Alkisah sekelompok orang sedang berkumpul mengadakan reuni. Konon, mereka menamakan diri sebagai alumni sebuah “kampus” yang hobinya menggelar aksi-aksi. Siapa pengusul dan penyantun dana aksi-aksi memang masih rahasia, bahkan selalu digaungkan semuanya berasal dari sumbangan sukarela anggota.
Tepat setahun yang lalu mereka sudah bergerak dengan satu agenda; menyingkirkan si petahana Jakarta dengan dalil penistaan agama. Isu dan massa “digoreng” kian kemari, sampai akhirnya jatuhlah putusan pengadilan yang mengharuskan sang petahana masuk bui. Bagi mereka, itu ibarat bonus tambahan setelah terpilihnya sang gubernur pribumi.
Meski kerap bicara dengan dalil-dalil agama, ternyata aksi tersebut tak pernah didukung para tokoh agama yang sejak lama sudah diakui karya dan integritasnya. Alasannya sederhana, ide dan aksi-aksi yang mereka jalankan memang kerap tak seirama dengan ajaran dan ujaran keagamaan yang mestinya selalu menghadirkan kedamaian.
Aksi-aksi mereka jauh dari itu. Para orator aksi sering melontarkan ancaman, hujatan dan makian di sela-sela tuntutan. Ide dan seruan yang disampaikan pun hampir selalu tentang tuntutan mencabut lalu mengganti fondasi NKRI.
Yang menarik, beberapa politisi terlihat selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan ini. Mereka adalah orang-orang yang sejak awal memang memosisikan diri sebagai penentang rejim berkuasa saat ini. Demikianlah benang merahnya, simbol dan dalil agama telah dijadikan kuda tunggangan untuk merebut kuasa.
Kita ingat aksi-aksi bertajuk bela agama ini gencar dimulai ketika pertarungan Pilkada di Jakarta sedang panas-panasnya. Barangkali karena dianggap sukses, model ini sangat pas untuk dipakai demi meraih tujuan yang lebih besar. Kebetulan di tahun 2018 dan 2019 hajatan besar pesta demokrasi sudah menanti.
Maka jangan heran kalau sekarang ini dalil-dalil persatuan umat kembali digemakan mulai dari ibukota negara, tentu tujuannya agar terdengar di seluruh penjuru Indonesia. Pesan terselubungnya adalah seruan mendukung dan memilih orang-orang tertentu yang sudah mendapat restu dan rekomendasi dari mereka.
Hal menarik berikutnya, ternyata mereka juga gemar dan lihai mengarang angka-angka. Tak sekadar mengarang angka cantik 411 dan 212, mereka juga pede mengarang jumlah massa aksi yang diklaim sampai berjuta-juta. Tahun lalu angka yang dipilih adalah 7 juta, tahun ini masih tetap memakai angka 7 dan ditambah ½ juta.
Bahwa sudah ada pernyataan resmi pihak kepolisian yang menyatakan jumlah massa aksi 212 tahun 2017 hanya sekitar 30 ribuan saja, itu lain persoalannya. Belakangan, panitia penyelenggara memang tak memakai angka 7 ½ juta lagi tapi diralat menjadi 3 juta.
Oh ya, seorang orator aksi kemarin juga telah memproklamirkan adanya 22 juta kader PKI yang sudah bangkit kembali. Sejenak saya mencoba membayangkan betapa besarnya jumlah dimaksud, namun gagal. Yang muncul dalam fikiran saya justru sekelompok pria dewasa yang sedang pipis sembarangan di balik pohon. Sial..!!
Silakan baca tulisan-tulisan saya sebelumnya