Keseriusan Presiden Jokowi memberantas korupsi, ditegaskan kembali oleh dirinya dalam peringatan hari antikorupsi sedunia yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi, di Jakarta, Selasa 4 November 2018 yang lalu.
“Kita tidak memberikan toleransi sedikitpun pada pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan uang hasil korupsinya ke luar negeri,” kata Jokowi.
Di dalam negeri, berbagai upaya untuk mencegah terjadinya korupsi terus dilakukan, diantaranya dengan penyediaan layanan berbasis elektronik seperti e-tilang, e-samsat hingga e-budgeting dan e-planning. Belum termasuk sejumlah aturan yang diterbitkan pemerintah untuk mencegah korupsi, seperti Peraturan Presiden No 54/2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi.
Serta, PP No 63/2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan karena membantu pemberantasan tindak pidana korupsi.
Jokowi menegaskan pencegahan korupsi ini sangat penting.
Sebab, keberhasilan pemberantasan korupsi tak hanya diukur dari banyaknya koruptor yang ditangkap dan dipenjarakan.
“Keberhasilan bangsa yang anti-korupsi tidak diukur dari seberapa banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi, diukur dari ketiadaan orang yang menjalankan tidak pidana korupsi,” ujar Jokowi.
Tidak itu saja, untuk menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, Jokowi juga memburu harta para koruptor yang dilarikan ke luar negeri terutama ke Swiss melalui perjanjian Mutual Legal Assitance (MLA) antara Indonesia dan Swiss
“MLA ini legal platform untuk mengejar uang hasil korupsi dan money laundering yang disembunyikan di luar negeri,” kata Jokowi.
“Korupsi adalah korupsi, tidak bisa diganti dengan nama lain,” tambahnya.
Lantas pertanyaannya, kenapa perjanjian MLA Indonesia dan Swiss ini terasa lebih istimewa dan penting? Mungkin pembaca juga sudah mengetahuinya, namun tidak ada salahnya kita review kembali tentang negara Swiss sebagai negara Tax Heaven bagi para koruptor selama ini.
Perbankan Swiss selama ini dikenal dengan kerahasiaan data nasabahnya sehingga menjadi surga bagi orang-orang kaya menyembunyikan hartanya termasuk hasil dari kejahatan seperti narkotika, korupsi dan sebagainya. Sulit bagi otoritas manapun mengakses data nasabah perbankan Swiss.
Namun karena tekanan internasional kepada Swiss secara terus menerus, akhirnya perbankan Swiss untuk pertama kalinya melakukan penukaran data akun keuangan mulai September 2018 di bawah standar global yang bertujuan untuk menindak penggelapan pajak.
Perjuangan Indonesia untuk membuat kesepakatan kerja sama Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Swiss, bukan dimulai baru-baru ini saja, namun sudah dirintis sejak tahun 2015 yang lalu.
Kemajuan atas perjanjian tersebut mulai menampakkan hasil pada bulan Agustus 2017 dimana antara pemerintah Indonesia dan Swiss mencapai kata sepakat tentang bantuan hukum timbal balik.
Dengan adanya perjanjian ini, maka di masa depan Indonesia dapat meminta bantuan Swiss untuk melakukan upaya paksa terhadap pelaku kejahatan seperti penggeledahan, pemblokiran rekening, atau membuka rekening bank terduga. Untuk upaya non paksa lainnya, Indonesia juga dapat meminta data daftar perusahaan yang diduga terkait dengan pencucian uang. Namun perlu dicatat kerjasama ini tidak mencakup ekstradisi dan hukuman badan terhadap pelaku tindak pidana.
Tentu saja hal ini membuat ketar-ketir para koruptor dalam negeri yang selama ini menyimpan kekayaannya di Swiss. Apalagi beberapa hari yang lalu, bertepatan dengan peringatan hari Antikorupsi sedunia, Presiden Joko Widodo juga menegaskan kembali bahwa pemerintah berada pada tahap terakhir pembahasan dengan Pemerintah Swiss terkait dengan Mutual Legal Assistance (MLA).
Dapat dipastikan setelah penandatanganan yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini, perburuan terhadap harta koruptor pun akan segera dimulai tahun 2019 nanti.
Jadi tidak heran bila banyak pihak yang tidak senang akan upaya pemerintahan Jokowi yang berupaya menegakkan pemberantasan korupsi tersebut. Walaupun tidak mencakup ekstradisi dan hukuman badan bagi para pelaku tindak pidana, namun pemblokiran apalagi penyitaan terhadap rekening para koruptor, sama dengan mimpi buruk dan pukulan berat bagi para koruptor yang sudah terbiasa hidup mewah melalui aksi-aksi korupnya selama ini.
Belum lagi bila mengingat pasca keruntuhan Orba, beredar isu tentang orang yang melarikan diri ke Timteng namun lebih banyak menghabiskan waktunya di Eropa terutama di Swiss untuk mengurus harta hasil korupsi yang nilainya diperkirakan sangat fantastis.
Tentu saja isu tersebut harus dipastikan kebenarannya setelah Mutual Legal Assistance (MLA) ditandatangani dalam waktu dekat ini. Namun tentu saja penandatanganan itu tidak akan terjadi bila bukan Jokowi yang menjadi presidennya.
Harapan para koruptor, tentu saja bila Jokowi mampu disingkirkan alias tidak melanjutkan lagi sebagai presiden di periode kedua nanti. Maka penandantanganan syukur-syukur bisa dibatalkan. Namun bila tidak dapat dibatalkan, setidaknya dapat diulur hingga waktu lama agar para koruptor memiliki kesempatan untuk memindahkan hartanya ke negara Tax Heaven lainnya.
Jadi jelaslah bagi kita, bahwa pertarungan pilpres kali ini tidak semata-mata memilih presiden, namun juga salah satunya adalah pertarungan antara pihak yang ingin Indonesia maju dan bersih dari korupsi dengan para pendukung koruptor serta orang-orang yang ingin mengembalikan Indonesia ke jaman Orba. Di manakah posisi Anda?