Dahsyatnya perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, membuat kita luput memperhatikan. Bila ternyata Indonesia pun saat ini sedang menuju perang dagang dengan Uni Eropa.
Indonesia yang merupakan produsen utama minyak nabati paling banyak digunakan di dunia. Saat ini sedang berupaya menaikkan tarif impor produk susu Uni Eropa menjadi 8 persen hingga 18 persen, menurut Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan Indonesia.
Aksi menaikkan tarif Itu merupakan pembalasan terhadap rencana Uni Eropa mengenakan bea anti-subsidi dengan tarif yang sama pada biodiesel kelapa sawit Indonesia.
“Uni Eropa dapat memberlakukan sesuatu pada kami selama parameternya adil, tetapi jika parameternya tidak adil, maka itu adalah tindakan proteksionisme dan perang dagang,” kata Lukita kepada para wartawan di Jakarta, pada Jumat 9 Agustus 2019.
“Kita tidak bisa diam ketika ada ketidakadilan.” Lanjutnya.
Perseteruan atas minyak kelapa sawit antara kedua mitra dagang itu sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun silam dan terus meningkat terutama sejak awal tahun ini. Ketika Komisi Eropa memutuskan untuk menetapkan batasan yang lebih ketat pada penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar nabati mulai bulan Juni karena kekhawatiran atas deforestasi (penggundulan hutan).
Sebuah tudingan yang dianggap diskriminatif dan tidak adil oleh Indonesia.
Disebut diskriminatif karena faktanya, Uni Eropa sama sekali tidak bersuara atas minyak nabati tanaman kedelai yang berasal dari Amerika Serikat. Padahal tanaman Kedelai mempergunakan 9x lebih banyak lahan untuk memproduksi 1 ton minyak nabati daripada tanaman kelapa sawit.
Dibandingkan dengan kedelai dan bunga matahari, kelapa sawit dianggap sebagai tanaman yang jauh lebih efisien dalam hal hasil per hektar dan harga. Untuk produksi 1 ton minyak nabati, kelapa sawit hanya butuh 0,26 hektar lahan. Sedangkan di pihak lain 1 ton minyak nabati butuh tanah 1,43 hektar untuk bunga matahari, bahkan kedelai butuh 2 hektar lahan untuk satu ton minyak.
Disebut tidak adil karena Eropa sendiri diketahui telah melakukan deforestasi dalam 100 tahun terakhir yang menyumbang 47 persen deforestasi global. Akibatnya hingga sekarang ini hampir tidak ada lagi hutan rimba di Eropa.
Akankah Indonesia akan memenangkan perang dagang ini? Sulit rasanya, apalagi mengingat posisi Indonesia yang di bawah angin. Menurut data Komisi Eropa, Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar ketiga di Indonesia. Sementara Indonesia berada di peringkat ke-31 mitra dagang terbesar Uni Eropa. Artinya secara hitung-hitungan peringkat, Indonesia lebih butuh Eropa daripada Eropa butuh Indonesia.
Jadi walaupun Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengusulkan untuk mengenakan tarif produk olahan susu (dairy products ) Uni Eropa sebesar 20-25% untuk merespons tindakan Uni Eropa. Serta meminta importir produk susu olahan untuk mencari pemasok selain Eropa., seperti Australia, India, New Zealand, atau Amerika Serikat.
Namun sepertinya usulan itu hanya gertakan kosong belaka. Pasalnya produk-produk yang diimpor Uni Eropa dari Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan impor yang dilakukan Indonesia dari Uni Eropa.
Langkah lebih konkret justru ditunjukkan oleh presiden Jokowi yang melakukan rapat terbatas bersama beberapa kabinet kerjanya untuk mengevaluasi pelaksanaan program mandatori biodiesel 20% (B20).
Dalam pertemuan itu, Jokowi juga mendesak agar jangka waktu 6 bulan ke depan (2020), sudah harus mencapai 30% dan akhir tahun depan meningkat lagi menjadi B50.
“Saya juga ingin agar B20 ini nanti pada Januari 2020 itu sudah pindah ke B30, dan selanjutnya di akhir 2020 sudah meloncat lagi ke B50,” kata Jokowi di kantor Presiden, Jakarta, Senin 12 Agustus 2019.
Menurut saya, ada dua tujuan yang ingin dicapai Jokowi dengan keputusannya tersebut.
Pertama, pemerintah melalui program ini memiliki niat mengurangi ketergantungan energi fosil yang kita impor selama ini.
“Yang paling penting kita ingin mengurangi impor minyak kita,” jelasnya.
Berdasarkan data yang dimilikinya, Jokowi bilang hitung-hitungan implementasi B20 secara konsisten dalam satu tahun mampu menghemat impor minyak sebesar US$ 5,5 miliar.
Yang kedua adalah untuk memperbesar tingkat permintaan terhadap CPO di dalam negeri.
“Penerapan B20 akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar dan kita harapkan akan menimbulkan multiplier efek terhadap 17 juta petani, pekebun dan pekerja yang ada di kelapa sawit,” ungkap dia.
Dengan demikian bila Uni Eropa benar-benar berhenti mengimpor minyak sawit dari Indonesia. Setidaknya sebagian masih tertolong dan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan Bio Diesel dalam negeri. Sedangkan sebagian lagi, Indonesia harus meningkatkan ekspor ke negara-negara non Uni Eropa seperti misalnya ke India dan Tiongkok sebagai solusi jangka pendeknya.
Untuk jangka panjangnya, Indonesia sudah harus membangun hilirisasi minyak sawit sejak dari sekarang (walau terlambat). Saya sebut terlambat kalau kita bandingkan dengan perang dagang Amerika VS Tiongkok. Saat Amerika memblokir android agar tidak dapat dipergunakan oleh Huawei, ternyata Huawei sudah mengembangkan android versi mereka sendiri dengan nama Hongmen aka Harmony. Bukan 1-2 tahun terakhir, namun sudah dipersiapkan sejak 7 tahun yang lalu.
Nah kembali ke hilirisasi sawit, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan? Apalagi mengingat produk-produk hilir turunan CPO sangat banyak. Setidaknya ada tiga kelompok besar turunan CPO ini, kelompok produk makanan dan minuman, kelompok farmasi dan terakhir kelompok energi.
Saat industri hilir itu sudah terwujud, ketika itulah kita bisa mengucapkan Go To Hell kepada Uni Eropa. Bagaimana menurut anda?