Pada acara bertajuk Simposium Kebijakan Reformasi Internasional dan Lokakarya Regional 2019 yang digelar di Bali, pada Kamis (14/03), Menkeu menceritakan pengalaman Indonesia dalam melakukan reformasi birokrasi terutama di bidang sistem dan kebijakan pengangaran di Indonesia.
Menkeu menuturkan, krisis yang terjadi pada tahun 1997/1998 menjadi pemicu perlunya reformasi secara fundamental di Indonesia. “Krisis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun hingga minus 13 persen menyebabkan berbagai kekacauan dimana-mana. Oleh karena itu, reformasi dirasa perlu dilakukan di berbagai hal,” terang Menkeu.
Salah satu reformasi yang dilakukan saat itu adalah di bidang sistem dan kebijakan penganggaran. Menkeu menjelaskan, reformasi pada bidang ini dilakukan melalui 3 tahap. Tahap pertama yang dilakukan yaitu reformasi di bidang peraturan perundang-undangan yang mengubah praktek sistem keuangan negara dan penganggaran. “Setelah 5 tahun terjadinya krisis, kami memperkenalkan paket undang-undang di bidang keuangan negara yaitu UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan, dan UU mengenai pemeriksaan keuangan negara,” terangnya.
Tahap kedua adalah implementasi peraturan perundang-undangan. Implementasi ini telah mengubah organisasi bidang keuangan di berbagai hal.
“Pada struktur Kementerian Keuangan kami mendirikan organisasi baru dalam rangka menjalankan mandat dari Undang-Undang yang baru, yaitu Ditjen (Direktorat Jenderal) Pengelolaan Utang (saat ini berubah menjadi Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko), Ditjen Perimbangan Keuangan, Ditjen Perbendaharaan, serta Badan Kebijakan Fiskal,” ujarnya.
Tahap ketiga, menciptakan organisasi di Kementerian Keuangan yang efisien, bersih, dan dikelola dengan baik untuk mewujudkan organsiasi yang transparan dan akuntabel sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang.
“Tahap ini menjadi bagian yang sangat penting, bukan hanya untuk memenuhi tuntutan perunda-undangan tetapi juga untuk menangkap aspirasi reformasi birokrasi yang tidak ingin melihat lagi KKN, melainkan birokrasi yang bersih, kompeten, professional dan kredibel,” tegasnya.
Menkeu mengatakan, sistem anggaran dan reformasi kebijakan telah berhasil menciptakan aturan fiskal untuk anggaran yang sehat, kredibel dan berkelanjutan. Aturan fiskal ini, seperti membatasi defisit anggaran terhadap PDB hingga maksimum 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau membatasi rasio utang terhadap PDB hingga maksimum 60% dari PDB sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang, kini telah menjadi norma standar.
Pemerintah juga telah berhasil mengamandemen konstitusi untuk mewajibkan 20% anggaran dialokasikan untuk belanja pendidikan dan 5% untuk perawatan kesehatan. Hal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Lebih lanjut, dalam memungkinkan pengalihan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai bagian dari proses desentralisasi, 26% dari pendapatan domestik telah dialokasikan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah. Akhirnya, untuk mengurangi ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, sejak 2015 pemerintah telah mengalokasikan sekitar 10% dari total transfer daerah untuk Dana Desa (Dana Desa) yang membiayai pembangunan akar rumput.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dari 2009 hingga 2015 menerima pendapat audit Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Setelah perbaikan terus-menerus, pada tahun 2016 hingga 2017, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) telah mencapai status opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun Menkeu mengaku hal tersebut belumlah cukup, karena masih banyak tantangan dalam reformasi institusi dan pengelolaan keuangan negara kedepan. Salah satu tantangan yang ingin segera diperbaiki yaitu Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (CPI) dan Indeks Efektivitas Pemerintah (GEI) dimana Indonesia masih cukup tertinggal dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Menkeu mengaku ini adalah tantangan yang besar, karena Indonesia sebagai negara yang besar reformasi harus bisa disebarkan tidak hanya pada satu lembaga/ kementerian tapi seluruh lembaga termasuk pemerintah daerah.
“Tapi ingin saya sampaikan, bahwa meskipun reformasi fundamental ini sangat sulit, bahkan terlihat seperti tidak mungkin untuk dimulai, secara kenyataan kita bisa melakukannya,” ujarnya optimis.(lg/hpy/nr)