“Zaman Jepang melahirkan Chairil Anwar dan Idrus, masing-masing pembaharu puisi dan prosa”
-H B Jassin
Sekitar 40 tahun lalu, tepatnya pada 18 Mei 1979, seorang pengarang Indonesia bernama Abdullah Idrus tutup usia di tanah kelahirannya, Padang, Sumatera Barat. Barangkali ia tak setenar Chairil Anwar, yang puisi-puisinya kerap kali dideklamasikan dalam berbagai kesempatan, namun Idrus sejatinya telah memberikan sumbangsih besar bagi kesusastraan Indonesia.
Sepanjang hidupnya Idrus telah menulis sejumlah novel, kumpulan cerita pendek, drama, cerita anak, dan karya terjemahan. Ia pernah bekerja di penerbit Balai Pustaka dan melakukan beberapa pekerjaan lain sebelum menjadi dosen di Universitas Monash Australia hingga wafat.
Salah satu karya monumental Idrus yang sering dibahas kalangan kritikus dan akademisi sastra adalah kumpulan cerpen “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” yang terbit pada tahun 1948.
Dalam kumpulan cerpen tersebut, Idrus bercerita tentang penderitaan di zaman Jepang dari sudut pandang rakyat jelata. Lihatlah misalnya bagaimana ia dengan jeli menggambarkan stratifikasi sosial yang berubah di zaman itu melalui cerpen “Kota Harmoni” yang jika dibaca sekilas hanya sekadar kisah perjalanan penuh peluh dalam sebuah trem, atau saat ia menelanjangi kebrutalan rezim penjajahan lewat cerpen “Jawa Baru”.
Karya-karya Idrus dalam aspek tertentu mungkin memiliki nada yang sama dengan seorang penulis berkebangsaan Inggris, George Orwell. Tulisan-tulisan Orwell berada dalam sebuah payung besar: perlawanan terhadap otoritariansime. Dalam “Animal Farm” misalnya, kita bisa mendapati Orwell menertawakan rezim kediktatoran lewat sebuah fabel, sementara dalam novelnya yang lain, “1984”, Orwell mengkritisi negara yang menjelma menjadi mesin perampas kebebasan warganya lewat sebuah distopia.
Barangkali yang menyatukan mereka berdua adalah periode sejarah saat mereka lahir. Karya-karya Idrus maupun Orwell lahir dari situasi besar perang dunia kedua, setelah fasisme sayap kanan mencabik Eropa dan fasisme sayap kiri mencengkram Uni Soviet. Sebagaimana kita ketahui, pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942-1945 juga merupakan bagian dari rangkaian perang dunia tersebut.
Penulis lain yang senada dengan Idrus barangkali adalah Ernest Hemingway. Penulis Amerika ini memiliki gaya penulisan yang mirip dengan Idrus: penulisan dengan gaya langsung dan ringkas serta penggambaran kehidupan yang apa adanya, seperti seorang pewarta yang mengabadikan momen lewat kamera atau perekam video.
Dalam karya-karya fiksi perangnya (“A Farewell to Arms” yang berlatar perang dunia pertama atau “For Whom the Bell Tolls” yang berlatar perang saudara Spanyol) Hemingway menulis dengan gaya ringkas serta alur dan penokohan jelas, sepertinya karena dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaannya sebagai reporter dan petugas ambulans di zona perang.
Gaya menulis semacam itu (yang juga digunakan oleh Idrus) seringkali disebut dengan Iceberg Theory, ketika seorang penulis hanya menulis hal-hal yang ada di permukaan (diibaratkan dengan gunung es) dan membiarkan pembaca mencari sendiri makna dan gagasan yang terkandung dalam tulisan tersebut.
Hemingway (sebagai seseorang yang dianggap “menemukan” Iceberg Theory) pernah mengungkapkan bahwa seorang penulis yang menggunakan gaya menulis semacam ini harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang apa yang ia tulis. Akan sangat berbeda, kata Hemingway, ketika seorang penulis memilih dengan sadar untuk tidak menuliskan apa yang ia tahu, dengan saat si penulis tidak menulis sesuatu karena ia tidak tahu.
Dalam hal ini Idrus tampaknya termasuk ke dalam penulis yang memiliki pengetahuan mendalam tentang apa yang ia tulis. Selain memang terbiasa bergumul dengan naskah-naskah sastra terkemuka, Idrus juga menulis berdasarkan apa yang ia alami langsung. Karya “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” misalnya, ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya di zaman Jepang dan perang pasca kemerdekaan.
Pembaca bisa menangkap banyak gagasan dalam karya-karya Idrus, tetapi mungkin yang bisa menjadi benang merah dari semua tulisannya adalah sebuah pembelaan terhadap kemanusiaan.
Lebih menarik lagi, Idrus membawa tema kemanusiaan melampaui batas-batas individu, kelompok, bahkan negara. Ia tidak terjebak untuk melekatkan “kebaikan” pada satu kelompok lalu menempelkan “kejahatan” pada kelompok lain. Bagi Idrus, setidaknya dari apa yang tampak dari tulisan-tulisannya, “kebaikan’ dan “kejahatan” itu bisa menghinggapi siapa saja, bergelut dalam diri manusia setiap saat.
Sebuah pandangan yang melampaui zaman.
*******
Penulis adalah penerjemah pada Asisten Deputi Bidang Naskah dan Terjemahan, Deputi Bidang Dukungan Kerja Kabinet, Sekretariat Kabinet. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja.