Indovoices.com – Kementerian Agama terus menggaungkan wacana tentang moderasi beragama di berbagai kalangan, salah satunya mahasiswa. Untuk mewujudkan moderasi beragama di lingkungan pendidikan tinggi Islam khususnya, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama perlu melakukan pembinaan sistematis kepada para mahasiswa.
Saran ini disampaikan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Nur Syam, di Banyuwangi, Jawa Timur. “Pembinaan terhadap mahasiswa ini penting dilakukan karena temuan beberapa riset menunjukkan bahwa telah terjadinya perluasan gerakan intoleransi hingga usia sekolah,” ungkap mantan Sekjen Kemenag ini, Jumat (21/06/2019).
Nur Syam hadir di Banyuwangi, Jawa Timur, dalam rangka menjadi narasumber pada bedah buku “Moderasi Beragama: Dari Indonesia untuk Dunia”, dalam rangkaian Focused Group Discussion “Akselerasi Peningkatan Mutu SDM PTKIN Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0
Lebih lanjut, Nur Syam menyampaikan ada temuan bahwa penganut paham radikalisme semakin muda. Di masa lalu, penganut gerakan radikalisme kebanyakan berusia di atas rata-rata 30 tahun. “Survei oleh Setara Institute, 2016, menggambarkan bahwa tingkat toleransi pada siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya dengan responden sebanyak 760 orang, mempresentasikan sebanyak 61% toleran, 35,7% intoleran pasif, 2,4% intoleran aktif/radikal dan 0,3% berpotensi sebagai teroris,” papar Nur Syam.
Untuk itu, usul Nur Syam, moderasi beragama harus menjadi program unggulan dan sekaligus menjadi program prioritas. “Kita harus memiliki pemihakan agar moderasi beragama itu dijadikan kebijakan prioritas dengan sasaran dimulai kepada mahasiswa baru,” ungkap guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Pada paparan sebelumnya, Nur Syam menyampaikan bahwa moderasi beragama memiiki tantangan yang cukup serius yang ditandai setidaknya oleh empat hal.
Pertama, gerakan radikalisme yang semakin masif, terlebih dengan memanfaatkan kalangan Islam politik. Kedua, organisasi moderat cenderung belum memiliki orientasi moderatisme beragama dengan baik.
“NU telah memiliki wacana Islam Nusantara, Muhammadiyah menggaungkan Islam Berkemajuan. Sementara organisasi masyarakat lainnya cenderung belum menggaungkan bagaimana wacana moderatisme beragama itu dilakukan,” ungkap Nur Syam.
Ketiga, kalangan moderat lebih banyak melakukan strategi bertahan, tidak melakukan gerakan yang bersifat ofensif sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan radikal.
Keempat, terjadinya perubahan pemaknaan yang sangat distorsif, seperti penggunaan kata hijrah untuk menunjukkan makna berjihad. “Bahkan dalam konteks kebangsaan, digaungkan NKRI Bersyariah yang itu akan berpotensi mencerabut nilai-nilai dan pondasi kebangsaan yang selama ini telah diperjuangkan,” ungkap Nur Syam.
Hadir dalam kegiatan tersebut, seluruh rektor PTKIN, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag, Arskal Salim, dan Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kemenag, Suwendi.(agm/jpp)