Beberapa waktu yang lalu berkembang berita bahwa pemerintah akan menjual 800 BUMN ke Swasta. Berkembang cerita bahwa pemerintah terlilit hutang dan ekonomi Indonesia dalam krisis, sehingga pemerintah terpaksa harus menjual 800 BUMN tersebut.
Benarkah demikian? JAWABANNYA BENAR, itu kalau melihatnya dari kacamatanya kaum bumi datar karena mereka jarang menggunakan otak. Mungkin mereka memiliki kelainan jiwa sehingga senang melihat pemerintah susah dan susah ketika melihat pemerintah senang. Padahal kalau dipikir-pikir, pemerintah susah ya mereka ikut susah juga karena efeknya pasti dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, demikian juga sebaliknya.
Baiklah, kembali ke masalah BUMN. Merebaknya isu penjualan BUMN ini mengemuka setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung mengenai anak dan cucu usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencapai 800 perusahaan. Presiden Jokowi menginginkan agar anak hingga cucu BUMN disatukan alias dimerger.
Coba perhatikan kalimatnya “anak dan cucu BUMN”. Dari situlah Angka 800 itu muncul karena masing-masing BUMN tersebut memiliki anak cucu perusahaan lagi, ada BUMN yang membuka anak perusahaan yang bergerak di bidang catering, bergerak di bidang laundry dan sebagainya, padahal itu bukan bidang intinya sehingga berkembang keseluruhannya mencapai lebih kurang 800 perusahaan. Padahal aslinya BUMN pemerintah hanya berjumlah 118 badan usaha saja.
Tidak semua anak cucu perusahaan tersebut mengalami profit, banyak yang justru merugi akibat salah kelola dan sebagainya sehingga mau tak mau profit yang didapat oleh induk perusahaan dipergunakan untuk menutupi kerugian tersebut yang otomatis turut menggerus profit perusahaan Induknya.
Anak cucu perusahaan tersebut ibarat parasit yang menempel pada tubuh si induk dan semua itu sudah berlangsung lama sejak sebelum pemerintahan Jokowi.
Dan itulah yang berusaha diatasi oleh Jokowi dengan cara perampingan, yaitu anak cucu perusahaan yang merugi dimerger (digabung) atau kalau perlu dijual. BUMN yang ramping akan lebih efisien dalam pemakaian biaya dan lebih efektif dalam bergerak. Tidak hanya anak cucu BUMN, bahkan BUMN nya sendiri akan dirampingkan (merger) dari yang saat ini 118 BUMN, ke depan menjadi tinggal 85 BUMN. Hal ini yang kemudian dipelintir beritanya oleh kaum bumi datar bahwa seakan-akan pemerintah ingin menjual BUMN.
Menjual BUMN sendiri bukanlah perkara mudah, tidak segampang menjual kacang, karena harus melalui rapat dan persetujuan DPR. Tanpa persetujuan DPR, BUMN tidak bisa dijual karena BUMN sendiri adalah sebuah Badan Usaha yang dimiliki oleh negara dan dibangun dari uang rakyat, bukan Badan Usaha Milik Nenek-Loe.
Alasan lainnya adalah profit atau laba BUMN itu sendiri secara keseluruhan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, sedangkan kerugiannya malah semakin berkurang seperti grafik dibawah ini
Jadi cukup aneh kalau BUMN di-isukan mau dijual. Tidak masuk akal. Ibaratnya usaha Anda sedang berkembang baik, prospeknya cerah, pendapatan terus meningkat. Tiba-tiba mau dijual, hanya orang yang mengalami kelainan jiwa saja yang berpikiran dan berkeinginan seperti itu. Jadi kalau Anda bisa sampai termakan isu seperti itu, sebaiknya check kejiwaan Anda.
Penjelasan yang saya sampaikan diatas juga untuk membantah kekhawatiran kaum bumi datar yang tidak beralasan, itupun kalau mau disebut khawatir. Apalagi mereka punya perwakilan di DPR yang diwakili oleh beberapa partai politik yang berafiliasi dengan mereka. Kecuali khawatirnya adalah pura-pura dan isu tersebut sengaja dihembuskan dengan niat jahat untuk menimbulkan keresahan di masyarakat, siapa yang tahu?
Hal-hal seperti inilah yang harus kita waspadai, bila mendapat berita atau isu negatif, jangan langsung dipercaya, coba check dulu validitasnya. Bisa melalui website-website resmi pemerintah atau melalui media-media mainstream sehingga kita terhindar dari berita yang menyesatkan dari orang-orang yang mengalami kelainan jiwa tersebut.
Saya menyebut mereka sebagai “orang-orang berkelainan jiwa” karena mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kemajuan bangsa ini, mereka lebih suka Indonesia seperti Irak atau Suriah yang porak poranda akibat perang daripada damai.
Mereka berlindung dibalik baju ulama dan melakukan provokasi agar terjadi pergesekan antara pemerintah dan masyarakat atau sesama anggota masyarakat sendiri. Semakin besar perselisihan, semakin senang mereka. Sering menghasut dengan ucapan-ucapan yang penuh fitnah. Mereka meneriakkan takbir bukan untuk memuji kebesaran Tuhan, tapi untuk membakar semangat dengan tujuan kekerasan.
Saya rasa orang normal tidak akan seperti itu. Orang yang normal selalu menginginkan keadaan damai, karena dengan keadaan damailah dia bisa bekerja dengan baik, bisa mencari nafkah untuk keluarganya, bisa hidup tenang dan bahagia. Orang normal akan senang bila bangsa dan negaranya bisa maju. Bukankah begitu kawan?