Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Berita yang lagi hangat itu adalah kasus Korupsi Billy Sindoro dengan si Neng Bupati Bekasi. Kasus ini sangat ramai dibicarakan di media sosial Billy Sindoro dan si Neng Bupati Bekasi itu menampilkan diri sehari-hari adalah orang yang saleh. Mengapa orang yang kelihatan saleh ditangkap karena tuduhan korupsi?
Di sebuah group Whats App ( WA) yang saya ikuti ada yang bertanya, jangan sok sucilah, siapa diantara kita tidak pernah menyogok tunjuk tangan. Saya kirim balasan tanda tunjuk tangan. Jangankan menyogok, sejak saya kuliah tahun 1992 kerja saya berperang melawan suap.
Sejak Toba Samosir berdiri puluhan tahun lalu, saya konsentrasi memantau peneriman Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) agar tidak terjadi sogok menyogok. Hampir tiap penerimaan CPNS saya pulang kampung memantaunya. Apakah ada itu? Ada, tapi sulit dibuktikan secara hukum. Bisa dengan debat kusir karena banyak nurani tak diasah. Tapi, nuraninya makin gelap gulita. Akibatnya, kehilangan makna hidup yang hakiki. Di Tobasa, ada loh yang bangga cerita menyogok. Habis uang kami sekian agar si Anu masuk PNS.
Sekitar tahun 2000-an, saya naik angkot dari Balige menuju Porsea, Tobasa. Ada anak perempuan yang ternyata adiknya temanku satu sekolah. Anak perempuan itu menceritakan ayahnya menyogok lebih dari 100 juta agar abangnya masuk CPNS dan dengan bangganya perempuan itu menceritakan.
Lalu saya tanya, dengan uang ratusan juta mengapa tidak kuliah S2 atau modal usaha? Menyogok itu kan dosa ito? Perempuan itu mengatakan, siapa manusia tak berdosa bang?
Soal uang lebih dari Rp 100 juta itu sedikit bang. Itu gampang dikembalikan. “Caranya bagaimana?” Yanyaku. Perempuan itu menjelaskan bahwa selama ini abangnya pemborong pembuat jalan. Sudah ada perusahaanya. Kalau dia sudah Pegawai Negeri Sipil ( PNS) yang kini Aparatur Sipil Negara (ASN) memudahkan dapat proyek. Jadi, abangku “di dalam” untuk mendapatkan proyek ke perusahaan abangku, katanya. Oh, begitu jawabku. Ilmu baru juga ini pikirku.
Mengapa saya konsentrasi memantau dalam penerimaan CPNS ketika itu? Sekitar 20 tahun lalu, saya menyadari jika orang yang kuliahnya malas dan lulus dari perguruan tinggi “odong-odong” akan menjadi beban negara.
Bagaimana mungkin anak pemalas yang kuliahnya di perguruan tinggi “odong-odong” bisa menjawab persoalan rakyat di Tobasa yang begitu rumit? Demikian juga di berbagai daerah.
Masyarakat kita yang “miskin” butuh sentuhan teknologi. Coba lihat, sentuhan teknologi apa yang kita lihat sekarang di Pemkab Tobasa dan sekitarnya? Apakah ini indikasi penerimaan CPNS selama ini karena sogok? Saya tidak mengatakan semua karena sogok? Saya kira, tidak itu lagi perdebatannya. Buktikan karyamu apakah masuk ASN karena sogok atau tidak. Buktikan. Kalaupun sogok masuk ASN, buktikan bahwa anda bisa bekerja. Jangan anda menjadi beban rakyat. Fokuslah bekerja dan lakukan yang terbaik. Rakyat butuh bukti. Itu saja, bukan?
Bagaimana pengalaman saya di Jakarta soal sogok? Beberapa tahun lalu, saya ketemu pengusaha bergerak di bidang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Perusahaan pengelolaan limbah B3 itu izinnya tidak diperpanjang. Kemudian, saya mempertanyakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengapa izinnya tidak diperpanjang. Pihak KLH mengatakan bahwa pengusaha itu nakal. Apakah pengusaha itu nakal atau pihak KLH yang nakal? Atau dua-duanya nakal?
Secara hukum, apa alasan untuk menolak izin diperpanjang? Dalam debat itu, saya berjanji untuk membenahi perusahaan yang dituding “nakal” itu.
Dalam proses perbaikan perusahaan pengelolaan limbah B3 itu saya persiapkan administrasi dan kondisi tempat pengelolaan secara teknis. Administrasi dan teknis semua lengkap. Ketika semua berkas administratif lengkap kami antar ke KLH. Ketika di KLH dinyatakan berkasnya kurang. Kurang apa? Coba baca aturan yang mengatur, pintaku dengan emosi yang memuncak.
Saya mengeluarkan suara yang kuat sekali dan kami konflik dahsyat. Kudengar dari pengusaha yang bergerak di bidang yang sama ketika itu ada berkas terakhir. Apa itu? Amplop berisi uang. Oh, disitu saya paham.
Temanku pengusaha itu sudah mendorong saya agar diberikan saja. Tetapi, saya menolak. Masa pengelolaan limbah B3 yang sangat berbahaya tak luput dari sogok menyogok?
Ketika itu saya jumpai petinggi KLH setingkat eselon 1. Petinggi itu mengatakan: “Pak Gurgur, saya ini sudah tua. Suamiku bekerja di perusahaan asing. Baru beberapa waktu lalu saya mampu membeli mobil”.
Coba lihat parkir KLH. Bapak kesulitan lahan parkir kan? Sejak kejadian di KLH yang nyaris konflik dahsyat itulah di kalangan kami ada bahan ledekan, “berkas terakhir”. Setiap jumpa disebitlah, “berkas terakhir bos”.
Apakah hal itu ada di kalangan kita kini? Jika ada, ayo kita perangi.
#gurmanpunyacerita.