Indovoices.com – Daulat Manurung, pemilik hotel Lexus di Medan, pernah bertanya: “Mengapa banyak orang Sumut, baik dari kalangan ekonomi lemah (ekolem) hingga orang kaya, berobat ke Penang?”.
Daulat Manurung pun menceritakan pengalamannya. Dokter Penang tidaklah lebih pintar dibanding dengan dokter Indonesia. Dokter itu semua sudah pintar. Perbedaanya adalah fasilitas. Teknologi kesehatan dan pelayanan rumah sakit di Penang sudah berbeda dengan di Indonesia.
Di Penang, Malaka dan beberapa tempat di Malaysia tidak memberikan obat kepada pasien jika tidak pasti sakit apa dan tidak diberikan tindakan jika belum ditemukan masalahnya apa. Berbeda dengan di Indonesia, diagnosa dulu, berikan obat, dan lihat reaksinya.
Apa yang disampaikan oleh bapak/among saya Daulat Manurung pernah saya alami beberapa waktu lalu. Sewaktu itu saya lagi tepat liburan di Yogya. Saya merasakan punggung dan tangan saya perih. Jadi saya pergi berobat ke rumah sakit terkenal di Yogya. Saya test darah dan yang bermasalah hanya asam urat lebih tinggi sedikit dari normal. Saya diberikan obat asam urat dan disuntik untuk mengurangi rasa sakit di pundak dan lengan.
Saya dan sahabat saya, sepasang suami istri dokter, berjanji bertemu di sebuah mall di pusat kota Yogya.Teman saya tersebut adalah seorang dokter olahraga. Dia menduga otot saya bermasalah. Dia menjelaskan otot itu seperti apa dan kinerjanya bagaimana. Oleh karena itu dibutuhkan hidup teratur. “Pikiranmu terlalu serius. Santailah lae” katanya.
Karena tidak kunjung sembuh, saya pergi berobat ke rumah sakit lagi. Saya di uji MRI. Dokter melihat ada syaraf terjepit, tapi ringan. Saya dianjurkan untuk terapi di rumah sakit internasional. Saya direkomendasikan dokter syaraf, yang sangat dekat dengan kami. Sayangnya dokter yang syaraf tersebut yang dirujuk tersebut sedang liburan ke Bali. Akhirnya, saya konsultasi dengan dokter syaraf dan di anjurkan 2 jenis terapi. Saya jalani hinga 2 minggu tetapi tidak ada perkembangan.
Kemudian saya jumpai dokter yang sangat dekat dengan kami dan diuji lanjut. Saya uji elecromyograpi (EMG). Dokter syaraf yang sudah doktor itu mengatakan syaraf anda 100% baik. Kemudian saya diperiksa dan dipastikan yang bermasalah adalah otot. Kemudian dia Anda bisa pergi lagi ke kampung halaman. Dan, saya sembuh total.
Seorang sahabat karibku dokter menginformasikan bahwa ada penduduk di kampungku meninggal karena ketidaktersediaan ATS di Puskesmas. Informasi tersebut disampaikan di group WhatsApp. Rasanya seperti orang gila membaca informasinya. Saya membayangkan betapa sedihnya keluarga.
Sedihnya lagi, seorang anggota group yang mengaku mengajar teologia di Sekolah Tinggi Teologi mengatakan bahwa dokterlah yang wajib bertanggung jawab. Bagiamana mungkin?
Saya mendengar orang yang meninggal itu membayar BPJS. Loh, kenapa ATS tidak tersedia? Untuk apa kita ramai-ramai ikut BPJS? Tujuannya kan, supaya ramai-ramai kita menanggung pasien.
Filosofi dasar BPJS itu kan bahwa negara hadir untuk menjawab persoalan kesehatan rakyat. Negara memberikan tata kelola ke BPJS. Dokter hadir untuk memeriksa dan memberikan resep obat agar sembuh. Jadi, bukan dokter kita tuntut untuk menyediakan dan membayar obat. Apakah dokter harus kita paksa menyediakan dan membayar obat agar kita anggap pahlawan? Pahlawan apa? Berapa banyak pasien yang harus dibayarin dokter agar jadi pahlawan?.
Persoalan pelik kesehatan inilah yang dimaknai sehingga hadirlah negara untuk mengatasi persoalan. Karena kehadiran negara, maka sejatinya teknologi paling canggih kita miliki minimal seperti Malaysia atau yang saya alami di Tangerang. Dan, semua itu terjadi jika pemerintahan tidak korup. Sepintar apapun, sepahlawan apapun dokter, obat dan teknologi harus tersedia. Itulah perjuangan kita.
#gurmanpunyaceritaa