Hari ini beredar tulisan dari rekan penulis saya, Dahono Prasetyonegoro. Saya biasa memanggilnya Mas Dahono, tulisannya yang berjudul “BUKALAPAK, BUKALAH TOPENGMU” ini mengulas tentang salah satu situs daring yakni Bukalapak yang dicontohkan dalam salah satu menu pembeliannya menyediakan opsi Donasi Rp 500 melalui Lembaga ACT.
Sekilas tentang lembaga ini, ACT sendiri merupakan kepanjangan dari Aksi Cepat Tanggap yang didirikan tahun 2005. Baru pada tahun 2012 ACT mentransformasi dirinya menjadi sebuah lembaga kemanusiaan global, dengan jangkauan aktivitas yang lebih luas.
Sampai di sini masih belum ada masalah. Menjadi masalah manakala ACT ini disinyalir oleh sejumlah media sebagai salah satu pihak yang berkaitan dengan donasi dari Indonesia berlabel IHR (Indonesia Humanitarian Relief) yang foto sumbangannya berada di kota Allepo di tengah markas pemberontak ISIS.
Bila mengutip pernyataan Mas Dahono bahwa “IHR adalah proyek kemanusiaan yang menjadi sayap kanan dari ACT”. Sementara bila kita telisik lebih jauh, ternyata IHR sendiri memiliki kaitan erat dengan nama Bahctiar Nasir yang berstatus sebagai pemimpin Yayasan Indonesian Humanitarian Relief (IHR). Apalagi kemudian yayasan tersebut diduga mengirimkan sejumlah logistik untuk mendukung kelompok pemberontak di Aleppo, Suriah.
Dari sini bila kita menarik benang merah keterkaitan antara lembaga tersebut. Menurut saya, berangkat dari kekhawatirannya, tentu sangat beralasan bila Mas Dahono mempertanyakan tentang adakah “hubungan intim” antara Bukalapak dengan ACT, HTI, Suriah dan Bachtiar Nasir?
Lantas saya juga membaca berbagai komen yang berusaha menyudutkan Mas Dahono, mulai dari tudingan persaingan usaha hingga kenapa harus Bukalapak? Padahal menurut netizen tersebut, ternyata ACT bukan hanya bekerjasama dengan Bukalapak. ACT juga bekerjasama dengan berbagai lembaga termasuk lembaga televisi bahkan dengan BUMN serta banyak lagi lembaga lainnya.
Saya percaya apa yang dilakukan Mas Dahono bukanlah untuk menyasar Bukalapak. Faktanya anda bisa mengubah nama Bukalapak dengan media daring lainnya tanpa harus kehilangan konteks tulisannya (kecuali paragrap kronologi yang dicontohkan dan paragrap kedua terakhir yang dia masukkan sebagai informasi tambahan). Titik fokusnya justru terletak pada kekhawatirannya akan donasi yang disalurkan ke ACT.
Hal ini tercermin dari potongan kalimatnya “…ada sepeser uang kita yang mengalir tanpa sadar mendukung perjuangan “pemberontakan” atas nama kemanusiaan.” Saya rasa ini kekhawatiran yang wajar. Saya pribadi pun akan khawatir bila uang yang saya sumbangkan ternyata dimanfaatkan untuk mendanai hal-hal yang bertentangan dengan UU di negara ini.
Bagaimana dengan Anda?