Dalam keterangan pers kubu tim hukum Prabowo dengan yakin menyatakan telah menyiapkan 51 bukti sebagai bahan gugatan ke MK. 51 alat bukti dinilai para pakar hukum amat sangat minim untuk urusan gugatan Pilpres. Namun bukan itu yang menjadi hal menarik disimak. Prabowo sedang memainkan perlawanan politik identitas melalui angka 51!!
Masih hangat dalam memori otak kanan kita dan jejak digital tentang angka 51 itu. Surat Al Maidah Ayat 51 menjadi salah satu polemik politik dan agama dalam Pilkada DKI dengan menelan korban seorang BTP. Kali ini dengan semangat suksesi kepemimpinan sedang di daur ulang oleh kubu 02.
Bukan persoalan cucoklogi yang mengkaitkan Al Maidah 51 dengan bukti gugatan Pilpres berjumlah 51. Namun siapa yang menjadi “tim kreator hukum” gugatan tersebut patut kita waspadai. Bambang Widjojanto (BW) yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Hukum menyadari banyak sisi kelemahan bukti gugatan saat memutuskan mengambil “job” karir itu. BW cenderung akan bermain di ranah opini publik dengan mengesampingkan data dan fakta. Menyatukan semangat optimisme perlawanan melalui simbol simbol identitas, menjadikan persoalan tidak hanya berkutat pada masalah substansi.
Membentuk opini publik bahwa upaya gugatan itu adalah aspirasi masyarakat dengan identitas tertentu, menjadikan perdebatan di MK diharapkan berkembang ke arah non konstitusi. Empati pendukung kubu 02 yang sempat meredup saat gagal memanfaatkan momentum 22 Mei, kembali ber-eforia dengan angka keramat 51 yang dimainkan secara masif. Pada akhirnya jika terjadi demo di sidang gugatan MK, bisa ditebak mereka datang dengan semangat 51. Persoalan menang kalah dalam gugatan MK tidak lagi menjadi hal yang penting. Utamanya unjuk kekuatan identitas dalam simbol 51 mendapat panggung kehormatan yang tidak bisa ditolak.
Bahwa kekalahan Prabowo sudah pasti terjadi melalui jalur apapun. Mereka kemudian berpikir bagaimana menambah kekuatan dukungan massa untuk me-delegitimasi pemerintah. Membangun kekuatan baru menghadapi pemilu sesungguhnya di 2024 sambil terus berupaya menggerus kepercayaan kepada Pemerintah Jokowi melalui opini, narasi dan simbol-simbol mayoritas minoritas yang paling sensitif menyentuh sisi fanatisme.
Waspada, barangkali menjadi selembar ingatan yang terselip dalam tumpukan persoalan. Mereka sadar yang dihadapi adalah seorang Jokowi yang terlanjur dicintai rakyatnya. Butuh strategi jitu bagaimana menjauhkan Jokowi dari rakyatnya. Dan itu sedang masif dilakukan dengan segenap resiko paling fatal sekalipun.
Hingga tulisan ini selesai, masih menyisakan pertanyaan iseng. Ahok atau Buniyani-kah yang layak menjadi ilustrasi narasi ini.