Indovoices.com – Tanggal 22 Mei 1998, pagi hari, Jendral Wiranto melaporkan kepada BJ Habibie bahwa terjadi pergerakan pasukan dari luar Jakarta, menuju Jakarta tanpa sepengetahuannya selaku Panglima ABRI. Selain itu ada konsentrasi pasukan di sekitar Patra Jasa Kuningan – Jakarta, di sekitar kediaman BJ Habibie, tanpa sepengetahuan Panglima.
Sintong Panjaitan selaku penasehat Presiden BJ Habibie membuat analisis bahwa sejauh ini tidak ada tanda tanda Prabowo akan melakukan “coup d etat” (kudeta). Namun dalam mengamati situasi keamanan, dia harus mengolah situasi lebih berat. Prabowo memimpin pasukan dengan 11 ribu personil – yang 90 persen ada di Jakarta, yang memungkinkan melakukan kudeta.
Presiden BJ Habibie memutuskan bahwa hal itu tak dapat ditoleransi, karena akan mempengaruhi komandan untuk bertindak sendiri sendiri, tanpa koordinasi dengan Panglima ABRI.
Maka Presiden BJ Habibie memerintahkan agar jabatan Panglima Kostrad yang dipegang Prabowo diserahterimakan pada hari itu juga, “sebelum matahari terbenam” perintahnya.
Dan kepada penggantinya diminta menarik pasukan ke basis satuan masing masing.
Lalu, kepada Sintong Panjaitan, BJ Habibie berpesan. “Pak Sintong, awasi, check, timbang terima Prabowo”.
Atas perintah itu, Sintong melakukan koordinasi dengan Feisal Tanjung dan Wiranto, dan pemberhentian Prabowo selaku Pangkostrad dimungkinkan.
Letjen TNI Prabowo baru tahu siang harinya diminta meletakkan jabatan. Sekitar pk. 15.00 dia menuju istana bersama 12 orang pengawal dan tiga mobil Landrover.
Sintong mendapat laporan, bahwa Prabowo langsung naik lantai 4 – tanpa satu pun petugas mencegahnya. Dia pun memerintahkan agar Prabowo jangan dibiarkan masuk sebelum ada izinnya.
Sintong ingin melucuti senjata yang dibawa Prabowo dengan hormat tanpa merendahkan. Namun dia juga menyiagakan empat pengawal berpakaian preman dan bersenjata lengkap untuk menurunkan paksa, jika Prabowo menolak menyerahkan senjatanya.
Petugas preman yang diutus menghadap Prabowo dan memberi hormat, dan berbicara singkat. Prabowo kemudian melepas kopel rim, pistol dan pelurunya juga sebilah pisau komando. Sintong pun merasa lega.
Akhirnya Prabowo bicara empat mata dengan BJ Habibie, namun presiden ditunggu tamu berikutnya, yaitu Ginanjar Kartasasmita. Sintong melapor pada Habibie, waktunya sudah habis.
“Wo, kamu pulang saja, “ kata Sintong. “Sebentar, “ pinta Prabowo.
Sintong heran sebenarnya, kenapa pada jam 15.00 itu dia ke istana, karena seharusnya menjalani serah terima jabatan.
Akhirnya Sintong menegur, “Kalau KSAD tidak menjalani perintah, kalian akan jadi satu paket, “ katanya. Maksudnya, dua duanya akan diganti.
Meski telat, acara serang terima jabatan tetap berlangsung. Sebelum matahari terbenam.
Atas pencopotan Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, ayahnya, minta bertemu Presiden, dan disetujui oleh Habibie. Tapi Sintong Panjaitan memberikan saran, agar bicara lewat telepon saja, karena tak enak. Saran itu diterima.
LAHIR di Tarutung, 4 September 1940, sejak lulus AMN (Akademi Militer Nasional) 1963, Sintong Hamonangan Panjaitan merupakan perwira yang banyak pengalaman operasi tempur. Dia bertugas di Sulawesi Selatan dan Tenggara menumpas pembrontakan Kahar Muzakar, merebut kembali RRI dalam pembrontakan G30 S 1965, dan memulihkan keamanan di Jakarta dan Jawa Barat.
Tahun 1967 diterjunkan ke kepala burung Irian Barat, menjadi Komandan Prayuda Manokwari. November 1972 memimpin Satgas-42 PGRS/Paraku.
Setelah lulus Sesko ABRI 1977, Sintong Panjaitan memimpin tim pengaman VVIP di Timor Timur. Tahun 1981 melaksanakan pembebasan sandera di Bandara Don Muang, Bangkok, 1985 lalu menjadi Komandan Kopasanda/Kopassus. Mei 1988 Sintong diangkat menjadi Pangdam Udayana. Dia diberhentikan terkait kasus Santa Cruz.
Dengan pangkat Letjen TNI, Sintong Panjaitan kemudian menjadi penasehat Hankam untuk Presiden BJ Habibie, utamanya untuk mengembangkan industri persenjataan dalam negeri.
LAMA TAK TERDENGAR KABARNYA, mendadak Letjen. (Purn) Sintong Panjaitan ada di antara 1.000 TNI yang mendukung Jokowi. Tentu saja kabar gembira. Berseberangan dengan Prabowo yang telah dikenalnya sejak masih Kapten, Sintong tahu betul apa dan siapa Prabowo.
Sejak 1983, Sintong mengamati, Prabowo mengalami stres berat dan berhalusinasi bahwa Benny Moerdani akan melakukan kudeta, sebagaimana ditulis Hendro Subroto dalam buku memoar “Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”, (Kompas, 2009). Prabowo mengajak serta Luhut Panjaitan untuk mencegahnya.
Masa itu, LB Moerdani memasukan banyak senjata, yang menurut Prabowo merupakan persiapan untuk “coup d’ etat”. Padahal, senjata itu untuk dikirim ke Afganistan lewat Pakistan yang sedang melawan Soviet lewat operasi tertutup. Indonesia juga diam diam membantu Pemerintah Lon Nol di Kamboja melawan Khmer Merah.
Prabowo berilusi siap melakukan “counter coup”, sebagaimana yang dilakukan Letkol Untung pada tahun 1965. Dalam pembrontakan G30-S/PKI, Letkol Untung menuduh Dewan Jendral akan melakukan kudeta, dan mereka menculik para jendral untuk mencegahnya. Maka, Prabowo pun siap menculik Benny Moerdani dan perwira tinggi lainnya, dalam rangka “counter coup” dan mengamankan Presiden Soeharto.
“Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang Kapten dan seorang Mayor, “ kata Prabowo dengan bangga. Yang dimaksud kapten adalah Prabowo Subianto sendiri – sebagai pemeran utama – sedangkan mayor Luhut Panjautan sebagai pendukung.
Padahal – dalam kesaksian Sintong di bukunya itu, selama ini LB Moerdani mendukung penuh karir militer Prabowo. Namun balasan yang diberikan justru sebaliknya. Memfitnah Benny akan kudeta.
Tak mau ambil resiko, Sintong Panjaitan menanyakan ke sejumlah jendral tentang itu, dan tanda tanda kudeta itu memang tidak ada. “Apa Pak Benny orang gila, kok, beliau akan melakukan ‘coup d’ etat?’..” tanya balik Marsekal Muda TNI Teddy Rusdi yang diajak konsultasi.
Benny Moerdani, yang dikenal sebagai pakar intelejen, bukan tak tahu atas apa yang terjadi pada Prabowo dan pasukannya, Den-81 – Detasemen Penanggulangan Teror. Kepada Luhut Panjaitan, Benny Moerdani mengkonfirmasi, “Ada apa kamu di Cijantung minggu yang lalu? “ tanya Benny, “Sedikit di Republik ini yang saya nggak tahu, Luhut yang tahu, “ lanjut Moerdani.
“Siap! Terima kasih kalau Bapak sudah tahu. Sudah selesai, Pak, “ jawab Luhut singkat.
“Baiklah, kalau begitu, “ jawab Moerdani.
Sebelumnya, Luhut Panjaitan, perwira lulusan 1970, kepada Prabowo, memberikan penegasan sepulang dari pertemuan dengan Brigjen TNI Jasmin.
“Di Den-81, hanya saya yang menjadi matahari. Saya komandan, kamu wakil saya, “ katanya kepada Prabowo. “Sekarang ini kamu menggerakan pasukan Den-81. Sebagai Komandan, saya yang bertanggung jawab, “ lanjut Luhut.
“Kamu minta saya mengambil Soeharto ke sini. Itu ‘by pass’ garis komando berapa jauh? “ sambung Luhut (hal 456).
Sejak saat itu hubungan antara Prabowo dengan Luhut Panjaitan retak.
Letjen Sintong Panjaitan sendiri menuturkan (hal.458): sejak dia dipindahkan dari Makassar ke Batujajar (lokasi pendidikan dasar komando), Prabowo tidak pernah lagi menghubunginya lewat telepon, seperti ketika masih menjalin hubungan baik, baik sebagai anak buah maupun sahabat.
Hubungan Sintong dengan Prabowo sudah berubah dan terasa asing. ***
Penulis: Dimas Supriyanto