Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Dua tahun terakhir, saya terus-menerus berkeliling bersama rakyat di akar rumput. Berdialog dengan guru, petani, pedagang, politisi, sopir angkot, nelayan, sopir on line, sopir truk, karyawan pabrik, pegawai perkebunan, dan lain sebagainya. Saya memang senang sekali ingin tahu kondisi orang lain dalam rangka panggilan hidup yaitu berkontribusi dalam mewujudkan distribusi keadilan.
Salah satu yang menjadi fokus pikiran/perhatian dan pergumulan batin saya adalah petani. Mengapa petani? Saya itu memiliki orang tua petani. Ayah dan ibu saya buta huruf. Saya anak ke 12 dari 12 bersaudara. Karena anak petani, saya merasakan kesulitan dan nikmatnya menjadi petani.
Sejak saya SMP di SMP Negeri Siraituruk, saya bertanya: “mMngapa petani itu miskin?”, “Mengapa pedagang lebih banyak uang?”
Ada yang menuding petani itu malas. Kata mereka para laki-laki banyak minum tuak di lapo (kedai), sehingga miskin. Mengapa ada yang malas? Andaikan hasil pertanian menghasilkan uang, apakah mereka malas? Mengapa ada yang malas dan lesu?
Pada dasarnya mereka tidak malas. Andaikan ada yang merangsang seperti harga pertanian yang stabil apakah mereka malas? Saya pastikan tidak. Mereka ada yang malas karena ketidak pastian dan mereka tidak mendapat pembinaan yang serius.
Jadi, persoalan utama petani adalah kepastian. Kepastian harga dan hampir tidak ada distribusi keadilan bagi petani. Ada semacam persepsi bahwa petani itu wajar miskin. Petani sudah diidentikkan miskin. Makanya, anak petani ada yang minder dalam pergaulan. Padahal, anak petani patut paling bangga karena paling jauh dari kehidupan korupsi yang menjadi musuh utama bangsa kita tercinta ini. Petani tidak korupsi, tetapi korban koruptor, dan sistem tata niaga yang dipermainkan para penjahat.
Solusi
Baru-baru ini saya berkeliling Tobasa. Saya berjalan ke Ajibata, Sionggang, Jangga, Lumban Julu, Binagalom, Lumban Huala, Lumban Gurning, Lumban Sitorus, Jonggi Manulus, Sosor Ladang, Pintu Pohan Meranti, Pardinggaran, Sihiong, Nalela, Amborgang, Sampuara, Parik, Sampuara, Panamean, Siregar, Marom, Sigaol, Janji Matogu, Lumban Nabolon, Sihubak-hubak, Habornas, Balige, Laguboti, dan hampir semua ke sudut desa saya jalani.
Isu utama paling menyedihkan adalah petani jagung gagal panen. Masyarakat menerima bibit jagung yang salah. Masyarakat menjerit karena bibit jagung itu. Mereka gagal panen. Saya dan teman-teman di Forum Pemuda Tobasa menyerukan agar Bupati Tobasa bertanggung jawab. Menurut Alex Siagian, seorang wartawan mengatakan Bupati Tobasa pernah mengatakan bahwa Bupati bertanggung jawab atas kasus itu.
Ketika isu ini dimunculkan terus, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, apalagi DPRD Kabupaten dimana? Diam semua. Padahal, tugas merekalah untuk memperjuangkan itu. Apakah kita masih mau seperti kasus bibit jagung yang salah? Bagaimana mungkin pemerintah salah memberikan bibit jagung? Ini teramat sangat keterlaluan. Dan, semua diam?
Tahukah kita bahwa ketika petani salah bibit maka mereka telah menghabiskan uang untuk traktor atau mencangkul lahan, biaya pupuk, perawatan dan berbagai biaya untuk kebutuhan pertumbuhan jagung?
Ketika gagal panen, bagaimana mencari biaya berikutnya? Sebab petani itu, hasil panen itulah untuk biaya traktor/mencangkul siklus berikutnya.
Kasus bibit jagung ini adalah fakta yang representatif (mewakili) cara penanganan kehidupan petani. Petani itu dibiarkan saja bahkan “dibunuh” oleh kebijakan pemerintah.
Lalu, dimana fungsi kontrol anggota dewan? Dewan sibuk dengan menaikkan angka rekening pribadinya? Sibuk mencari proyek biaya kampanye berikutnya?
Dalam konteks kesulitan semamacam ini, jalan keluar bagi petani adalah satukan langkah untuk bersikap. Sikap yang pas adalah satukan suara kepada partai yang kebijakannya serius untuk rakyat. Partai yang bebas korupsi dan memeras kadernya untuk kepentingan sesaat. Kemudian, satukan langkah untuk memilih Calon Llgislatif yang daya tawarnya kuat di partainya. Dengan demikian, wakil kita kuat memperjuangkan permasalahan kita.
Selama ini petani terpecah-pecah seperti buruh. Akibatnya, tidak satu kekuatan untuk memperjuangkan masalah petani.
Karena itu, saatnya petani satukan langkah untuk memberikan suaramu di Pemilu 2019. Saatnya petani sadar peran politik yang memahami persoalan petani. Pesimisme politik petani selama ini mengakibatkan persoalan tidak pernah tuntas. Karena, tidak membangun satu kekuatan dan wakilmu politisi sontoloyo seperti yang dikatakan Jokowi.
#gurmanpunyacerita.