Di dunia maya banyak beredar isu bahwa Pilpres 2019 adalah pertarungan antara Jokowi dengan Kaum Radikal, ada juga yang mengatakan pertarungan antara Nasionalis VS Radikalis. Menurut saya, bukan seperti itu. Karena kaum radikalis itu hanya sebagian kecil dari puncak gunung es yang terlihat. Mereka hanyalah bagian atau salah satu elemen Anti Jokowi yang terdiri atas kaum koruptor, pengusaha hitam dan politisi busuk.
Pilpres 2019 menurut saya, lebih tepatnya disebut pertarungan antara Pendukung Pro Jokowi VS Pro Kebodohan. Kenapa seperti itu? Begini penjelasannya.
Pilkada DKI 2017 adalah contoh yang paling sempurna. Coba kita perhatikan, ketika itu tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil kerja petahana Basuki Tjahaya Purnama mencapai lebih kurang 70%, secara logika angka 70%, itu sudah memastikan Ahok pasti akan menjabat untuk ke dua kalinya. Itu bila pilkada dilaksanakan secara fair dan jantan.
Sayangnya kata fair dan jantan tidak ada dalam kamus anti Ahok, karena prinsip mereka Asal Bukan Ahok, maka segala cara termasuk yang haram pun menjadi halal untuk dilakukan.
Ayat dan mayat dipolitisasi, masyarakat ditakut-takuti, mulai dari bujukan, ancaman bahkan intimidasi. Masjid yang suci pun menjadi alat untuk sarana provokasi. Bahkan Wakil Gubernur Djarot yang jelas-jelas Islam pun tak luput dari pengusiran. Semua itu dilakukan oleh siapa?. Oleh masyarakat yang mengalami PEMBODOHAN.
Ormas-ormas Radikal, partai-partai politik baik yang terang-terangan menentang Ahok, atau yang pura-pura mendukung, tapi menusuk dari belakang. Kalau mau dihitung-hitung, jumlahnya mungkin tidaklah banyak. Namun gerakan mereka berhasil mempengaruhi jutaan masyarakat lainnya, karena apa? PEMBODOHAN.
Saya selalu bilang, kalau ada pengamat politik, atau siapapun itu yang mengatakan bahwa rakyat sudah cerdas, rakyat tidak gampang diprovokasi, rakyat sudah melek politik, itu adalah omong kosong dan terbukti di Pilkada DKI, ternyata masih banyak yang dapat ditakuti, diancam dan diintimidasi.
Jujur saja, harus kita akui, bahwa sebagian besar masyarakat kita masih belum bisa dianggap melek politik. Mereka masih mudah terpengaruh dan ditakut-takuti dengan ancaman. Apalagi bila ancaman tersebut dibalut atas nama Agama.
Bagi lawan politik Jokowi, masyarakat yang bodoh adalah ladang yang gemuk dan subur untuk menanamkan pengaruh mereka. Semua prestasi Jokowi akan menjadi nol di mata masyarakat yang sudah terpengaruh tersebut. Pilkada DKI sudah membuktikannya terhadap Ahok.
Fitnah-fitnah yang berupa lagu-lagu lama, bahwa Jokowi adalah PKI, Jokowi Pro Asing dan Aseng, akan kembali diulang lagi. Mungkin saja bungkusnya dipercantik dengan kosmetik atau tambahan bahwa bila pilih Jokowi yang pro asing dan aseng, mayatnya tidak akan disholatkan, bila pilih Jokowi yang komunis, akan masuk neraka, bisa jadi seperti itu.
Kemungkinan besar masjid-masjid kembali diperbudak oleh mereka untuk melakukan provokasi. RT dan RW akan diiming-imingi bila Jokowi kalah maka akan mendapat sekian miliar dan tidak perlu membuat Laporan Pertanggung Jawaban sama seperti yang diterapkan di pilkada DKI kemarin walaupun kemudian terganjal oleh peraturan Mendagri. Namun bila mereka berhasil di pilpres, siapa bisa menjamin bahwa peraturan Mendagri tersebut tidak akan mereka hapus?. Buktinya pilgub yang lama saja mulai dihapus dan disingkirkan satu persatu oleh gubernur yang baru.
Dan siapa yang akan memakan umpan mereka bulat-bulat? Lagi-lagi masyarakat yang gampang dibodoh-bodohi dan ditakut-takuti. Itulah tujuan mereka, semakin bodoh masyarakat, semakin mudah pula bagi mereka untuk mempengaruhinya.
Pihak-pihak yang Anti Jokowi tidak ingin Indonesia maju, tidak ingin rakyatnya cerdas. Coba perhatikan, di DKI Jakarta yang di plot untuk memimpin menjadi gubernur adalah menteri gagal, mengurus kementerian saja gagal, bagaimana mau urus kota sebesar Jakarta?. Dan terbukti sebentar lagi masuk bulan ke 3 kepemimpinannya, belum terlihat hasil kerjanya. Urus banjir saja sibuk menyalahkan pihak lain, mulai dari kebun teh di Bogor, proyek MRT/LRT, bahkan Ahok pun tak luput dari tudingan mereka.
Dan pilkada 2018, lagi-lagi menteri gagal yang mereka plot untuk memimpin Jawa Tengah. Jadi bagaimana sebuah daerah bisa maju bila dipimpin oleh kepala daerah yang gagal, apalagi kalau sampai negara ini juga dipimpin oleh presiden gagal. Bukankah kita akan menjadi negara gagal dan ditertawai negara-negara lain di dunia?.
Kebodohan dan Pembodohan seperti Itulah yang harus kita lawan. Sudah saatnya bagi para relawan, para pendukung Jokowi untuk turun ke akar rumput, jelaskan kepada masyarakat, lakukan tindakan nyata, bantu masyarakat yang terkena bencana.
Sampaikan keberhasilan-keberhasilan Jokowi, dan sosialisasikan prestasi-prestasi Jokowi, rangkulah PBNU di masing-masing daerah. Data dan catat, mana saja masjid-masjid, pesanten-pesantren, sekolah-sekolah yang memprovokasi masyarakat untuk membenci pemerintah, laporkan kepada Banser, laporkan kepada Polisi. Apalagi bila sang pemberi ceramah terindikasi dari ormas terlarang seperti HTI yang statusnya sudah SAH sama dengan PKI, yaitu sama-sama terlarang.
Sementara bagi grup-grup yang ada di sosmed, di dunia maya, jangan berjuang sendiri-sendiri. Lakukan kerjasama dengan grup-grup lain yang satu halauan, lakukan konsolidasi, pererat hubungan antar grup, rapatkan barisan. Jadi saat diserang oleh para MCA-MCA dengan tujuan menumbangkan dan membungkam grup-grup pro Jokowi satu persatu hingga tidak bersuara, kita masih bisa saling membantu. Bahkan kalau dibutuhkan, dapat balas menyerang untuk menumbangkan grup-grup mereka.
Disisi lain juga aktif membagikan tulisan-tulisan, berita-berita tentang keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini. Sehingga bisa menjadi bahan bagi relawan pro Jokowi untuk mengedukasi masyarakat.
Kerjasama yang baik antar sesama relawan dan pendukung Jokowi di dunia nyata dan grup Jokowi di dunia maya akan menjadi benteng yang sulit ditembus oleh pihak yang Anti Jokowi.
Yakinlah, dengan cara demikian, kita pasti mampu mengantar Jokowi untuk periode ke 2.
Salam 2 Periode
Untuk NKRI Jaya