Bila di tahun 2017 yang lampau, pihak kepolisian berhasil mengungkap sindikat penyebar kebencian, Seracen. Maka diawal tahun ini tepatnya tanggal 26 Februari 2018, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bersama Direktorat Keamanan Khusus Badan Intelijen Keamanan berhasil mengungkap sindikat penyebar isu-isu provokatif di media sosial. Sindikat tersebut dikenal dengan nama The Family MCA (Moslem Cyber Army).
Setidaknya ada 9 grup yang terafiliasi dengan The Family MCA, yaitu Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The Legend MCA, Muslim Coming, MCA News Legend, Special Force MCA, Srikandi Muslim Cyber dan Muslim Sniper.
Berdasarkan penyelidikan pihak kepolisian, MCA tidak hanya membuat jaringan di aplikasi WhatsApp, tapi juga menggunakan media sosial lain dengan nama berbeda, tetapi tetap berkaitan dengan nama MCA. The Family MCA bahkan disinyalir lebih berbahaya dibanding Seracen karena selain mengirimkan berita-berita hoax, mereka juga menyertakan virus dalam pengirimannya dengan tujuan untuk merusak perangkat elektronik lawan yang dituju.
Hal ini bahkan diakui oleh Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto yang mengatakan, grup MCA di media sosial memilki empat jaringan besar yang lebih berbahaya dari Saracen.
Pertama, The Family MCA yang bertugas merencanakan dan mempengaruhi member lain, dengan jumlah admin 9 orang.
Kedua, kelompok Cyber Moeslim Defeat Army yang bertugas melakukan setting isu hoax untuk diviralkan, dengan 145 member.
Ketiga, kelompok Snipper yang bertugas menyerang seseorang atau kelompok yang diduga lawan MCA. Ada 177 member MCA dalam grup ini.
Keempat, MCA United yang merupakan grup terbuka bagi siapa yang memiliki visi-misi MCA dengan jumlah anggota sepuluh ribu lebih.
Damar mengungkapkan, SAFE Net yang memfokuskan pada kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara dalam konteks Hak Asasi Manusia telah mendeteksi tindak pidana yang dilakukan jaringan MCA terkait adanya keterlibatan dalam tindakan persekusi.
Ada enam orang yang sudah diumumkan identitasnya oleh polisi adalah Muhammad Luth, Rizky Surya Dharma, Yuspiadin, Romi Chelsea, Ramdani Saputra dan Tara Arsih Wijayani. Sedangkan satu orang lagi yang berperan sebagai konseptor dengan inisial TM sedang diburu.
Para tersangka dijerat Pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal Juncto Pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau Pasal 33 UU ITE dengan ancaman pidana enam tahun penjara.
Menurut hasil penyelidikan polisi juga, grup MCA tersebut diketahui sering melempar isu yang provokatif di media sosial, seperti isu kebangkitan PKI, penculikan ulama, dan penyerangan terhadap nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu.
Bahkan salah satu admin yang tertangkap belum lama ini, perempuan dengan nama Tara Arsih Wijayani yang diduga menyebarkan hoax tentang dibunuhnya muazin di Majalengka, Jawa Barat, oleh orang gila ternyata adalah admin MCA yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dari pemaparan diatas, tidak heran apabila hoax-hoax yang beredar terkesan terstruktur, sistematis dan massif mengingat susunan jaringannya yang memiliki spesialisasi masing-masing. Contohnya saja dari isu-isu yang disebarkan, isu yang berulang-ulang alias sudah basi namun memiliki musim. Bila bulan sebelumnya ramai mengenai masalah penganiayaan pemuka agama, maka bulan berikutnya akan penuh dengan isu PKI dan komunisme, lalu akan dilanjutkan dengan isu asing dan aseng, begitu seterusnya.
Polisi bahkan memiliki dugaan bila terdapat aliran dana yang membiayai jaringan tersebut. Dugaan yang tidak berlebihan saya rasa, mengingat begitu terstrukturnya jaringan yang ada, begitu sistematisnya isu-isu yang disebarkan dan begitu massifnya menjangkau berbagai platform sosmed seperti Facebook, Twitter, WA, Google+, Line dan platform sosmed lainnya.
Bila pihak kepolisian konsisten untuk menelusuri, tidak mustahil bila akan mengerucut pada kelompok atau organisasi tertentu yang membiayai, karena merasa diuntungkan atas beredarnya berbagai isu untuk mendiskreditkan pemerintah.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa registrasi kartu Simcard telah memasuki masa tenggang, artinya database yang dikumpulkan oleh Kemkoinfo juga hampir rampung. Hal yang akan sangat memudahkan kepolisian untuk melakukan penyelidikan tidak hanya hal yang berkaitan dengan terorisme, penipuan melalui sms, termasuk juga penyebaran konten-konten provokatif, hate speech, hoax dan sebagainya. Jadi bijaklah bersosmed, think before click.