JAKARTA, KOMPAS.com – Rabu sore menjelang malam, 9 September 2015, Istana Negara Jakarta kembali menjadi sorotan. Setelah sempat beberapa kali ditunda sejak Maret 2015, presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengumumkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi Indonesia.
Ada tiga pokok kebijakan yang disampaikan Jokowi. Pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.Kedua, mempercepat proyek strategi nasional, ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti.
Namun yang paling disoroti kalangan industri galangan kapal justru pernyataan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Saat mendapatkan giliran bicara, Bambang menyampaikan keputusan soal pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) industri galangan kapal. “Peraturan Pemerintah sudah tinggal di ujung, mengenai PPN tidak dipungut untuk galangan kapal,” kata Bambang.
Catatan Kontan, beleid yang dimaksud adalah revisi PP nomor 38 tahun 2003 tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan atau penyerahan jasa kena pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Setelah peraturan pemerintah ini diteken, menyusul peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur tidak dipungutnya PPN industri galangan kapal ditandatangani.
Nyatanya, angin surga yang bertiup dari istana ini tak membuat pelaku industri galangan kapal bersorak riang. Daripada nanti kecewa, pelaku industri memilih menunggu saja hingga aturan yang dimaksud keluar.
Bukan apa-apa, sejak November tahun lalu Menteri Keuangan, Menko Kemaritiman, dan Menteri Perindustrian sudah mengobral janji. Pembebasan PPN industri galangan kapal bakal diberikan untuk mendukung cita-cita Indonesia sebagai poros maritim.
Tapi sampai sekarang, revisi PP-nya saja belum dirilis. “Menteri Keuangan cuma bilang, aturan ini akan dikeluarkan di ujung. Asosiasi bertanya, ujungnya, tuh di mana? Padahal kan, industri butuh kepastian,” keluh Eddy Kurniawan Logam, Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo).
Penghapusan PPN untuk industri galangan kapal bertujuan agar harga kapal produksi dalam negeri lebih kompetitif dibanding kapal impor. Pengenaan PPN terhadap komponen kapal, baik impor maupun buatan lokal membuat beban industri membengkak. Naas, nilai tukar rupiah yang melemah terhadapdollar AS membuat harga komponen yang diimpor
kian mahal.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga membuat pengusaha kian terjepit lantaran sekitar 60 persen–70 persen komponen berasal dari impor yang dibayar menggunakan dollar AS. Sementara kapal dijual di dalam negeri dalam denominasi rupiah. “Imbasnya harga produk kapal buatan lokal justru lebih mahal 10 persen-20 persen dibandingkan dengan kapal impor. Maka itu, kami minta pemerintah untuk membuat iklim industri galangan kapal bisa menjadi kompetitif dengan cara tidak dibebani pajak PPN,” paparnya.
Sejatinya, selain pembebasan PPN, asosiasi sebetulnya juga meminta adanya penghapusan bea masuk untuk komponen impor. Selain itu, membantu mendorong pihak perbankan mau memberikan kredit yang lebih murah. Di situasi yang tengah lesu ini, menurut dia, tiga insentif tersebut bisa menggairahkan industri galangan kapal dalam negeri.
“Tapi kami minta satu-satu dulu saja, tidak sekaligus. Satu saja yang penghapusan PPN tidak tahu kapan akan terbitnya. Nanti kalau minta banyak-banyak, pemerintah malah pusing dan ujung-ujungnya yang keluar cuma janji-janji tanpa implementasi,” tegasnya.
Stimulus fiskal
Di luar insentif pembebasan PPN industri galangan kapal, sejak beberapa tahun silam sejatinya pemerintah sudah menawarkan dua insentif fiskal lainnya, yakni berupa tax holiday dan tax allowance. Fasilitas tax holiday, atawa pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan diberikan lewat PMK Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang telah berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2015.
Kebijakan yang berlaku hingga 16 Agustus 2018 ini berupa pengurangan atas pajak penghasilan badan yang terutang selama 5 tahun hingga 20 tahun, dengan besaran 10 persen-100 persen.
Ada 9 industri pionir yang bisa mengajukan fasilitas ini, antara lain industri logam hulu, pengilangan minyak bumi, kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, dan industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Pada 7 September 2015 lalu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis peraturan Nomor 13 Tahun 2015 tentang Tata Cara Permohonan Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Dalam tempo 65 hari setelah klarifikasi dengan pemohon, BKPM akan memutuskan untuk mengusulkan atau tidak permohonan tersebut ke kementerian keuangan.
Sementara soal tax allowance (keringanan pajak) diatur melalui PP Nomor 18 Tahun 2015 yang berlaku sejak 6 Mei 2015. Yang menarik, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Mekar Satria Utama menyebut, jika keinginan mendapat tax holiday ditolak, perusahaan bisa mendapatkan fasilitas tax allowance ini.
Ada 143 sektor usaha yang bisa menikmati pengurangan pajak penghasilan (PPh) 30 persen dari jumlah penanaman modal selama 6 tahun. Syaratnya, penggunaan kandungan dalam negeri sebesar 70 persen serapan tenaga kerja 500 sampai 100 tenaga kerja, serta orientasi ekspor paling sedikit 30 persen.
Berdasarkan data BKPM dan Kementerian Perindustrian, sejak 2007 hingga 2015 ada 98 perusahaan yang telah mendapat fasilitas tax allowance. Khusus untuk tahun 2015,
ada 10 perusahaan yang mendapat fasilitas ini.
Tamba Hutapea, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut daftar perusahaan yang dimaksud; PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PGN LNG, Wilmar Bioenergi, Fonterra Brands, Hino Motor, Supreme Energy, Wilmar Nabati, dan Suzuki Indomobil.
Delapan perusahaan tadi mendapatkan tax allowance berdasarkan aturan yang berlaku sebelumnya, yakni PP No 1 tahun 2007. “Perusahaan yang dapat tax allowance berdasarkan PP 18/2015 Shell dan Hankook,” kata Tamba.
Sementara minat perusahaan mengajukan tax holiday (pembebasan pajak) masih sedikit. Sejak 2015 hingga saat ini, baru ada empat perusahaan yang PPh badannya dikurangi. Yang paling anyar, akhir bulan lalu tax holiday diberikan kepada perusahaan milik Grup Sinarmas, PT Ogan Komering Ilir Pulp and Paper Mills (OPPM). Fasilitas keringanan pajak PPh badan diberikan pemerintah selama 10 tahun.
Investasi yang dibenamkan mencapai Rp 29,1 triliun dengan produksi 2 juta ton bubuk kertas per tahun. Sekitar 80 persen dari hasil produksi rencananya akan diekspor.
Tiga perusahaan yang lebih dulu menikmati fasilitas ini adalah PT Unilever Oleochemical Indonesia, PT Petrokimia Bu-tadine Indonesia, dan PT Energi Sejahtera emas. Total investasi yang dikucurkan ketiganya sekitar Rp 5,5 triliun.
Di luar itu, Menteri Perindustrian Saleh Husin menyebut ada lima perusahaan peminat yang proposalnya sedang diverifikasi di Kementerian Perindustrian. Kelimanya, kata Saleh adalah Indorama Polychem Indonesia, Caterpillar Indonesia Batam, Feni Halim, Well Harvest Winning Alumina Refinery, dan Synthetic Rubber Indonesia.
Fajar Budiyono, Sekretaris Jenderal The Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas) mengakui, perusahaan di industri petrokimia termasuk yang paling meminati kedua insentif fiskal ini. Pasalnya, dengan investasi besar yang harus ditanamkan di awal, keuntungan baru bisa diraih pemodal setelah mengoperasikan bisnisnya 10 tahun.
Insentif yang diberikan oleh pemerintah ini diyakini bisa memancing investasi baru di industri petrokimia. Pasalnya, pasar dalam negeri memang masih sangat menggiurkan. “Hingga 2025 fokus kami memenuhi pasar dalam negeri. Baru setelah itu bisa ekspor,” kata Fajar.
Di luar dua perusahaan yang sudah mendapatkan tax holiday,perusahaan yang berminat sejatinya masih cukup banyak. Namun, kebanyakan terganjal oleh aturan petunjuk teknis (juknis) yang tidak bisa dipenuhi. “Di juknisnya, syaratnya harus minimal 200 tenaga kerja. Sementara banyak industri petrokimia, jumlah pekerjanya di bawah itu,” kata Fajar.
Menurut dia, ini lantaran dengan perkembangan teknologi, tenaga kerja yang dibutuhkan semakin sedikit. Sementara di sisi lain, petunjuk teknis tersebut dibuat lima tahun lalu dan belum mengadaptasi teknologi yang digunakan perusahaan petrokimia di Indonesia terbaru saat ini. (Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar)