“Guna mencapai sasaran tersebut, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang perkakaoan,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada peresmian Pusat Pengembangan Kompetensi Industri Pengolahan Kakao Terpadu (PPKIPKT) di Batang, Jawa Tengah, Senin (11/2).
Menperin menjelaskan, pendirian PPKIPKT menjadi wujud nyata dari implementasi amanat Presiden Joko Widodo yang menginginkan perguruan tinggi dapat mendukung dan terlibat langsung dalam aktivitas industrialisasi. “Upaya ini sebagai pengantar agar bangsa Indonesia siap memasuki era industri 4.0,” tegasnya.
PPKIPKT merupakan pabrik pengolahan kakao pertama di Indonesia yang terintegrasi dengan kebun kakao dan sekaligus menjadi pusat pengembangan SDM di bidang kakao. Fasilitas ini mulai dibangun sejak tahun 2017 melalui kerja sama antara Kementerian Perindustrian dengan Pemerintah Kabupaten Batang dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Ini menjadi sarana dan prasarana yang kita harapkan dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat baik melalui penciptaan wirausaha baru maupun menyediakan SDM yang siap bekerja di bidang industri pengolahan kakao,” paparnya.
Airlangga menambahkan, berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, Kemenperin menetapkan industri makanan dan minuman menjadi salah satu sektor unggulan dalam penerapan digitalisasi. “Sektor makanan dan minuman itu termasuk di dalamnya adalah industri pengolahan kakao atau cokelat,” terangnya.
Menperin optimistis, produk kakao olahan dari dalam negeri dapat diminati pasar global. Apalagi seiring perkembangan zaman, cokelat sudah menjadi kebutuhan gaya hidup masyarakat. “Di Eropa misalnya, ketika minum kopi, lebih afdol sambil makan cokelat,” ucapnya.
Untuk itu, perlu didorong peningkatan utilitas industri pengolahan kakao. “Kami mengapresiasi di cacao teaching industryini, mesin-mesin pengolahannya sudah menggunakan 90 persen komponen dari dalam negeri,” ujarnya.
PPKIPKT diresmikan langsung oleh Menperin bersama Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, Bupati Batang Wihaji, serta Rektor UGM Panut Mulyono. Turut hadir Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Dito Ganinduto, Anggota Komisi X DPR RI Marlinda Irwanti, dan Direktur Utama PT Pagilaran Rahmat Gunadi.
Selanjutnya, Plt. Dirjen Industri Agro Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono, Sekjen Kemenperin Haris Munandar, Irjen Kemenperin Setyo Wasisto, serta Staf Ahli Menteri Bidang Iklim Usaha dan Investasi Imam Haryono.
Lokasi PPKIPKT berada di Desa Wonokerso, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang mempunyai area pabrik seluas 9.000 m2 dengan terdiri dari bangunan seluas 2.590m2. Fasilitas ini dilengkapi mesin dan peralatan industri pengolahan kakao berkapasitas 6.000 ton per tahun dengan nilai investasi sebesar Rp89,9 miliar.
Menurut Airlangga, PPKIPKT akan dihibahkan kepada UGM untuk pengembangan SDM, kemudian kegiatan penelitian dan pendidikan bidang kakao bakal dioperasikan oleh PT. Pagilaran sebagai unit usaha milik UGM. “Kami berharap kepada PT. Pagilaran agar lebih aktif menjalin kemitraan dengan petani kakao,” tuturnya.
Kemudian, Kemenperin berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian guna menggenjot produksi kakao, baik melalui program ekstensifikasi, intesifikasi maupun rehabilitasi. Hal ini sejalan upaya Kemenperin untuk mendongkrak utilitas sektor industri pengolahan kakao yang saat ini kapasitas produksinya mencapai 747 ribu ton per tahun.
Manfaat dan apresiasi
Wihaji menyampaikan, salah satu manfaat pembangunan fasilitas ini adalah penumbuhan wirausaha baru di wilayah Jawa Tengah. Misalnya, pelaku industri kecil dan menengah (IKM) produk makanan dan minuman berbasis cokelat.
“Produk–produk olahan makanan dan minuman khas daerah Batang dan Jawa Tengah dapat dikombinasikan dengan produk kakao atau cokelat hasil PPKIPKT sehingga mampu menjadi produk unggulan,” ujarnya.
Di samping itu, melalui beroperasinya PPKIPKT, masyarakat dapat belajar mengolah cokelat secara langsung dengan adanya fasilitas kelas dan pengolahan cokelat skala mini di laboratoriumyang telah disediakan.
“Saat ini, kita mengalami revolusi industri 4.0, tentu kekuatan sistem dan teknologi terkini berpengaruh banyak hal. Tetapi bukan berarti melupakan pekerja. Untuk itu, melalui teaching industry ini masyarakat Batang dididik dan dilatih sesuai visi Pembak untuk menciptakan 1000 wirausaha baru serta membangun kampung cokelat,” paparnya.
Panut mengemukakan, pihaknya merasa bangga atas terjalinnya sinergi dalam muwujudkan karya nyata bagi bangsa Indonesia berupa pusat pengembangan idustri kakao di Batang. Ini sekaligus merespons kebutuhan industri 4.0. “Langkah awal ini, tidak lepas dari gerakan moral untuk membangkitkan kembali semangat industrialisasi khususnya di bidang agro,” jelasnya.
UGM telah membina petani kakao sejak tahun 1983 yang tersebar di beberapa daerah seperti Batang, Pemalang, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Madiun, Kulon Progo dan Gunung Kidul dengan luas area sekitar 9.000 hektare dengan konsep Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
Menurut Panut, fasilitas ini diharapkan menjadi rujukan industri kakao nasional. Dengan misi integrasi hulu-hilir tersebut, fasilitas ini menerapkan prinsip-prinsip pengolahan kakao yang berkualitas dengan melibatkan petani kakao dalam mengolah biji kakao sesuai standar SNI, dan proses pengolahan dengan produk liquor, cake, butter dan powder sesuai tuntutan kualitas pasar.
“PPKIPKT ini juga mendorong wilayah hulu, yakni lebih menguatkan kemitraan PT. Pagilaran dengan petani kakao yang sudah terbentuk selama 2-3 dasawarsa terakhir. Kerja sama ini, termasuk dengan petani kakao baru, sedang diusahakan dalam format baru berupa Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) dalam rangka mendukung kebangkitan kakao nasional,” paparnya.
Menteri Nasir menyampaikan, pihaknya menyambut baik peran PT Pagilaran dalam penguatan proses pembelajaran melalui teaching industry sektor pengolahan kakao. Ini diharapkan menjadi model pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi – UGM dalam membangun kapasitas dan kompetensi SDM yang memiliki daya saing di bidang perkebunan dan pengolahan komoditas.
“Melalui pengembangan industri kakao ini, kami akan mendorong peningkatan riset dalam upaya menciptakan bibit yang unggul sehingga produk yang akan dihasilkan lebih berkualitas,” tuturnya.
Produk kompetitif
Pada kesempatan yang sama, Menperin mengaku optimistis, industri pengolahan kakao di dalam negeri mampu menghasilkan produk yang kompetitif di pasar domestik hingga ekspor. Apalagi, didukung Indonesia sebagai negara penghasil kakao terbesar ketigadi dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
“Sebanyak 81 persen produk yang dihasilkan industri olahan kakao di dalam negeri, telahdiekspor ke berbagai negara berupa produk cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter dan cocoa powder,” ungkapnya.
Ssepanjang tahun 2018, ekspor produk cocoa butter dan cocoa powder, masing-masing mengalami peningkatan sebesar 14,13 persen dan 12,28 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2017. Neraca perdagangan produk kakao olahan masih surplus di tahun 2018, dengan total nilai ekspor menembus angka USD1,12 miliar.
Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, serta kebutuhan untuk kosmetik dan farmasi.
Produk cocoa butter Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dari negara produsen Afrika, yaitu tingkat Free Fatty Acid (FFA) pada cocoa butter yang rendah dan melting point yang tinggi.Hal ini membuat cocoa butter Indonesia lebih berdaya saing dibanding negara lain, khususnya sebagai kebutuhan di sektor industri kosmetik dan farmasi.
Indonesia menempati posisi sebagai eksportir cocoa butter terbesar keduadunia dengan share ke pasar global sebesar 13,43 persen,setelahnegara Belanda yang mempunyai share hingga 26,42 persen. Saat ini, Kemenperin memacu shareproduk cocoa powder Indonesia ke pasar global, agar lebih kompetitif dibanding Belanda, Malaysia dan Jerman. Apalagi ketiganegara tersebut, bukan produsen kakao. Hal ini yang menjadi peluang bagi Indonesia.
Di samping itu, Kemenperin telah mengusulkan tarif bea keluar untuk biji kakao menjadi flat 15 persen guna memberikan jaminan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kakao nasional. Saat ini pajak ekspor yang diterapkan terhadap komoditi tersebut bersifat progresif sekitar 0-15 persen tergantung harga biji kakao dunia.
“Kami juga berharap, dengan tarif flat dapat menjaga keseimbangan antara pajak yang dikenakan atas transaksi lokal maupun ekspor. Usulan ini akan kami bahas dengan Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Airlangga menambahkan, pihaknya telah memfasilitasi pembentukan unit-unit pengolahan industri kakao yang dapat menumbuhkan wirausaha baru skala kecil dan menengah. Selain itu, pelaksanaan program bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao.
Industri pengolahan kakao mempunyai peranan penting dalam peningkatan perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, yang menyebutkan bahwa industri pengolahan kakao termasuk salah satu sektor prioritas yang harus dikembangkan.