“IHT merupakan bagian sejarah bangsa dan budaya Indonesia, khususnya rokok kretek. Pasalnya, merupakan produk berbasis tembakau dan cengkeh yang menjadi warisan inovasi nenek moyang dan sudah mengakar secara turun temurun,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada acara Dialog dengan Karyawan Mitra Produksi Sigaret (MPS) dan Paguyuban Sampoerna Retail Community (SRC) di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Jumat (22/3).
Menperin menjelaskan, industri rokok di dalam negeri telah meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal berupa hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh. Di samping itu, dinilai sebagai sektor padat karya dan berorientasi ekspor sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi.
Kementerian Perindustrian mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Pada tahun 2018, nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai USD931,6 juta atau meningkat 2,98 persen dibanding 2017 sebesar USD904,7 juta.
“Industri rokok juga dapat dikatakan sebagai sektor kearifan lokal yang memiliki daya saing global,” tuturnya. IHT juga penyumbang penerimaan negara yang cukup signfikan melalui cukai. Sepanjang 2018, penerimaan cukai rokok menembus hingga Rp153 triliun atau lebih tinggi dibanding perolehan di 2017 sebesar Rp147 triliun. Penerimaan cukai rokok pada tahun lalu, berkontribusi mencapai 95,8 persen terhadap cukai nasional.
Namun demikian, produk IHT merupakan barang kena cukai untuk mengendalikan konsumsinya. Sebagai konsekuensinya, peraturan terkait rokok semakin ketat baik di dalam maupun luar negeri karena pertimbangan perlindungan konsumen dan kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi industri rokok.
“Tentunya, melalui industri ini, kami tidak menganjurkan agar masyarakat banyak mengkonsumsi rokok, tetapi kami mengajak bahwa anak-anak muda dijauhkan dari rokok, terutama anak sekolah. Selain itu, kemi mendorong untuk menjaga kesehatan melalui R&D industrinya,” ungkap Airlangga.
Beberapa peraturan terkait industri rokok, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Selain itu, ada Peraturan Presiden RI No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Regulasi ini ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian No.64 tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok.
“Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan yang menjadi jalan tengah dalam menjamin kepastian berusaha IHT dengan tetap menjaga aspek penyerapan tenaga kerja dan menjamin aspek kesehatan masyarakat,” tegassnya.
Apresiasi ke MPS
Kemenperin memberikan apresiasi kepada paguyuban Mitra Produksi Sigaret (MPS), sebagai wadah yang menaungi 38 produsen Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan bermitra dengan PT HM Sampoerna. Mereka yang tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur ini mampu memproduksi 15 miliar batang per tahun dengan mempekerjakan karyawan lebih dari 40 ribu orang.
Salah satunya adalah MPS Berbah PT Mitra Adi Jaya yang beroperasi sejak tahun 2006 dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 900 orang. MPS ini memproduksi rokok SKT hingga 3,72 juta batang per minggu atau 200,88 juta batang per tahun setara dengan Rp200 miliar per tahun. Dengan kontribusi besar tersebut, Menperin menilai MPS sebagai pahlawan industri Indonesia.
“Keberpihakan pemerintah saat ini terhadap industri SKT sangat jelas, sehingga pekerjaan (linting rokok kretek) itu ada terus dan berkelanjutan. Kita pun lihat mereka masih bertahan di tengah era industri 4.0. Karena di Indonesia, penerapan teknologi industri 4.0 berjalan secara paralel dan harmonis dengan industri yang menggunakan teknologi sebelumnya,” tuturnya.
Airlangga pun menegaskan, pemerintah saat ini sedang fokus membangun pengembangan sumber daya manusia (SDM), khususnya di sektor industri. “Ibu-ibu yang bekerja di MPS ini sudah bisa turut mensejahterakan keluarganya masing-masing. Sebab, kalau pekerja di MPS HM Sampoerna itu konsepnya sudah bagus, fasilitas kesehatan juga bisa dipakai untuk suami dan anaknya,” ungkapnya.
Selain itu, program kemitraan antara PT HM Sampoerna dengan Sampoerna Retail Community (SRC), sebagai wadah usaha kecil menengah (UKM) retail yang telah dibentuk di 34 provinsi meliputi 408 Kabupaten/Kota dan melibatkan lebih dari 60.000 mitra dagang, ini juga merupakan contoh program pemberdayaan UKM khususnya peretail tradisional di tingkat nasional.
“Program ini menunjukan kepedulian Sampoerna kepada UKM untuk dapat berkembang bersama-sama melalui peningkatan kapasitas dan menciptakan ekosistem komersial yang inklusif, yang pada akhirnya mewujudkan kemandirian perekonomian baik di tingkat daerah maupun nasional,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Menperin berbincang dengan beberapa pelaku usaha yang tergabung di SRC. Misalnya dengan Darmini, anggota SRC yang sudah bergabung dua tahun ini mengaku gerainya semakin banyak kunjungan pembelinya karena rapih dan bersih. “Saat ini, penghasilan kami bisa mencapai Rp7-8 juta per hari,” ungkapnya.
Kemudian, Mohamad Fanu, anggota dari Bantul ini juga menyatakan bahwa bergabungnya dengan SRC ini merupakan suatu anugerah. “Kenapa saya katakan begitu, sebelum bergabung dengan SRC, pendapatan berkisar Rp2-3 juta per hari, tetapi sekarang peningkatan penjualan menjadi Rp8 juta per hari. Mudah-mudahan saya bisa tambah satu toko lagi,” ucapnya.
Direktur PT HM Sampoerna Tbk. Elvira Lianita menyampiakan bahwa kehadiran Menperin di sejumlah MPS HM Sampoerna menjadi sebuah apresiasi yang sangat tinggi dan bentuk komitmen dalam menjaga keberlangsungan usaha IHT nasional. “Secara keseluruhan yang bekerja di MPS wilayah Jogja sebanyak 3500 karyawan, karena ada dari Bantul dan Wates. Beberapa waktu lalu, Bapak Menperin sudah meninjau di Lamongan dan Mojokerto,” ungkapnya.
Menurut Elvira, keberadaan MPS ini tidak saja menjadi rezeki bagi karyawan yang bekerja di pabrik, tetapi juga menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di sekitarnya karena dapat memacu usaha-usaha lain untuk tumbuh dan berkembang. “Karena keberadaan MPS ini turut membantu perputaran ekonomi di daerah masing-masing,” imbuhnya.
Sementara itu, lanjutnya, pengembangan SRC bertujuan membangun para pedagang tradisional untuk bisa lebih memajukan usahanya. Misalnya, yang awalnya penjualan omzetnya sekitar Rp50-100 ribu per hari bisa berkembang menjadi Rp6-7 juta per hari. “Bahkan, ada yang awalnya hanya satu toko kecil, kemudian sekarang beranak-pinak menjadi dua atau tiga toko,” ujarnya.
Secara total, SRC di Yogyakarta ada 1600 anggota atau kalau ditambahkan dengan Jawa Tengah mencapai 14.000 anggota. “Tentu saja Ini menjadi kebanggaan kami yang secara konsisten terus-menerus membina pedagang tradisional di Indonesia melalui pengembangan ekonomi kerakyatan,” terangnya.
Elvira berharap agar pemerintah khususnya Kemenpeerin tetap menjaga kesinambungan dan kepastian-kepastian usaha bagi IHT nasional serta menjaga iklim investasi yang kondusif. “Sebagai pelaku usaha, tentunya kami akan mendukung pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang adil melalui upaya-upaya kami dalam membina UMKM dan pedagang-pedagang tradisional,” pungkasnya.