“Kami masih mendorong implementasi roadmap Making Indonesia 4.0. Ini sudah menjadi komitmen Presiden Joko Widodo untuk terus meningkatkan kualitas ekspor produk Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu (17/2).
Menurut Menperin, revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan pada model bisnis baru di sektor manufaktur, yang dinilai mampu meningkatkan kinerja hingga 20–50 persen lebih baik dari sebelumnya. Hal ini karena melalui pemanfaatan teknologi digital secara terintegrasi.
“Jadi, tentunya penerapan industri 4.0 diyakini bisa memacu produktivitas dan kualitas secara efisien sehingga produk yang dihasilkan lebih inovatif dan kompetitif,” tegasnya.
Making Indonesia 4.0 menargetkan, bakal mengembalikan sumbangsih rasio ekspor netto terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 5-10 persen pada tahun 2030. Kenaikan signifikan ekspor netto ini akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
“Maka itu, perlu mengakselerasi ekspor produk yang memiliki nilai tambah tinggi,” ujarnya. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian serius menjalankan kebijakan hilirisasi industri, yang juga mampu membawa efek berantai pada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa.
Kemenperin mencatat, ekspor dari industri pengolahan nonmigas terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pada 2015, nilai ekspor produk manufaktur mencapai USD108,6 miliar, naik menjadi USD110,5 miliar di tahun 2016.
Pada 2017, tercatat di angka USD125,1 miliar, melonjak hingga USD130 miliar di tahun 2018 atau naik sebesar 3,98 persen. “Jadi, tahun lalu kontribusinya mencapai 72,25 persen. Di tahun 2019 ini, kami akan lebih genjot lagi sektor industri manufaktur untuk meningkatkan ekspor, terutama yang punya kapasitas lebih,” ungkap Airlangga.
Adapun, lima sektor manufaktur yang pertumbuhannya di atas lima persen dan memiliki catatan kinerja ekspor gemilang di tahun 2018, yakni industri makanan dan minuman yang nilai ekspornya mencapai USD29,91 miliar, disusul industri tekstil dan pakaian jadi sebesar USD13,27 miliar, serta industri logam dasar USD15,46 miliar.
Selanjutnya, industri karet, barang dari karet dan plastik menembus hingga USD7,57 miliar, serta industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki di angka USD5,69 miliar. “Kami sedang fokus memacu kinerja ekspor di lima sektor industri yang mendapat prioritas pengembangan berdasarkan Making Indonesia 4.0,” imbuhnya.
Lima sektor itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, dan kimia. Apalagi, lima kelompok manufaktur tersebut mampu memberikan kontribusi sebesar 65 persen terhadap total nilai ekspor nasional.
Sepanjang tahun 2018, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, menorehkan nilai ekspornya sebesar USD13,93 miliar, kemudian ekspor kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, dan alat angkutan lainnya menembus angka USD8,59 miliar, serta pengapalan barang komputer, barang elekronik dan optik mencapai USD6,29 miliar.
“Memang ada beberapa sektor lain yang juga punya potensi besar dalam menopang perekonomian nasional melalui kinerja ekspornya. Misalnya, industri perhiasan, permesinan, furnitur, pengolahan ikan, dan hortikultura,” sebutnya.
Pada 2019, pemerintah menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 7,5 persen. Proyeksi tersebut mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,7 persen. Adapun tiga pasar ekspor utama, yakni Amerika Serikat, Jepang, dan China. Penetrasi pasar ekspor ke negara-negara nontradisional juga dilakukan, seperti ke Bangladesh, Turki, Selandia Baru, Myanmar dan Kanada.
“Meski demikian, diharapkan ada perbaikan ekonomi global, sehingga bisa mendorong ekspor nonmigas lebih tinggi lagi di tahun 2019,” tutur Airlangga. Pemerintah juga menargetkan segera merampungkan sebanyak 12 perjanjian dagang baru pada tahun ini.
Dalam upaya mengakselerasi peningkatan nilai ekspor nasional, strategi utama yang dilakukan pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mempermudah perizinan. Hal ini dapat menarik investasi untuk menjalankan hilirisasi industri sehingga dapat meningkatkan kapasitas sekaligus mensubstitusi produk impor.
Di samping itu, dilaksanakan penerapan online single submission (OSS), fasilitas insentif perpajakan, program vokasi, penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor, dan pemilihan produk unggulan. “Jadi, industri bisa lebih berdaya saing sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan memperbaiki struktur perekonomian nasional,” pungkasnya.