Dalam kegiatan blusukan yang kerap dilakukannya, kali ini Presiden Joko Widodo blusukan ke pasar Suryakencana, Bogor, Selasa 31 Oktober 2018 menjelang tengah malam. Setelah berbelanja dan menyapa sejumlah pedagang, Jokowi pun memastikan bahwa harga kebutuhan pokok masih terkendali. Beliau lalu meminta agar tak ada lagi pihak-pihak yang menyebut bahwa harga kebutuhan pokok mahal.
“Jangan sampai ada yang teriak di pasar harga mahal-mahal. Nanti ibu-ibu (pedagang) di pasar marah, nanti enggak ada yang datang ke pasar, larinya ke supermarket, ke mall,” kata Jokowi.
Apa yang disampaikan oleh Jokowi ini merujuk kepada Cawapres sebelah, Sandiaga Uno yang akhir-akhir ini mendadak rajin blusukan ke pasar serta sering mempolitisir berbagai harga kebutuhan pokok yang disebut-sebutnya mahal.
Bahkan salah satu produk pasar yakni tempe, sering dijadikan rujukan oleh Sandiaga Uno, mulai dari istilah tempe setipis kartu ATM, tempe sachet, tempe seukuran iPad atau sebesar tablet hingga tempe sebesar hp jadul.
Meskipun, propaganda tempe ala Sandiaga Uno terlihat konyol. Namun, dalam konteks tertentu, beragam metafora atau istilah aneh yang dikeluarkannya terkait makanan olahan kedelai ini bisa dilihat dari sisi lain. Yakni untuk memunculkan nuansa ketakutan melalui fenomena tempe yang biasanya menjadi solusi pangan murah, kini justru hadir dalam bentuk yang minimalis.
Nuansa ketakutan atau yang dikenal dengan istilah Politics of fear, digunakan oleh Sandiaga untuk memunculkan persepsi bahwa jika masyarakat tetap memilih kandidat petahana, maka akan ada ketakutan tempe akan terus menyusut ukurannya. Padahal sejatinya, tempe merupakan bahan pangan yang sering kali tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Jadi keliru bila ada anggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Sandiaga Uno tidak perlu dihiraukan. Dengan terjun langsung ke pasar, Jokowi sudah melakukan langkah yang tepat untuk membuktikan bahwa opini yang berusaha dibentuk oleh pihak oposisi bahwa harga-harga pangan mahal adalah salah dan tidak berdasar sama sekali.
Dalam kegiatan blusukannya, Jokowi juga menyampaikan bahwa harga di pasar merupakan harga yang paling murah karena suplainya langsung dari Pasar Kramatjati. Bahkan, ada juga pedagang yang mengambil dari petani langsung.
“Jadi pasar tradisional itu pasar yang paling murah. Jadi jangan sampai masuk ke pasar bilang harga-harga mahal. Orang-orang enggak mau masuk ke pasar lagi. Hati-hati,” kata Jokowi.
Bukannya tanpa alasan Jokowi memberikan peringatan, karena dari kegiatan yang dilakukan oleh Sandiaga dengan mempolitisir harga kebutuhan pokok mahal, telah membuat gerah dan resah para pedagang.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Ketua Umum KPP Abdul Rosyid. Abdul mengungkapkan kegelisahan pedagang pasar tradisional lantaran Sandiaga Uno yang kerap menyebut harga bahan pokok di pasar selalu mengalami peningkatan. Mereka khawatir masyarakat malah beralih belanja ke mall yang harganya sudah pasti, daripada ke pasar.
https://metro.tempo.co/read/1138660/resah-jadi-alat-politik-sandiaga-pedagang-pasar-pilih-jokowi
Dalam kesempatan itu, Jokowi sempat berbelanja berbagai sayuran seperti cabai rawit, tomat, hingga sayur bayam. Selain itu, mantan gubernur DKI Jakarta itu juga memborong tempe.
“Tadi ngelihat sendiri ya, tebal (ukuran tempenya),” kata beliau seakan-akan ingin menunjukkan bahwa tidak benar isu yang disampaikan oleh Sandiaga selama ini.
Jadi dari sini saja kita sudah bisa melihat perbandingan cara kampanye Jokowi dan Sandiaga Uno. Bagi Jokowi, keluar masuk pasar sudah merupakan hal yang lumrah dan biasa dia lakukan semenjak menjabat sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI bahkan setelah menjadi Presiden pun tetap dia lakoni. Tidak hanya saat menjelang kampanye saja.
Sedangkan Sandi? Walaupun statusnya adalah ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) sejak tahun 2015 menggantikan Prabowo ketika itu. Alih-alih menunjukan prestasinya dengan membenahi pasar, yang ada hanya janji-janji tanpa realisasi. Sebut saja soal janjinya untuk membenahi pasar tradisional ketika kampanye pilkada DKI 2017 yang lalu, setelah menjabat sebagai Wagub hingga berhenti, sama sekali tidak ada realisasinya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/11/06/10232951/sandiaga.mengaku.ingin.benahi.pasar.tradisional.
Artinya para pedagang pasar hanya didekati saat dibutuhkan suaranya saja. Setelah terpilih, jangankan memenuhi janjinya, bahkan untuk turun ke pasar lagi juga dia enggan.
Dan kali ini, modus yang sama diulangi lagi dengan tanpa malu blusukan ke pasar sambil menebar ketakutan melalui Politics of Fear bahwa tempe setipis kartu ATM, bahan-bahan kebutuhan pokok mahal dan sebagainya.
Saya sebut tanpa malu karena dia sebenarnya punya kesempatan untuk memperbaiki pasar maupun kehidupan para pedagang tradisional, baik saat menjabat sebagai Wagub DKI maupun Ketua APPSI, namun tidak dikerjakannya, dan kini menggunakan cara yang sama untuk membohongi para pedagang tradisional lagi. Akankah para pedagang tradisional akan tertipu lagi kali ini? Semoga saja tidak.
Jadi saya tidak heran saat Jokowi blusukan ke pasar Suryakencana dan membeli tempe. Jokowi sempat tercenung sejenak memandangi tempe tersebut. Bisa jadi beliau sedang berpikir, “lebih tebal mana, tempe yang saya pegang ini dibandingkan wajah politikus sontoloyo yang menganggap tempe setipis kartu ATM?” Kalau menurut pembaca?
Trailer Jokowi Blusukan Ke Pasar
https://youtu.be/9xE3S8fXPhc