Majalah bergengsi dunia, Forbes melansir berita tentang Indonesia dalam salah satu artikelnya belum lama ini. Melalui artikel yang diterbitkan tanggal 14 Mei 2019, Forbes memberikan judul “Indonesia: The New Tiger Of Southeast Asia“.
Artikel tersebut awalnya menyebutkan bila pada paruh kedua abad terakhir, Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan dikenal sebagai “macan” ekonomi Asia karena tumbuhnya industrialisasi, perdagangan, dan pengembangan keuangan yang cepat sehingga ikut memacu tingginya tingkat pertumbuhan berkelanjutan. Hari ini dua negara pertama telah menjadi pusat keuangan terkemuka dunia dan dua negara berikutnya dikenal karena industri manufaktur seni mereka.
Maka gejala yang serupa juga sedang terjadi di Asia Tenggara, hanya saja yang berada di garis depan terjadinya perubahan didorong oleh pertumbuhan ekonomi seluler. Tidak ada yang lebih pasti daripada di Indonesia, negara terbesar keempat di dunia berdasarkan jumlah penduduk.
Forbes memberikan alasan kenapa Indonesia yang merupakan rumah bagi lebih dari 265 juta orang memiliki peluang besar menjadi Macan Asia Tenggara dengan memanfaatkan naiknya pertumbuhan seluler. Berikut menurut Forbes, adalah beberapa fakta menakjubkan tentang Indonesia:
1. Sebagai negara yang dianggap masih “muda”. Usia rata-rata penduduk Indonesia berada di kisaran 29 tahun dengan 60% dari populasi berusia 40 tahun atau di bawahnya.
2. Indonesia juga dianggap sebagai salah satu negara yang paling banyak pengguna telepon selularnya (ponsel) di dunia. Dari 150 juta pengguna internet di Indonesia, 95%, atau 142 juta memiliki ponsel.
3. Setidaknya 60% dari semua orang dewasa Indonesia sekarang adalah pengguna smartphone.
Ketika kita menggabungkan ketiga faktor di atas, akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang mewakili populasi besar penduduk digital muda yang paham akan perkembangan ponsel. Forbes juga menyebutkan bila orang Indonesia menghabiskan waktunya rata-rata 206 menit sehari di media sosial dibandingkan dengan rata-rata global 124 menit.
Platform teratas seperti Youtube, Whatsapp, dan Facebook, digunakan oleh lebih dari 80% penduduk Indonesia. Dan 76% dari semua pengguna internet di Indonesia melakukan pembelian dari ponsel mereka, tingkat tertinggi e-commerce seluler dari negara mana pun yang ada di dunia.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Forbes menyebutkan bila dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan yang pesat dalam ekonomi internet Indonesia. Selain e-commerce, permainan online, iklan, musik dan video berlangganan, serta layanan perjalanan online dan naik kendaraan/pengiriman makanan, semuanya dinikmati dan diterapkan oleh konsumen muda Indonesia.
Laporan mendalam oleh Google dan Temasek yang dirilis tahun lalu menyatakan: “Kepulauan digital” Indonesia sedang merambah ke semua bidang. Dengan didukung basis pengguna internet terbesar di kawasan Asia Tenggara ini (150 juta pengguna pada 2018), Indonesia memiliki ekonomi internet terbesar ($ 27 miliar pada 2018) dan pertumbuhan tercepat (49% CAGR 2015-2018) ekonomi internet di kawasan ini. Dengan pertumbuhan yang pesat di semua sektor, ekonomi digital Indonesia siap untuk tumbuh menjadi $ 100 miliar pada tahun 2025.
Apalagi booming ekonomi seluler Indonesia juga dipicu oleh lonjakan besar investasi ventura, senilai $ 6 miliar dan terus meningkat selama empat tahun terakhir ini. Seperti yang ditulis oleh salah satu pemodal ventura di Venture Beat, peluang di Indonesia hari ini adalah layaknya berinvestasi di Cina pada tahun 2008.
Munculnya “Unicorn” dengan valuasi miliaran dolar, hadir di beberapa sektor utama, seperti Tokopedia (e-commerce), Traveloka (reservasi perjalanan online), dan Go-Jek (transportasi online).
Lantas apa yang membuat Ventura Capital (VC) begitu bersemangat untuk menanamkan modalnya di Indonesia? Tak lain adalah karena mereka telah membuktikannya melalui dukungan model bisnis serupa yang telah terbukti di Tiongkok dan AS sambil mengadaptasinya ke Indonesia yang dianggap sebagai pasar besar yang belum dimanfaatkan selama ini.
Namun bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan. Kondisi Indonesia disebut oleh Forbes, mirip dengan India. Indonesia dianggap belum memiliki infrastruktur telekomunikasi yang memadai. Walaupun didukung oleh data seluler dengan harga yang murah, namun bandwidthnya masih rendah. Kecepatan rata-rata unduhan dengan menggunakan seluler hanya sekitar 10 Mbps, kurang dari rata-rata global. Sedangkan pengguna smartphone terus meningkat dari waktu ke waktu. Walaupun pemerintah belum lama ini meluncurkan tol langit (sambungan bebas hambatan bagi sinyal internet di langit Indonesia, yang akan menghubungkan seluruh wilayah di bumi Nusantara), namun hasilnya belum dirasakan secara maksimal, setidaknya hingga bulan Agustus 2019 ini.
Sedangkan tantangan lainnya atau dapat juga dianggap sebagai peluang menurut Forbes adalah pemanfaatan transaksi online dan uang elektronik. Google dan Temasek memperkirakan bahwa e-commerce di Indonesia akan mencapai $ 53 miliar pada tahun 2025.
Pertumbuhan ini menjadi lebih mengesankan mengingat fakta bahwa kurang dari setengah penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank, dan hanya 2,4% orang Indonesia memiliki kartu kredit.
Di sinilah letak paradoks besar Indonesia. Di mana 56% persen dari seluruh penduduk Indonesia menghuni kota-kota besar dan kehidupannya semakin melekat dalam perangkat seluler. Sementara setengah lainnya tinggal di daerah pedesaan dan tersebar di 17.000 pulau di mana uang tunai tetap menjadi alat tukar utama. Apalagi karena bank konvensional mengandalkan lokasi fisik untuk mendapatkan dan melayani pelanggan, penyebaran ini membatasi jangkauan mereka.
Dengan semakin banyaknya penduduk Indonesia yang tidak memiliki rekening bank namun merupakan pemakai smartphone. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya uang elektronik serta layanan finansial berbasis online.
Gelombang startup fintech yang baru, terus bermunculan dan bersaing berebut peluang. Namun beberapa langkah terbesar telah dibuat oleh Startup besar seperti Go-Jek, yang sudah memiliki jaringan distribusi besar dan daya tarik yang kuat untuk mendorong pengadaptasian teknologi uang elektronik ini. Salah satunya adalah dompet seluler Go-Jek, Go-Pay, yang memudahkan pembayaran dari dan ke pengemudi sepeda motor. Pada saat yang sama, Go-Jek juga bermitra dengan bank tradisional untuk menawarkan produk konvensional seperti hipotek. Ini benar-benar transformasional.
Di sebuah artikel baru-baru ini yang dilansir oleh Nikkei Asian Review, mengutip contoh kisah seorang penjual makanan kaki lima yang menjadi pengemudi Go-Jek. Sebelumnya tidak ada yang mau memberikan kredit untuk dirinya. Namun setelah penjual makanan tersebut beralih profesi menjadi pengemudi Go-Jek selama empat tahun, kini dirinya bisa mendapatkan hutang dari lembaga pemberi pinjaman milik negara (bank) yang bermitra dengan Go-Jek. Dan sekarang, dirinya sedang berencana membeli rumah pertamanya secara kredit. Luar biasa bukan?