Isu pengembangan blok Masela sudah lama tak terdengar. Berbagai kendala menghadap laju proyek ini. Investor pun diingatkan untuk memperbarui komitmennya, jika tak ingin dibatalkan.
Indovoices.com – Pertengahan Mei lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan berada di Tokyo, Jepang. Tujuannya satu, yakni untuk finalisasi rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Blok Masela agar blok raksasa itu bisa segera berproduksi.
Kamis itu Menteri Jonan kembali bertemu dengan CEO Inpex Corporation Takayuki Ueda di Tokyo, Jepang. Jonan didampingi Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, Duta Besar Indonesia untuk Jepang Arifin Tasrif, dan Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffe Arizon Suardin. Pertemuan tersebut fokus membahas finalisasi Plan of Development (PoD) Blok Masela guna mendapatkan opsi terbaik, dengan estimasi investasi yang rasional dan efisien.
Perlu diketahui Blok Masela yang ada di sekitar Laut Aru telah dieksplorasi sejak 1998. Blok ini akan dikembangkan dengan kapasitas 9,5 juta ton LNG per tahun dan 150 MMSCF per hari. Pengembangan Blok Masela diharapkan dapat menjadi tolok ukur dalam pengembangan blok minyak dan gas lainnya, serta menunjukkan bahwa potensi hulu migas di Indonesia masih memiliki prospek yang bagus.
Beberapa waktu sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sempat mengancam akan membatalkan kerja sama dengan Inpex Corporation terkait lambannya proses pengembangan Blok Masela. Jonan menegaskan, dirinya sudah tidak sabar. Sebab, setelah ditunggu selama enam bulan lamanya, progres pengembangan kilang gas alam cair (LNG) tersebut tidak ada perkembangan.
Sudah enam bulan Kementerian ESDM menunggu penyelesaian tentang kajian struktur dan desain untuk estimasi fasilitas biaya (Pre-FEED) dari Inpex. Namun kajian di wilayah Pulau Aru dan Jandena, bagian dari Blok Masela, tidak ada perkembangan.
Inpex memiliki tanggungan untuk melakukan kajian pre-FEED kapasitas 9,5 mtpa ditambah dengan 150 MMSCFD serta 7,5 mtpa ditambah 474 MMSCFD.
Berdasarkan informasi dari Kementerian ESDM, pada awal 2017, perkembangannya masih menunggu surat dari Inpex menyangkut fiscal terms yang ditawarkan pemerintah untuk mengembangkan Lapangan Abadi, Blok Masela.
Akhirnya pmemutuskan, penambahan masa operasi Blok Masela selama tujuh tahun. Ini lebih rendah dari permintaan Inpex, selaku operator Blok Masela, yaitu 10 tahun. Selain itu, telah diputuskan pula kapasitas produksi gas alam cair (LNG) tetap 7,5 metrik ton per tahun. Sementara itu untuk gas bumi sebesar 474 juta kaki kubik per hari. Diketahui, dalam usulannya, Inpex meminta agar kapasitas kilang ditambah dari 7,5 juta metrik ton per tahun menjadi 9,5 juta metrik ton per tahun.
Mengenai rasio pengembalian investasi internal rate of return (IRR) proyek, pemerintah tidak pernah mematok harus di angka 15 persen dan sebagainya. Hal terpenting adalah masih dalam batas kewajaran. Yaitu, kurang dari 15 persen. Pada prinsipnya, kesepakatan pengembangan Blok Masela menguntungkan kedua belah pihak, baik pemerintah maupun investor.
Blok Masela dikelola oleh PT Inpex Masela Limited dan Shell Upstream Overseas Services. Kontrak kerja samanya telah ditandatangani pada 16 November 1998 dan berlaku hingga 2028. Cadangan gas di blok ini sekitar 10,7 triliun kaki kubik.
Proyek pengelolaan gas Blok Masela di perairan Maluku Selatan diprediksi akan menyerap 380.000 tenaga kerja dengan skema kilang darat terintegrasi. Bekas Menko Perekonomian Ramli pernah mengatakan bahwa dengan hanya mengekspor LNG, Indonesia hanya akan mendapat keuntungan 2,5 miliar dolar Amerika Serikat per tahun. Tapi sebaliknya, kalau kita ekspor produk petrokimia, satu tahunnya dapat 6,5 miliar dolar AS. Belum lagi dampak berlipat tidak langsungnya, misalnya karena rakyat di situ membuat restoran, menyewakan taksi atau sepeda motor. Itu totalnya barangkali hampir 8 miliar dolar AS,” katanya.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masih meninjau rencana pengembangan (Plan of Development/POD) Blok Masela yang dikerjakan oleh Inpex Masela Ltd. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan, hingga kini pihaknya masih melakukan kajian tentang keekonomian yang cocok. “Kalau investor mengharapkan keekonomiannya bagus. Kami tentu berpikir bagaimana kepentingan negara bisa semaksimal mungkin,” katanya.
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, Inpex menginginkan tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return/IRR) proyek Masela sebesar 15%. Namun, ia belum bisa memastikan apakah keinginan tersebut disetujui atau tidak. Yang jelas, pemerintah akan menjaga keekonomian proyek.
Selain soal keekonomian, Dwi menjelaskan, masih ada kendala dalam pembuatan pradesain kontruksi (Pre Front End Engeneering Design/FEED). Adapun desain memengaruhi dana investasi.
Pihaknya berupaya agar investasi proyek baru itu bisa di bawah USD20 miliar, meskipun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memperkirakan investasi proyek itu bisa mencapai USD20 miliar. Pada 2016, Presiden Joko Widodo mengumumkan proyek Blok Masela menggunakan skema pengolahan di darat. Keputusan ini berbeda dengan usulan Inpex yang menginginkan skema pengolahan di laut (FLNG).
Dengan skema darat, pemerintah menaksir proyek Masela baru bisa beroperasi 2027. Namun, Dwi, usai dilantik menjadi Kepala SKK Migas, menargetkan bahwa proyek ini bisa beroperasi lebih cepat yakni 2025.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Erlangga Hartarto memprediksi nilai tambah industri petrokimia yang dikembangkan di Blok Masela, Maluku, mencapai 2 miliar dolar AS. Selain itu juga mampu mengurangi angka impor hingga 1,4 miliar dolar AS dari substitusi komoditas turunan gas alam dan methanol. Angka tersebut tidak termasuk pendapatan dari pajak yang dapat mencapai sekitar 250 juta dolar AS.
Airlangga mengungkapkan, selain di Teluk Bintuni, lokasi yang bakal dijadikan pusat industri petrokimia di dalam negeri, yaitu Blok Masela. Di lokasi tersebut, akan dibangun industri petrokimia berbasis gas dengan total nilai investasi sebesar 3,9 miliar dolar AS, yang juga akan mendukung berdirinya pabrik metanol dan turunannya. Proyek ini diharapkan mampu menyerap sekitar 39 ribu tenaga kerja langsung dan sebanyak 370 ribu tenaga kerja tidak langsung.
Yang jelas pengoperasian pabrik akan dapat menumbuhkan perekonomian di wilayah tersebut mencapai 10 kali lipat dengan penambahan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 31 juta dolar AS. Sehingga, utilisasi ladang gas Masela untuk pengembangan industri petrokimia sangat strategis dalam pengembangan industri dan perekonomian di wilayah timur Indonesia. (E-2)