Indovoices.com– Bank Indonesia (BI) cukup percaya diri dengan kinerja ekspor RI yang disebutnya tidak akan terpengaruh pelemahan mata uang China, yuan. Menurut BI, ekspor RI ke China lebih dipengaruhi oleh permintaan ketimbang volatilitas nilai tukar.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan saat ini pertumbuhan ekonomi China memang melambat. Pada kuartal II lalu, pertumbuhan ekonominya hanya 6,2 persen atau turun dibandingkan kuartal sebelumnya, yaitu 6,4 persen. Realisasi tersebut bahkan yang terlemah sejak 27 tahun terakhir.
Persoalannya, ketika ekonomi China melambat, maka permintaan China juga melemah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor RI ke China tercatat sebesar US$11,4 miliar antara Januari-Juli, di mana angka itu turun 7,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni US$12,31 miliar.
International Monetary Fund (IMF) juga menaksir pertumbuhan ekonomi China akan ada di angka 6,3 persen di akhir tahun, atau lebih rendah dibanding tahun lalu 6,6 persen.
Perang dagang AS dan China, lanjut Dody, memang selalu menjadi pertimbangan BI di dalam melonggarkan suku bunga acuannya. Pelonggaran suku bunga bahkan disebut masih terbuka setelah BI menurunkan BI-7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin pada bulan lalu. “Dari sisi transaksi ekspor Indonesia, memang dalam jangka pendek tidak begitu terkait pada devaluasi mata uang, tapi lebih kepada permintaan itu sendiri,” jelas Dody, Senin (12/8).
Menurut dia, nilai tukar selama ini bukan menjadi faktor utama perdagangan Indonesia ke China, mengingat sebagian besar perdagangan tak dilakukan dalam denominasi dolar AS. Tetapi, menurutnya, kondisi ini tetap akan dicermati oleh BI. Sebab, ada kemungkinan ini masih terkait dengan perang dagang antara AS dengan China.
“Karena pemerintah China sendiri mengatakan ini bagian dari mekanisme pasar, tapi ataukah ini menjadi salah satu bagian untuk keperluan perdagangannya,” terang dia.
Hanya saja, perkembangan perang dagang yang tak pasti kadang bikin ekonomi terguncang. Sebagai contoh, setelah Presiden AS Donald Trump bercuit tentang kenaikan tarif impor AS 10 persen bagi impor China senilai US$300 miliar, tiba-tiba nilai tukar mata uang negara berkembang langsung terombang-ambing.
“Tentunya masalah timing (waktu) kami turunkan suku bunga akan terus kami lihat, seandainya ini tidak membawa risiko ke depan yang berakibat pada pencapaian target-target ekonomi Indonesia. Misalnya, rupiah menjadi tidak stabil, itu yang harus dihindarkan,” jelas dia.
Sekadar informasi, Bank Rakyat China (PBoC) menetapkan kurs referensi yuan di angka 7,0211 per dolar AS. Ini melanjutkan tren sejak Senin lalu, di mana nilai tukar berada di atas 7 yuan per dolar AS untuk pertama kalinya sejak 2008 silam. (cnn)