Tak heran jika akhirnya sistem transportasi di DKI Jakarta terasa mahal dan tidak terkoneksi dengan baik. Dominasi kendaraan pribadi, minimnya jaminan keselamatan di jalan raya, mencerminkan buruknya pengelolaan transportasi di ibu kota. Masyarakat dipaksa menempuh perjalanan berjam-jam hanya karena macet. Tom Tom Traffic Index menyebutkan bahwa kemacetan paling parah di DKI Jakarta terjadi pada beberapa waktu diantaranya pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 serta sore hari pukul 17.00-18.00. Setiap hari Senin, kemacetan di DKI Jakarta juga bertambah hingga 68%, sementara Jumat menjadi hari paling lengang di pagi hari. Kamis sore menjadi hari paling macet di DKI Jakarta dengan penambahan waktu tempuh hingga 98% dibandingkan hari-hari lainnya.
Masih berdasarkan rilis yang sama, DKI Jakarta kemudian dinobatkan menjadi kota termacet ketiga di dunia, setelah Mexico City dan Bangkok. Kecepatan rata-rata melintas hanya mencapai 20 km/jam, dengan peningkatan paling optimal sekitar 23 km/jam. Hasil ini selaras jika disamakan dengan data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang mencatat kecepatan rata-rata lalu-lintas 20-21 km/jam, dengan waktu berhenti sekitar 60% dibandingkan waktu bergerak 40%. Sumber kemacetan lainnya adalah proporsi yang tidak berimbang antara pertumbuhan kendaraan bermotor dengan pertumbuhan jalan. Menurut data Polda Metro Jaya, pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta setiap harinya mencapai 1,130 unit. Jumlah kendaraan bermotor yang melintas di Jakarta mencapai 11.362.396 unit dengan 98% kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum.
Pertumbuhan jalan setiap tahunnya kurang dari 1%, dengan luas lahan untuk infrastruktur jalan 5,5% dari luas kota. Padahal berdasarkan referensi, suatu kota yang ingin menyediakan transportasi yang lancar minimal wajib menyediakan lahan 15-20% di Eropa, 30% di AS, serta 10% di negara-negara berkembang. Karenanya pemerintah perlu segera memikirkan kebijakan yang diharapkan dapat mengurangi problematika kemacetan di DKI Jakarta. Kebijakan tersebut harus bersifat lintas kewenangan, baik Pemerintah Pusat maupun Pemda DKI Jakarta.
Pilihan kebijakan pemerintah dapat bersifat fiskal atau non-fiskal. Untuk kebijakan fiskal, pasti terkait pengenaan berbagai pajak kendaraan bermotor, pajak parkir serta penerapan Electronic Road Pricing (ERP). Sedangkan kebijakan non-fiskal meliputi peraturan batas umur kendaraan, penomoran ganjil genap serta perbaikan manajemen transportasi. Pemerintah sudah menerapkan kebijakan fiskal pengelolaan transportasi darat. Dalam revisi Undang-undang Pajak dan Retribusi Daerah pun Pemerintah sudah mengupayakan pengurangan kepemilikan kendaraan bermotor, misalnya melalui tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) progresif, serta tarif mahal untuk pajak parkir resmi.
Sayangnya kebijakan tersebut dirasakan belum mampu mengurangi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor di Jakarta. Di tengah semangat perbaikan, tiba-tiba juga muncul peraturan terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang membolehkan uang muka 0% untuk kredit kendaraan bermotor dari multifinance dengan rasio kredit bermasalah di bawah 1%. Regulasi ini di mata penulis, justru berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi reformasi pengelolaan transportasi publik di DKI Jakarta karena dianggap memberikan kemudahan masyarakat dalam kepemilikan kendaraan pribadi.
Cukai kendaraan bermotor
Untuk itulah sekiranya diperlukan adanya sebuah perimbangan instrumen baru sebagai bentuk affirmasi bagi reformasi pengelolaan transportasi publik melalui pengenaan cukai kendaraan bermotor. By definisi, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Akibatnya konsumsi serta peredarannya perlu diawasi oleh pemerintah. Barang-barang yang dikategorikan kena cukai antara lain etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, serta berbagai hasil tembakau baik sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan lainnya. Penambahan atau pengurangan kategori barang kena cukai ini nantinya dimungkinkan, dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Dasar pemungutan cukai adalah jumlah produksi dari barang kena cukai, dan harus dilunasi pada saat pengeluaran dari pabrik atau tempat penyimpanan. Jadi pengenaan cukai ini diletakkan di hulu dan konsumen langsung membayar cukai di depan. Hal ini yang akan membedakan cukai dengan pajak, meskipun secara maksud dan tujuan ada kesamaan antara keduanya. Di dalam Undang-undang, pemerintah juga punya kewenangan menambah atau mengurangi jenis barang yang masuk kriteria barang kena cukai .
Dengan pengenaan cukai kendaraan bermotor, nantinya tidak akan menghilangkan kewajiban berbagai jenis pajak kendaraan, namun ada sedikit penyesuaian di dalam sistem penghitungan. Dasar pengenaan cukai berdasar jumlah produksi kendaraan, sedangkan pengenaan pajak atas besaran cukai kendaraan. Cukai kendaraan akan dibayar dimuka, sehingga ketika membeli konsumen akan langsung membayar cukai kendaran include di dalam harga jual kendaraan. Sedangkan pembayaran pajak akan tetap menggunakan mekanisme yang berlaku, namun dasar pengenaan terhadap besaran cukai kendaraan bermotor.
Pihak yang memungut cukai kendaraan ini nantinya pemerintah pusat, langsung dibagikan kepada pemda, sesuai jumlah kendaraan yang melintas di wilayahnya. Pemungutan cukai kendaraan bermotor juga tak lupa akan di ear marking langsung untuk pembangunan infrastruktur jalan, pemeliharaan jalan, infrastruktur transportasi umum serta upaya perbaikan kualitas udara yang tercemar. Pemda yang tidak menaati aturan penggunaan dapat dikenakan sanksi dan hukuman, misalnya tidak mendapatkan alokasi dana untuk periode selanjutnya.
Demi tujuan perbaikan bersama Jakarta yang kita cintai, rumusan di atas tentu bukan hal mutlak yang tidak dapat diperdebatkan. Justru berbagai masukan yang konstruktif sangat dibutuhkan. Namun semuanya harus bermuara pada satu tujuan bersama menciptakan transportasi Jakarta yang bersahabat dan bermartabat.
Oleh Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja