Indovoices.com– Pemerintah optimistis terhadap implementasi kebijakan hilirisasi industri yang akan menjaga kekuatan perekonomian nasional agar tidak mudah terombang-ambing di tengah fluktuasi harga komoditas. Oleh karenanya, industri pengolahan berperan penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di Indonesia untuk dibuat sebagai barang setengah jadi hingga produk jadi.
“Dengan fokus hilirisasi industri, tentunya akan bisa melakukan lompatan kemajuan lagi bagi ekonomi kita. Maka itu, perlu dipacu pertumbuhan dan pengembangan industri pengolahan di dalam negeri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta.
Mengenai potensi sumber daya alam, Menperin menjelaskan, Indonesia punya keunggulan komparatif dibanding negara lain. “Namun demikian, dengan modal inovasi, sumber daya manusia yang kompeten, dan penguasaan teknologi, Indonesia akan mampu menggenjot nilai tambah komoditasnya lebih tinggi lagi,” tuturnya.
Langkah strategis tersebut telah tertuang dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. “Melalui roadmap ini, kita merevitalisasi sektor manufaktur dan membangun ekonomi berbasis inovasi. Sebab, teknologi industri 4.0 dinilai dapat mendongkrak produktivitas dan kualitas industri secara lebih efisien. Sehingga sektor industri akan terus berkontribusi besar pada ekonomi,” imbuhnya.
Airlangga menyebutkan, hilirisasi industri telah berjalan di berbagai sektor, antara lain pertambangan dan perkebunan. Contohnya di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah, yang sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadi stainless steel.
“Kalau nickel ore dijual sekitar USD40-60, sedangkan ketika menjadi stainless steel harganya di atas USD2000. Selain itu, kita sudah mampu ekspor dari Morowali senilai USD4 miliar, baik itu hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerika Serikat dan China,” paparnya.
Melalui kawasan industri Morowali, investasi pun terus menunjukkan peningkatan, dari tahun 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar di tahun 2018. “Jumlah penyerapan tenaga kerja di sana terbilang sangat besar hingga 30 ribu orang,” ungkapnya.
Lompatan kemajuan lainnya pada penerapan hilirisasi industri, yakni ekspor dari olahan sawit yang didominasi produk hilir cenderung meningkat dalam kurun lima tahun terakhir. Kontribusinya terhadap perolehan devisa cukup signifikan. “Pada tahun 2018, rasio volume ekspor bahan baku dan produk hilir sebesar 19 persen banding 81 persen,” ujarnya.
Airlangga mengemukakan, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit mentah (CPO) dan minyak kernel sawit mentah (CPKO) dengan produksi pada 2018 sebesar 47 juta ton. Laju pertumbuhan produksi minyak sawit pun diperkirakan meningkat signifikan. ’’Ekspor minyak sawit dan produk turunannya menyumbang devisa negara hingga USD22 miliar per tahun,” tandasnya
Menperin menambahkan, pihaknya terus mengawal kebijakan mandatori biodiesel 20% (B20), yang akan ditingkatkan menjadi B30 pada awal tahun 2020. Kemudian, diharapkan pada tahun 2021-2022, komposisi penggunaan bahan bakar nabati akan ditingkatkan menjadi B50 dan B100.
“Pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel telah membawa banyak manfaat, antara lain penghematan impor BBM diesel, pengurangan emisi, dan terbukti mampu menahan jatuhnya harga CPO internasional pada saat terjadi oversupply pada periode tahun 2015-2016 lalu,” sebutnya.
Apalagi, Kementerian Perindustrian telah menyusun peta jalan pengembangan industri yang terintegrasi dengan kebijakan biofuel nasional. Hal ini untuk mewujudkan industri nasional yang rendah emisi karbon dan berwawasan lingkungan.
Contohnya, industri flexy fuel engine berbasis bahan bakar nabati, yang diyakini dapat tumbuh berdampingan dengan industri kendaraan listrik, hybrid, dan yang rendah emisi lainnya. “Seperti yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo, kita sudah memproduksi sendiri avtur dan diharapkan tidak impor avtur lagi. Tetapi kita bisa lebih dari itu, dengan bisa mengekspor avtur, dan kita juga ingin produksi avtur berbahan sawit,” pungkasnya. (kemenperin)