Indovoices.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan komitmen Pemerintah untuk terus menciptakan atmosfer bisnis yang kondusif bagi pelaku ekonomi kreatif sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi bonus demografi Indonesia yang didominasi kelas menengah dan generasi millennial akan menjadi konsumen utama ekonomi kreatif.
Hal ini disampaikan Menkeu pada acara diskusi Forum A1 dengan topik “Indonesia Bukan Negara Miskin” di Rumah Makan Tjikini Lima, Jakarta, Selasa (22/01). Dalam acara yang dikemas dengan diskusi panel tersebut, selain Menkeu, hadir sebagai panelis adalah ekonom yang sekaligus mantan Menkeu Chatib Basri serta artis dan pengusaha Happy Salma serta sebagai moderator adalah sosiolog Imam Prasodjo.
“The real kelas menengah adalah economically secured. Itu sekitar 45 juta tahun 2010. Tahun ini (2019) mungkin sudah naik hampir mendekati 60 (juta). Dan nanti 2020 diperkirakan akan mencapai 85 juta. Indonesia is the biggest engine of growth karena kelas menengahnya (jika dibandingkan misalnya dengan negara-negara ASEAN),” kata Menkeu.
Apalagi Indonesia tidak hanya memiliki kelas menengah yang cukup banyak namun kelompok tersebut didominasi oleh generasi millennial. Salah satu ciri kelas menengah dan generasi millennial adalah memiliki uang, bersifat konsumtif, dan mementingkan gaya hidup serta pengalaman. Hal ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi para pelaku ekonomi kreatif.
“Kelompok yang kombinasi kelas menengah dan generasi millennial yang buat mereka itu life style important, experience important. Jadi, buat mereka minum kopi (sebagai life style) itu penting,” contoh Menkeu tentang contoh perilaku generasi millennial yang mengedepankan pentingnya gaya hidup dan pengalaman.
Selain dari sisi kuliner, kelas menengah dan generasi millennial menyukai fashion, menikmati pertunjukan seni serta pariwisata. Hal tersebut merupakan peluang bagi para pelaku industri kreatif untuk menciptakan produk dan jasa di bidang tersebut.
Senada dengan Menkeu, Chatib Basri mencontohkan kebutuhan konsumen telah bergeser bukan pada pemenuhan kebutuhan dasar (needs) tetapi pada selera (wants).
“Itu (selera konsumen) berubah dari yang namanya needs kepada wants. Jadi kalau orang berbicara mengenai wants, dia tidak bicara lagi mengenai pakaian itu dipakai tapi dia harus indah, harus menarik. Makanan itu bukan sebagai alat untuk gizi tapi dia harus enak. Nah, ini yang saya lihat bahwa masa depan industri kreatif jadi unlimited,” tambah Chatib Basri.
Perubahan selera tersebut telah menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru yang menjanjikan masa depan yang baik seperti menjadi juru masak dan barista. Padahal pekerjaan-pekerjaan tersebut dulu masih dipandang sebelah mata.
Dari sisi Pemerintah, Menkeu mencontohkan beberapa kebijakan yang pro pertumbuhan industri kreatif telah dilakukan, misalnya melalui pengurangan pajak bagi pelaku industri kreatif, mendorong pendidikan vokasi, hibah yang diberikan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan dana alokasi khusus bagi pertunjukan seni.
Bahkan lebih lanjut, di masa yang akan datang Presiden menginginkan adanya dana abadi bagi industri kreatif. Hal ini menunjukkan keseriusan Pemerintah untuk terus mendukung perkembangan dan pertumbuhan industri kreatif di Indonesia.
“Presiden menyampaikan ingin membuat suatu dana abadi untuk kreatifitas. Kalau Presiden arah kebijakannya ke sana, kita mengamankan. Ini kan tahun 2019, UU APBN-nya sudah selesai jadi tidak ada di situ. Namun, nanti bisa kita pikirkan tahun 2020,” pungkas Menkeu. (btr/ind/nr)