan di tepian kursi. Di seberang meja, seorang laki-laki berhidung mancung tengah menatapnya tanpa kedip. Laki-laki yang dandanannya necis itu seolah tak percaya bahwa kawan lawasnya kini sudah berubah, sudah tidak setampan masa lalu. Bahkan terkesan apa adanya, tak sudi lagi merawat diri. Sekarang pakaiannya tidak lebih dari sekadar celana pendek dan kaos dalam yang kusam.
“Jum, betah di sini?” selidik Rio.
Yang ditanya tak menyahut. Sijum justru meraih platik transparan berisi kertas sigaret, tembakau batangan, menyan dan korek api. Ia mulai menyobek selembar ketas sigaret, meletakkannya di atas meja lalu membubuhkan remahan tembakau dan sedikit menyan.
“Jum!”
“Kau tak liat aku ini sudah dua tahun tinggal di sini, sepulang dari rantau aku tak pernah hengkang lagi dari sini.” Jawab Sijum dengan nada kesal.
Rio mendesah sebelum akhirnya meralat pertanyaannya. “Maksudku kau betah hidup dengan kondisi seperti ini? Urakan, tak rapi, malah sekarang kau seperti orang yang tak pernah kenal bangku sekolah.”
“Heehh….” Lagi-lagi Sijum tak segera menjawab. Ia hanya nyengir. Memperlihatkan gigi-gigi gingsulnya yang kini kekuningan.
Mungkin sebab pengaruh nikotin dari setiap batang rokok yang ia hirup. Begitu pikir Rio.
“Jum, jangan diam saja!”
Sijum tak acuh. Ia semakin asyik melinting kertas sigaret, memelintirnya dengan kedua telapak tangan lalu mengapitnya dengan bibir, bersiap hendak menyulut rokok racikannya.
Rio gemas, amarahnya menjadi. Ia berdiri lalu merebut paksa rokok kawannya. Ia tak peduli, membuang keluar rokok sepanjang jari jelunjuk itu lewat celah kisi-kisi jendela.
“Kau dulu pernah bilang bahwa sekali pun kau tak akan pernah diam. Saat lidah mulai lihai membeberkan aib, maka benar kata pepatah bahwa diam adalah emas, diam lebih baik. Tapi ketika problematika hidup sudah tidak bisa dipecahkan dengan diam, maka cara paling ampuh untuk merekonsiliasi keadaan adalah dengan membuka mulut, bersuara. Itu katamu dulu Jum!”
Lawan bicaranya tak lantas menyahut. Ia masih bergeming. Rio tak sabar, nafasnya turun naik begitu cepat. Lalu katanya, “Aku dulu mengagumimu Jum. Menyanjungmu di setiap pertemuanku dengan para mahasiswa di luar kampus. Kau begitu berwibawa, tak pernah sekali pun kudengar keluhanmu, tak pernah sekali pun kau kecilkan nyaliku saat aku jelas-jelas tak patut diunggulkan. Oh, ternyata diriku sekarang tak sekadar berbicara dengan patung, heeeh.”
Rio mengambil nafas. Jantungnya berdetak kencang dan dadanya sesak seperti terhimpit bebatuan Kali Serayu.
“Aku tahu siapa sosok penunggang kuda di gapura masuk kampus. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Diponegoro. Tapi aku tak mengenal patung hidup di depan sepasang mataku ini!”
♥♥♥
“Dia pria yang bersepatu kinclong, berdasi dan memakai ikat pinggang.”
“Sedangkan diriku?”
“Heh.”
“Aku ini bukan siapa-siapa, kecuali hanya seorang mantan mahasiswa.”
“Benar, memang benar, aku tak mengenal hedonisme kehidupan perkotaan.”
“Tak pernah turut serta rombongan demonstran.”
“Karena aku tak mengerti soal politik, apalagi geliat para pemangku kekuasaan.”
Jumadi berdiri dari duduknya. Ia tinggalkan teras depan rumah yang penuh dengan kotoran ayam. Ia edarkan pandangannya ke puncak Gunung Sumbing. Tapi sayang, gunung itu tak menyuguhkan panorama baret raksasa. Tak seperti saudara kembarnya, Gunung Sindoro, yang kerap memanjakan mata dengan tumpukan awan lenticular.
“Mas!”
Jumadi tak menyadari jika sejak tadi, istrinya, Suminah, dengan khidmat memperhatikan tindak tanduk sang suami. Maka ketika ia bicara, Jumadi pun terkejut sambil berkali-kali menepuk dada kirinya.
“Ada masalah?”
Jumadi menggeleng. “Bukan masalah. Hanya sedikit salah paham.”
“Tentang?”
Rupanya istri Jumadi tak tahu menahu masalah suaminya sebab tempo hari ketika Rio bertandang, ia sudah pergi ke dukuh tetangga untuk mengajar.
“Rio datang kira-kira setengah jam setelah Dik Sumi berangkat. Ia tak terima begitu melihat penampilanku. Ia pikir, aku ini pengangguran.” Jumadi mengajak istrinya masuk.
“Kalau kukatakan bahwa diriku ini hanyalah petani, kupastikan dia mencak-mencak karena jejakku tak serupa dengannya, tak linier dengan riwayat pendidikanku. Kubiarkan saja dia pergi dengan amarah yang masih bertengger di ubun-ubunnya.”
“Mas tidak menahannya?”
“Biarlah. Lagi pula untuk apa?”
Bersambung…